Sanria elmi

Nama yang diberikan oleh ortu Sanria Elmi Tempat tugas sebelumnya:SMP N 3 Lubuk Batu Jaya kab. Indragiri Hulu-Riau Tempat tugas saat ini: SMP Negeri 2 Lubuk B...

Selengkapnya
Navigasi Web
RAHASIA HATI Episode 45
postermywall

RAHASIA HATI Episode 45

20/12/2020

RAHASIA HATI

Episode 45

Oleh: Sanria Elmi

Debaran di dadaku masih terasa degubannya, aku was-was kalau dia melihatku. Bukannya aku tidak ingin bertemu justru aku ingin menangis ketika melihat sosoknya dan aku akui bahwa rinduku selama ini tak sanggup kubendung. Akan tetapi, aku sengaja mengelak agar hatiku tak berharap yang akhirnya harus menjadi luka. Dia sudah menjadi milik yang lain, aku tak pantas mengacaukannya.

“Ra, kamu sudah dalam bus?” pertanyaan Bu Aina membuyarkan lamunanku.

“Ya Buk, tadi aku pikir ibuk sudah di dalam bus juga,” elakku.

Bu Aina tersenyum padaku, “Ra, barusan ibuk jumpa sama keponakan, Ibuk nyari-nyari kamu tapi nggak kelihatan.”

Dheg! Aku kaget mendengarnya.

“Siapa keponakan Bu Aina?” batinku.

“Ibuk sudah kasih tahu dia kalau mau memperkenalkannya denganmu,” ujar Bu Aina denga wajah gembira.

“Ibuk ketemu di mana?” tanyaku penasaran.

“Tadi, waktu di loby hotel,” jawabnya.

“Kenapa perasaanku begini ya? Rasanya ada yang unik. Tadi aku jumpa dengan orang yang pernah memberikan keteduhan dan kedamaian hati sesaat dalam waktu yang tidak begitu lama, sekarang Bu Aina bertemu dengan keponakannya di tempat yang sama. Apakah orang yang sama? Ah! Tidak mungkin, Mas Warso nggak mungkin menduda. Aku nggak yakin kalau Mas Warso keponakan Bu Aina. Mungkin hanya sebuah kebetulan saja.”

“Kok ngelamun?”

“Ah, nggak, nggak kok Buk,” jawabku gugup.

“Ra, sebentar ada yang mau aku sampaikan,” ujar Arfan tiba-tiba.

“Ada apa?”

“Kita turun sebentar,” ujarnya.

“Tapi ntar kita ketinggalan bus,” elakku.

“Masih menunggu yang lain kok.”

“Buk aku mau turun sebentar ya,” pamitku.

“Ada yanga mau jumpa sama kamu,” ujar Arfan setelah kami sama-sama di luar bus.

“Jumpa denganku? Siapa?”

“Kamu mau kan bertemu dengan dia?” tanyanya lagi.

“Ya tapi siapa?”

“Dia temanku, kami satu kantor, statusnya duda. Apa kamu mau bertemu dengannya?”

“Di mana?”

“Aku akan atur pertemuannya nanti setelah selesai shalat di masjid quba.”

“Fan, kenapa nggak sekarang?”

“Sabarlah, kalau ketemu sekarang yang ada kita nggak jadi ke masjid quba,” jawabnya sambil cengengesan.

“Jadi hanya mau bilangin masalah itu?”

“Ya, dia sudah lihat kamu dan dia minta bantu sama aku untuk mempertemuakan kalian.”

“Terserah kamu aja Fan,” ujarku makin penasaran.

“Jamah RWH silakan menaiki bus 2021 kita akan segera berangkat.”

Aku menatap Arfan setelah mendengar penguman dari pembimbing kami.

“Yuk naik, nanti benaran mau kan ketemu sama kawanku?” tanya Arfan memastikan.

“Insyaallah,” jawabku.

Aku dan Arfan menaiki bus yang siap berangkat. Aku duduk kembali di samping Buk Aina.

