saiful abdullah

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
PENERAPAN SANKSI HUKUM NASIONAL ANTARA SANKSI PIDANA POSITIF DAN SANKSI ADAT

PENERAPAN SANKSI HUKUM NASIONAL ANTARA SANKSI PIDANA POSITIF DAN SANKSI ADAT

PENERAPAN SANKSI HUKUM NASIONAL

ANTARA SANKSI PIDANA POSITIF DAN SANKSI ADAT

OLEH : SAIFUL ABDULLAH, S.Pd

Guru PKn Pada SMK Negei Wewiku Badarai

KABUPATEN MALAKA

Muatan berita Pos Kupang edisi Sabtu, 18 Mei 2017 tentang kasus pemerkosaan di dua tempat yang berbeda sampai pada kasus hubungan gelap yang mengakibatkan penguburan bayi tidak berdosa membuat kami sedikit berpikir tentang sanksi hukum yang dapat membuat jera pelaku kejahatan di republik ini.

Perbuatan kejahatan yang dilakukan memang harus diberikan sanksi kepada pelaku kejahatan agar pelaku tersebut tidak mengulangi perbutannya kembali. Masyarakat pun dibuat resah dengan keberadaan oknum-oknum pelaku kejahatan. Dalam peraturan hukum nasional sudah terdapat aturan yang mengaturnya serta lembaga yang menjadi tempat pelaku kejahatan menjalani atau mempertanggungjawabkan perbuatan pelanggaran yang sudah diperbuat.

Ketentuan hukum nasional yang juga dikenal dengan sebutan hukum pidana positif. Sesuai dengan ketentuannnya hukum pidana positif diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam hukum pidana positif dikenal beberapa sanksi sesuai dengan pasal 10 KUHP, yakni pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terbagi atas pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan. Pidana tambahan juga terbagi atas pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang barang–barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.

Terdapat salah satu lembaga yang menjadi tempat melaksanakan sanksi yang sudah dijatuhkan pengadilan yaitu Lembaga Pemasyarakatan. Keberadaan Lembaga Pemasyarakaatn (LAPAS) di Indonesia secara umum telah berlangsung hampir empat dekade, dahulu dikenal dengan sebutan penjara. Lembaga ini menjadi tempat para pelaku tindak pidana mempertanggung jawabkan tindakan pidana yang sudah dilanggar.

Penerapan sanksi pidana dijatuhkan berdasarkan pelanggaran yang dilakukannya. Seperti mencuri, berdasarkan pasal 362 KUHP pelaku tindak pidana pencurian ini dapat dikenakan pidana penjara atau pidana denda. Penjatuhan sanksi lainnya dapat juga dilihat dari jenis perbuatan yang dilakukan pelaku tindak pidana,.

Penerapan sanksi pidana positif dalam penjatuhan hukuman pada pelaku tindak pidana, masih terdapat kekurang tegasannya sanksi tersebut dijatuhakan. Karena masih adanya pelaku tindak pidana yang keluar masuk penjara. Dari beberapa kasus yang terjadi ada juga pelaku tindak pidana tersebut melakukan tindak pidana yang lebih besar dari sebelumnya.

Terdapat salah satu jenis pidana yakni sanksi pidana mati. Tetapi dalam penerapannya terdapat beberapa hambatan yakni dapat melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) yang juga terdapat peraturan perundang–undangan yang mengaturnya. Sehingga sanksi pidana mati tidak bisa dijatuhkan begitu saja.

Dilihat dari tujuan dari adanya pemidanaan, terdapat 3 pokok dasar pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan adanya pemidanaan. Yaitu :

1. Untuk memperbaiki diri pribadi dari penjahatnya itu sendiri

2. Untuk membuat orang jera melakukan kejahatan tersebut

3. Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat-penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak diperbaiki lagi.

Berdasarkan tujuan dari pemidanaan tersebut maka penerapan sanksi yang diterapkan selama ini masih belum mencerminkan tujuan pemidanaan yang sudah diterapkan di Indonesia. Hukum yang ada di Indonesia tidak hanya berdasarkan hukum yang dilandaskan pada hukum nasional tetapi ada juga yang berlandaskan hukum pidana adat. Namun, pemberlakuan hukum pidana adat tidak sepenuhnya diberlakukan karena Indonesia mempunyai keberagaman yang salah satunya adalah ketentuan–ketentuan adat.

