Safrida Lubis

Seorang yang belajar dari membaca dan mendengarkan...

Selengkapnya
Navigasi Web

Novel Perdana Tentang Perjalanan Haji (Part 3)

Setelah membuka rekening haji bersama-sama dengan suami, akhirnya saya terus bertanya-tanya dalam hati dengan apa saya akan mengisi saldonya agar angka itu dapat bertambah digitnya.

Tapi, hidup ini bukan untuk sekedar dipikirkan, akan tetapi jalani apa yang bisa di lakukan. Maka saya kembali menjalani kehidupan ini tanpa banyak melawan arus yang telah digariskan.

Terkadang, dengan pengalihan atas berbagai cobaan sebagai proses penempaan diri, sering kita tidak mengetahui ada hikmah tersembunyi di baliknya.

Teringat akan suatu kenyataan bahwa unsur pembentuk sebuah arang dan sebongkah intan adalah sama-sama unsur carbon. Akan tetapi, arang ditempa dalam suhu yang panas tetapi tidak setinggi suhu yang digunakan untuk menempa sebongkah intan.

Jadi, daripada harus berlari dari arah sebenarnya dalam menjalani kehidupan ini, berusaha untuk terus jalan ke depan akan jauh lebih baik.

Rezeki itu bukan dirimu yang mengatur, tapi Tuhan!

Sebagai seorang PNS golongan tiga, tidak bisa di pungkiri bahwa gaji yang saya terima lebih dari cukup. Akan tetapi gaya hidup suami dan saya yang masih royal, menjadikan keuangan kami belum teratur. Setiap ada kesempatan untuk jalan, maka saya dan suami selalu mengambilnya. Apakah itu di dalam kota sebatas menikmati kuliner di berbagai tempat, maupun keluar kota dalam waktu beberapa hari untuk bersantai.

Mungkin ini tuntutan kehidupan saya juga. Bagaimana tidak, dua ribu sepuluh adalah tahun memasuki usia pernikahan kami yang kelima, dan saya belum diberikan rezeki untuk sekadar merasakan hamil. Rasa sedikit tertekan datang dari keadaan dan omongan orang tentang diri saya, bahwa saya mandul, selalu menghampiri. Tuduhan itu selalu saya terima dan kembali saya lambungkan tinggi-tinggi ke angkasa, berharap malaikat di sana mengambilnya dan membawa jauh berita tersebut.

Segala macam model pengobatan sudah saya dan suami jalankan. Dari Dokter kandungan yang dikenal lewat namanya di kota besar, obat-obatan, alternatif, hingga ramuan yang senantiasa harus saya telan walaupun rasanya di lidah sangat jauh dari sekadar enak.

“Abang, sepertinya adek udah jenuh makan obat terus,” kata saya protes. Karena hasil pemeriksaan medik yang telah kami jalani, baik saya maupun suami dalam kondisi tidak bermasalah.

“Terserah adek, kalau itu yang terbaik. Berhenti aja dulu sebentar,” kata suami saya.

Dalam setiap keadaan, manusia selalu dihadapkan kepada suatu saat yang akan mencapai batas titik jenuhnya. Begitu juga saya, rasanya sudah senilai satu mobil keluarga yang sederhana, biaya yang harus kami keluarkan untuk berobat kesana kemari. Dari mulai tabungan yang dipaksa terus untuk diambil, sampai emas hadiah suami saya di hari pernikahan juga harus melayang. Dan beberapa mayam emas hadiah dari keluarga suami saya juga harus raib. Cukup sudah sampai disini! jerit batin saya.

***

Setelah menamatkan cerita untuk tidak terlalu memikirkan kembali berobat demi menghasilkan keturunan, maka secara otomatis dana yang terus mengalir saya alihkan ke dalam rekening haji. Dengan izin Allah, bulan April tahun dua ribu sepuluh, saya beserta suami sudah mendapatkan nomor porsi keberangkatan.

“Apa tidak bisa di urus, biar saya bisa berangkat sama-sama mamak Pak,” tanya saya pada Pak Nardi, yang ternyata mengenal suami saya.

“Iya, bang. Selisih bulannya kan tidak terlalu jauh,” suami saya menambahkan.

Pak Nardi terus memainkan laptopnya dan sesekali memandang kami berdua yang ada di depan. “Kayaknya nggak bisa bang! Mamak kemarin di setor awal bulan September. Sedangkan abang udah di akhir April tahun berikutnya, selisihnya udah delapan bulan,” kata Pak Nardi santai.

Saya tersenyum di hati. Beginilah kehebatan ilmu. Pak Nardi yang saya ketahui dari seorang teman masih jauh tertinggal beberapa tahun di bawah saya, yang berarti beliau bisa saja saya panggil adek, akan tetapi, dengan kedudukan sebagai kepala seksi (kasi) bagian haji, maka panggilan Pak rasanya lebih tepat sebagai penghormatan.

Sedangkan suami saya yang berada lima tahun di atas usia saya, memanggil Pak Nardi dengan sebutan abang, demikian juga dengan Pak Nardi sendiri. Jadi terasa, baik suami saya maupun Pak Nardi, keduanya sangat menghargai kedudukan masing-masing.

“Begini aja bang, sekarang kan jadwal keberangkatan mamak tahun dua ribu tujuh belas, dan jadwal keberangkatan abang dan kakak dua ribu sembilan belas, kita tunggu aja pada saat pemanggilan nanti. Data dari kemenag belum pasti juga bang. Pasti nanti ada pendaftar yang meninggal dunia, atau menarik setorannya karena berubah niat untuk tidak jadi berangkat, secara otomatis, rangking ini pasti menyusut ke atas. Jadi tahunnya mungkin bisa aja menyusut,” papar Pak Nardi.

“Kalau masalah berangkat sama bagaimana? Apa bisa di sesuaikan?” tanya suami saya.

“Kita coba bang! Biasanya setiap tahun kita diberikan jatah untuk dapat memberangkatkan pendamping bagi pendaftar lanjut usia atau yang mempunyai riwayat penyakit. Tapi itupun keberhasilannya tujuh puluh lima persen. Insyaallah kita coba juga nanti, siapa tau rezeki abang dan kakak,” kata Pak Nardi.

***

Selesai juga ^ ^

Malam dingin, 01-12-17.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post