“Ada apa Ra?” tanya Bu Aina setelah aku duduk di sampingnya.

“Arfan ngasih tahu kalau ada yang mau jumpa sama aku. Aku juga nggak tahu siapa.”

“Namanya siapa?” tanya Bu Aina.

“Aku belum tahu Buk, o ya, nama keponakan Ibuk siapa?”

“Namanya Warsono.”

Dheg! Aku terkejut setengah mati mendengar sebuah nama yang sama dengan orang yang begitu kukenal dan pernah dekat di hatiku.

“Nama ibunya siapa Buk?” tanyaku untuk meyakinkan diriku.

“Kok nanya nama ibunya, emangnya kamu kenal sama Warsono?”

“Mungkin nama yang sama Buk,” sahutku.

“Nama ibunya itu Riana Listiani.”

“Ya, Allah. Kenapa nama yang sama? Apakah benar yang dimaksud Bu Aina itu adalah Mas Warso yang kukenal? Tetapi kenapa dengan statusnya?” batinku.

“Kenapa Ra?” tanya Buk Aina.

“Apakah mungkin keponakan Ibuk itu adalah teman saya?” gumamku.

“Kamu kenal dia di mana?”

“Sejak kuliah, tetapi kami sempat kenal lebih dekat saat sama-sama diklat Prajabatan setahun yang lalu.”

Aku mengenang kebersamaanku dengan Mas Warso yang pernah memberikan irama indah dalam alunan perjalanan kisahku.

“Itu bagus, artinya kalian nggak perlu saling mengenal lagi tinggal mengulang dan memperbaharui kebersamaan saja. Siapa tahu tuhan memang mengirimkan kalian untuk menjemput jodoh di tanah suci ini,” jelas Buk Aina.

“Ah, Ibuk bisa aja,” ujarku malu.

“Diaminin dong!”

“Ya Buk. Aamiin!”

Hatiku terasa kembali penuh dengan bunga-bunga yang menbar wangi. Aku bahagia jika memang tuhan memberikan yang terindah dalam hidupku di tanah suci ini.

Tanpa terasa akhirnya kami sampai di masjid quba. Pemimpin jamaah menginstruksikan berbagai hal terkait dengan tata krama dan pelaksanaan ibadah di dalam masjid. Aku dan Buk Aina juga yang lainnya menuju ke tempat wudhu walaupun aku merasa wudhuku belum batal, tetapi untuk menutupi rasa was-was akhirnya aku memperbaharui wudhuku agar merasa lebih bersih saat memasuki masjid untuk beribadah.

“Ya Rabbi, Engkau yang Maha segalanya. Engkau yang mempunyai segenap jiwa dan ragaku, di hadapan-Mu kuserahkan segala keputusan-Mu terhadap hidupku dalam menjalani skenario-Mu,” kuakhiri shalat sunnah dengan meluahkan perasaan dan pengharapanku.

Aku sebenarnya hendak duduk berlama-lama di masjid tetapi di belakangku sudah banyak yang mengantri tempat, aku tidak boleh egois karena semua orang berkeinginan untuk memiliki kesempatan yang sama. Aku beranjak dari tempat dudukku dan melipat mukena lalu keluar dari masjid.

“Ra, kamu sudah selesai shalat?” tanya Arfan yang sudah menungguku di halaman masjid.

“Sudah Fan, tapi yang lain belum kayaknya,” sahutku.

“Begini Ra, sambil menunggu yang lain kita ke sana yuk!” ajak Arfan menunjuk halaman masjid yang dipenuhi jamaah yang bertujuan sama.

“Nanti gimana kalau ada yang mencari?” tanyaku ragu.

“Kita kan menunggu mereka, nanti semua jamaah akan lewat sana untuk menuju ke parkiran bus.”

“Ya udah kalau begitu. Baca doa dulu ya biar semuanya berjalan lancar!” ujar Arfan.