Menurut salah seorang ahli, Prof. Ter Haar dalam bukunya : Asas–asas dan sistem hukum adat memberi definisi untuk delik dalam hukum adat sebagai berikut : Tiap–tiap penggangguan keseimbangan dan satu pihak (eenzijdige evenwichtsverstoring), tiap–tiap perlakuan dari suatu pihak atas kepentingan penghidupan baik material maupun immaterial seseorang atau sekelompok orang yang mengharuskan adanya reaksi menurut adat (adat reaksi), yaitu berupa pembayaran barang atau uang sehingga keseimbangan itu menjadi pulih kembali.

Pemberlakuan hukum adat biasanya berlaku hanya sebatas lingkungan daerah masing–masing. Adanya hukum pidana adat tidak semua daerah di Indonesia yang masih memberlakukannya sampai saat sekarang ini. Masyarakat–masyarakat yang masih tergolong tradisionil yang masih memberlakukannya.

Dalam penerapan hukum pidana adat, setiap aturan atau ketetapan yang sudah dikeluarkan oleh pemimpin adat maka aturan pidana nasional tidak bisa digunakan lagi. Hukum pidana adat dalam penjatuhan sanksinya terhadap pelaku kejahatan atau pelaku tindak pidana membuat pelaku tersebut seringkali takut untuk melakukan perbuatan tersebut kembali. Hal itu dikarenakan sanksi yang dijatuhkan berat bagi pelaku. Penegakan dalam sanksi pidana positif maupun pidana adat sama–sama menginginkan adanya timbul dampak jera bagi pelaku kejahatan. Demikian pula halnya dengan masalah sanksi pidana adat dan perbuatan hidup dalam hukum adat, sebagaimana diketahui bahwa hukum itu tidak saja tertulis tapi juga ada yang tidak tertulis, demikian halnya dengan hukum pidana. Hukum yang tidak tertulis itu biasanya tumbuh dan hidup serta dipatuhi oleh masyarakat, hukum yang dimaksudkan itu adalah hukum pidana adat yang masih diberlakukan oleh masyarakat. Kemudian mengenai hukum pidana ini masyarakat merasa bahwa walaupun pemerintahan dengan hukum pidana positif (KUHP) telah membuat ketentuan–ketentuan dengan sanksinya, namun masyarakat beranggapan bahwa disamping ketentuan–ketentuan KUHP tersebut masih diperlukan ketentuan pidana adat untuk mengembalikan gangguan keseimbangan yang terjadi dalam masyatrakat.

CONTOH KASUS

Zina merupakan bentuk perbuatan tercela dimana pelakunya yaitu seorang pria dan seorang wanita melakukan hubungan suami istri tanpa adanya ikatan perkawinan. Perbuatan zina yang jika dilakukan oleh seorang pria dan seorang wanita yang tidak memiliki ikatan perkawinan tetapi salah satu atau diantara keduanya telah terikat dalam perkwinan, maka dalam hal ini dapat diterapkan hukum adat dan hukum pidana.

Perbuatan zina yang dilakukan salah satu atau keduanya telah menikah adalah perbuatan yang salah dan diatur dalam KUHP, ketentuan tentang zina diatur dalam Pasal 284, didalam Pasal 284 ayat (2) dijelaskan, “Tidak dilakkukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tempo tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah meja dan tempat tidur, karena alasa itu juga”. Dapat dilihat dari Pasal 284 ayat (2) bahwa zina memang perbuatan yang dilarang, tetapi hal tersebut dapat diproses dalam hukum pidana apabila adanya pengaduan dari pihak suami ataupun pihak istri jika tidak maka tidak dapat diproses karena hal tersebut bersifat privat.

