Aku disana menatap dia yang tersenyum, senyum yang dulu selalu mengisi ingatan di siang malamku, senyum yang membuatku salah tingkah. Senyum itu yang merobek sampul hati ini untuk menyelipkan namanya disana, dua puluh tiga tahun lalu.

Senyum itu tersisa hanya disatu sisi kini. Tapi percayalah bagiku itu masih sempurna, masih membuatku bergetar, masih!

Mengayun langkah ditapak kerikil yang dingin tak lama setelah embun mengusapnya sebelum mengering, aku menuju kearahnya, aku tahu hatinya sedang gembira, aku bisa membacanya walau dari hanya satu sisi, walau diatas kursi roda.

Sampai dihadapannya kusapa dan kugenggam jemarinya lalu kulabuhkan kecupan ringan seperti sebuah usapan, dan aku tahu sisi mana dia bisa merasakannya. Dia mengelak seolah jengah, aku tahu, dia suka! Dia hanya tidak ingin di situ ditaman itu dilihat banyak mata.

Mendorong perlahan kursi roda itu, seolah menggring sebuah janji: “Aku akan menemanimu sampai aku menemukan kembali senyum yang sempurna, simetris di kedua sisi. Akan mendampingimu sampai kita dapat kembali melangkah berdampingan."

Tapi seandainya satu sisi itu tak pernah kembali, aku akan tetap menemukan satu sisi yang sempurna. Dan seandainya dia tidak akan bisa lagi melangkah aku tetap selalu disampingnya.

Dia tidak boleh ragu!

(image licence CC0 Public Domain)