“Ya, aku sudah berdoa kok,” jawabku lugu.

Arfan tersenyum, sembari melangkah menuju tempat yang ditunjuknya tadi.

Aku tidak tahu apakah Arfan akan membawaku bertemu dengan temannya atau hanya sekedar menunggu jamaah lainnya.

“Fan, aku mau beli korma buat cemilan sambil nungguin teman-teman.”

“Boleh, yuk!”

Aku membeli kurma madu yang masih segar. Baru saja aku hendak membayarnya.

“Halal…halal,” ujar penjual menolak bayaranku.

“Fan gimana ini?” tanyaku bingung.

“Dia nggak mau dibayar,” sahut Arfan.

“Aneh, jualan kok nggak mau dibayar.”

“Syukron Haji,” ujarku.

“Sama-sama.”

“Dia pandai berbahasa Indonesia?”

“Di sini penjual itu rata-rata memahami bahasa melayu kerena mereka tahu pembeli paling banyak berasal dari Asia.”

“Tapi aku nggak habis pikir, kenapa dia tidak menerima uangku?”

Belum habis rasa penasaranku, penjual itu menunjuk kepada seseorang yang duduk tidak jauh dari tempat itu.

“Dia sudah bayar,” ujar sang penjual.

Aku baru mengerti mengapa penjual itu tidak menerima uangku.

“Kapan dia bayar?”

“Sudahlah Ra, yuk tuh sudah ditunggu,” ujar Arfan.

“Assalamualaikum?” sapa Arfan setelah kami sampai di tempat yang dituju.

Dia membalikkan badannya memandang kami.

“Waalaikumsalam,” jawabnya.

“Mas?” gumamku.

“Apa kabar Ra?” tanyanya.

Belum habis rasa terkejutku ketika benar-benar bertemu dengannya.

“Mas Warso?” tanyaku ragu.

“Ya Ra, aku di sini. Apa wajahku berubah?” tanyanya.

“Subhanallah, terlalu indah semua yang terjadi,” batinku haru.

“Mas, berarti kemarin yang kulihat di pesawat itu kamu?” gumamku nyaris tak terdengar.

“Ra, kenapa? Kamu kaget lihat Mas?” tanyanya.

“Ya, Mas. Rasanya aku sedang bermimpi,” sahutku lirih.

“Hmm! Waduh ternyata kalian sudah saling kenal?” tanya Arfan sembari senyum-senyum.

“Fan, dia yang aku maksud kemarin,” ujar Mas Warso.

Arfan manggut-manggut dan tersenyum.

“Kalau begitu mungkin kalian memang berjodoh,” ujar Arfan.

“Apaan sih Fan, Mas Warso itu sudah beristri.”

“O ya?” tanya Arfan membuatku ragu.

Aku baru saja hendak bertanya tapi kesempatan belum berpihak pada kami. Pemimpin jamaah rombongan Mas Warso sudah memanggil untuk segera menuju bus.

“Bus rombongan Mas di mana?” tanyaku.

Mas Warso menunjuk arah yang berlawanan dengan tempat parkir bus rombongan kami.

“Bus kalian di mana?”

“Berlawanan arah Mas,” jawabku.

“Ra, nggak apa-apa. Mas senang sudah bisa ketemu kamu di sini. Satu hal yang Mas ingin tahu, kenapa kamu nggak cerita sama Mas kalau kamu sama Rahman nggak jadi menikah?” tanyanya.

“Mas, aku waktu itu baru mau menyampaikannya sama Mas, tapi saat itu kudengar kabar Mas sudah mau menikah.”

“Maaf kan Mas ya Ra. Andai saja Mas bijak saat itu tapi karena perasaan kecewa Mas nggak berani menghubungimu,” ujarnya.

“Sudahlah Mas, semuanya telah berlalu. Rumah tangga Mas baik-baik saja kan? Mas nggak bawa istri ke sini?” tanyaku.

