"Malam ini hujan turun lagi, bersama kenangan yang mungkit luka di hati"

Begitulah suasana malam ini. Seperti penggalan lirik awal lagu band last child, Diary Depresiku.

Diriku duduk di atas teras rumah.

Hujan yang datang seakan tak pernah berhenti. Wajar saja, saat ini adalah musim penghujan.

Hujan membawakan kenangan dan luka dalam keheningan malam.

Dan hujan membawa pula harapan dan angan di masa depan.

Aku memandang langit dengan syahdu seraya terbayang dalam benak, memikirkan besar nya kekurangan yang ada pada diri.

Batin pun berkata.

"Dapatkah aku mewujudkan semua angan itu dengan diri yang lemah ini?"

Aku tidak percaya pada potensi diri.

Tapi aku berusaha untuk tidak goyah demi impian dan cita-cita ku.

Semilir angin yang mendamaikan hati, seakan memberi energi positif untuk diri.

Energi yang membangkitkan jiwa dan raga.

Tetesan air hujan yang nakal menampar wajah ku dengan lembut.

Tamparan nya sampai menyadar akal.

Aku bukan si pintar yang cepat mengerti diktat penuh angka dan dogma.

Tapi aku yakin, sukses bukan untuk si pintar.

Benar kan? hujan?

Sukses dalam perspektif ku yaitu untuk si pemimpi yang mati-matian memperjuangkan impian nya.

Hujan...

Aku tak mau menganggap mu sebagai pembawa sifat yang mengakibatkan ku tidak percaya akan potensi diri.

Boleh kah ku anggap kau sahabat?

Ku dengar kata orang alim, ketika engkau turun itu waktu berdoa yang paling mustajab.

Mari bersahabat sejenak melupakan polemik yang ada.

Ketika jiwa tenang, aku langsung meminta pada tuhan.

"Tuhan, tolong jaga mimpi ku. Berikan lah aku keyakinan yang kokoh. Dan kuatkan diriku untuk mengejarnya"

Semoga kita bisa terus bersahabat dalam waktu yang di tetapkan ya, Hujan😊

Cikarang, 8 April 2019

Shandi Ismail