Sedangkan untuk perbuatan zina yang dilakukan oleh seorang pria dan seorang wanita yang masih berstatus lajang tidak diatur dalam ketentuan KUHP, karena hal perbuatan zzina tersebut dilakukan dengan adanya persetujuan bersama antara keduanya. Tetapi ada seorang hakim yang membuat putusan yang mengejutkan dimana zina yang dilakukan seorang pria dan wanita yang masih lajang diberikan putusan dalam pengadilan. Hakim tersebut adalah Bisma Siregar, menurut beliau kita tidak boleh hanya terpaku pada hukum formal saja tetapi juga hukum yang dilaksanakan dengan keadilan. Karena jaksa mencantumkan Pasal 378 tentang penipuan, yang mana kata “barang” dianggap juga sebagai jasa dan memasukkan kehormatan sebagai benda, kemudian Hakim Bisma Siregar memanfaatkan pasal tersebut untk menegakkan keadilan, karena kasus perkara tersebut wanita memberikan kehormmatannya dan pria tersebut berjanji akan menikahinya, oleh sebab itu dimasukkan dalam penipuan karena ingkar janji si pria.

Dalam hukum adat , perbuatan zina yang dilakukan oleh oranang yang salah satu atau keduanya telah terikat perkawinan, kebanyakan masyarakat adat akan memberikan sanksi berupa dikucilkan, diusir dari persekutuan adat dan lain-lain sesuai ketentuan hukum adat daerahnya. Menurut adat Lampung juga diatur mengenai perbuatan zina yang dilakukan istri atau suami orang lain disebutkan dalam Kunta Raja Niti (KRN) bahwa harus dilakukan persidangan yang jujur dan saksi beserta bukti-bukti dengan hukuman wajib membayar denda dan biaya lainnya. Sedangkan dalam adat Minangkabau sanksinya berupa dibuang dari masyarakat adat dan hukuman bunuh.

Ketentuan hukum adat akan lebih menekankan betapa tercelanya perbuatan zina, karena lebih menjiwai persekutuan masyarakat adat itu sendiri. Masyarakat adat mengakui sanksi-sanksi yang diberikan atas perbuatan yang melanggar, memiliki kekuatan hukum yang mengikat sama halnya dengan KUHP, sebab sanksi-sanksi yang diberikan tersebut merupakan keputusan dan kesepakatan bersama persekutuan adat serta berdasarkan keputusan pemuka-pemuka adat. Masalah terkait perbuatan perzinahan yang diatur dalam KUHP, kurang sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan masyarakat Indonesia yang religius.

Negara Indonesia mempunyai berbagai hukum adat yang berlaku dimasing-masing daerah. Hukum adat dipatuhi dan ditaati oleh masyarakat adat, karena hukum adat merupakan hasil kesepakatan bersama persekutuan masyarakat adat. Seiring berjalannya waktu hukum adat berkesinambungan dengan ilmu hukum yang lainnya, karena hukum adat dijadikan dasar dan bahan dalam pembuuatan hukum nasional. Dewasa ini, hukum adat juga dikaitkan dengan hukum pidana. Seperti halnya dalam pemberian putusan pengadilan, hukum adat juga berperan dalam hal ini yang dijadikan sebagai sumber hukum tidak tertulis. Diberbagai daerah hukum adat masih tetap diterapkan dalam proses peradilan. Sebagai sumber hukum yang tidak dikodifikasikan atau tidak tertulis hukum adat tetaplah dianggap penting, sebab hukum adat juga dijadikan sumber hukum dalam penyelesaian hukum yang lainnya seperti hukum adat. Walaupun dalam penerapannnya hukum yang tidak tertulis dapat menjadi sumber hukum yang negatif yang dapat menghapus sifat melawan hukum. Hukum adat lebih melukiskan peraturan keadilan yang hidup dalam nurani masyarakat hukum adat. Sehingga terciptanya keseimbangan dalam penerepan hukum adat dilihat dari masyarakat adat itu sendiri, apakah sesuai atau tidak.

Agar sesuai dengan hukum yang hidup didalam masyarakat sebaiknya dalam penyusunan KUHP disesuaikan dengan nilai-nilai dan norma-norma yang hidup ditengah-tengah masyarakat adat, dengan begitu akan tercipta keadilan bagi masyarakat. Karena KUHP yang ada sekarang kurang mencerminkan masyarakat Indonesia, sebab KUHP bukanlah warisan asli bangsa Indonesia. Untuk hukum adat diberikan sanksi bagi pelanggarnya merupakan suatu hal yang wajar, karena dengan begitu masyarakat yang melanggar dapat menyadari kesalahannya dan tidak akan mengulanginya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Hukum di Indonesia terlalu lunak dan berkelas. Terima kasih Pak Saiful atas pencerahannya.

19 May
Balas

sama-sama pak yudha

20 May
Balas



search

New Post