“Ra, Arfan sudah tahu semuanya. Jika Tuhan berkehendak nanti kita bisa bertemu lagi ya. Mas pergi dulu,” sahutnya.

“Ya Mas, aku senang bisa bertemu sama Mas. Oh ya, Mas kenal Buk Aina?” tanyaku setelah dia melangkah beberapa langkah.

Langkahnya terhenti dan balik mendekatiku, “Siapa Ra?”

“Buk Aina, Aina Rahmawati,” sahutku.

“Ra, sepertinya Allah menjawab doa-doa Mas,” jawabnya.

“Mas, maksudnya?” tanyaku tak mengerti.

“Mas sayang kamu. Semoga Allah mempertemukan kita lagi,” ujarnya lalu pamit meninggalkanku.

“Mas belum jawab pertanyaanku,” ujarku.

“Dia Bu de Mas,” sahutnya sembari melambaikan tangannya.

Aku terpaku melepas kepergian Mas Warso yang bagaikan mimpi.

“Apa aku bermimpi?” batinku setelah Mas Warso hilang dari pandanganku.

“Ra, kita ke parkiran bus, itu jamaah rombongan kita sudah menuju ke sana,” ujar Arfan setelah berada di dekatku.

“Fan, aku mimpi ya?” gumamku.

“Itu nyata Ra, aku terharu melihatnya,” jawab Arfan.

“Fan aku nggak ngerti dengan semua ini. Tadinya aku fokus untuk ibadah tapi kali ini pikiranku jadi buyar. Bantu aku ya Fan. Aku nggak mau menjadi beban pikiranku dan menghalangi seluruh pelaksanaan ibadahku.”

“Insyaallah Ra, aku yakin kalian akan bersama.”

“Tapi Fan, Mas Warso itu sudah menikah. Aku tidak mau menjadi perusak rumah tangganya apalagi di sini, ini tanah suci Fan,” ujarku gelisah.

“Justru itu Ra, ini tanah suci maka perbanyaklah untuk berdoa agar kalian dipertemuakan,” jawab Arfan.

“Udah lah, aku nggak mau membahasnya. Aku tidak berniat untuk merebut suami orang,” ujarku sembari berlalu meninggalkan Arfan.

“Ra, tunggu dulu!” ujar Arfan mengejarku.

“Apalagi? Aku ke sini untuk beribadah Fan, bukan untuk jadi pelakor!”

“Ya, aku tahu tapi dengarkan dulu penjelasanku!”

“Nggak perlu Fan, anggap saja semua ini hanya mimpi,” jawabku mempercepat langkahku.

“Ra, jangan salah paham!” ujar Arfan yang berusaha menjajari jalanku.

“Salah paham giman?” tanyaku.

“Warso sudah pisah dengan istrinya. Mereka menikah lalu pisah.”

“Maksudnya?” tanyaku tak mengerti.

“Makanya, kasih aku kesempatan untuk menjelaskannya tapi bukan sekarang.”

“Baiklah Fan. Aku akan tanyakan hal ini sama Bu de nya,” ujarku.

“Siapa Bu de nya?”

“Buk Aina.”

“O, ibuk yang sama kamu kemarin?”

“Ya.”

“Nah klop kan?”

“Maksudnya?”

“Jalan sudah terbuka, kenapa harus resah dan ragu?”

“Wajarlah, setahun lamanya kami nggak ketemu dan aku tahunya Mas Warso itu sudah menikah, aku nggak tahu kalau begitu kejadiannya karena dia nggak pernah ngubungi aku,” jelasku.

“Aku ngerti Ra, tapi kenapa kamu nggak ngabari dia kalau kamu nggak jadi menikah?”

“Malu lah Fan, apalagi aku tahu di saat yang sama dia mempersiapkan pernikahannya.”

“Sekarang kamu fokus untuk ibadah saja ya, soal jodoh sudah diatur oleh-Nya.”

“Makasih ya Fan, maaf kalau tadi aku agak emosi.”

“Aku ngerti kok Ra.”

Dendang rindu menghias hatiku yang kembali bersinar. Kubiarkan melodi indah ini mengalun mengiringi langkahku menuju ridho-Nya.

“Ra, kamu kemana? Ibuk nyari kamu dari tadi.”

“Buk, maafkan aku ya, tadi aku cepat keluar dari masjid, trus Ibuk tahu nggak, aku sudah ketemu Mas Warso,” jawabku.

“Ketemu Warsono?”

“Ya Buk, ternyata benar dia temanku dulu Buk.”

“Syukurlah, semoga kalian berjodoh ya. Ibuk senang sekali. Nanti Ibuk mau menghubungi mama Warso.”

“Tapi Buk, masalah pertemuanku sama Mas Warso nggak usah dikasih tahu dulu ya Buk. Aku hanya ketemu sebentar kok, kami belum bicara apa-apa,” ujarku.

“Iya, Ibuk tahu kok, tapi setidaknya mama Warso pasti senang mendengarnya, apalagi kalian sudah lama saling mengenal.”

“Terimakasih ya Buk, ternyata Allah punya sejuta cara terindah walaupun ini hanya sebuah pertemuan yang belum tentu wujud akhirnya. Tapi aku bahagia Buk, setidaknya pertemuanku dengan Mas Warso memberikan secercah cahaya kebahagiaan yang sempat sirna selama ini.”

“Ra, Ibuk yakin kok Allah juga punya beribu cara untuk mempertemukan hambanya dalam jodoh yang diridhoi-Nya.”

“Ya Buk.”

“Ra, Buk, ayo naik, sebentar lagi kita sudah berangkat menuju rute lainnya.”

“Ya Fan.”

Aku dan Buk Aina menaiki bus yang siap berangkat menuju jabal uhud dan jabal magnet dengan perasaan lega.

***

Bus langsung menuju area yang dituju dengan perjalanan yang cukup menyenangkan juga informasi yang bermanfaat tentang sejarah pertempuran yang mengakibatkan kekalahan di pihak Rasulullah dan meninggalnya para sahabat nabi di medan pertempuran karena skenario Allah.

Perjalanan kami menuju jabal rahmah akhirnya sampai dalam waktu yang tidak begitu lama. Kami semua turun dari bus menuju pemakaman sahabat nabi yang gugur dalam pertempuran. Pimpinan kami membimbing doa untuk para sahabat nabi yang bersemayam di sana.

“Ra.”

Suara seseorang memanggilku. Tapi aku tidak melihatnya karena begitu ramainya orang.

“Ra!”

Suara itu semakin dekat, tetapi aku tidak menemukan seseorang yang memanggilku.

“Ah! Mungkin aku hanya beralusinasi,” batinku lalu mengejar rombongan yang sudah agak jauh dariku.

“Ra, tunggu!”

Langkahku terhenti lalu menoleh ke belakang, “Mas?”

“Ra, nanti Mas antar ke bus, kita bicara sebentar ya,” ujarnya.

“Ya Mas, sambil jalan aja ya,” sahutku.

“Ya Ra,” ujarnya senang.

“Mas aku senang ketemu Mas di sini,” ujarku senang.

“Mas jauh lebih senang lagi Ra.”

“Mas, semoga saja ibadah kita berjalan lancar ya.”

“Ya Ra, Mas berharap lebih dari itu.”

“Maksud Mas?”

“Ra, apakah kamu masih ingat dengan ucapan Mas dulu, sampai detik ini Mas masih menyimpan rasa itu,” ujarnya sembari menatapku.

“Mas, semuanya juga masih kusimpan di sini.”

“Terimakasih ya Ra. Mas berharap jika pertemuan ini menjadi pertemuan kita untuk selamanya.”

“Mas ngomong apa? ini tanah suci lho.”

“Justru ini tanah suci Ra, Mas ingin doa-doa Mas didengar-Nya.”

“O ya Mas, kita serahkan semuanya pada yang Maha tahu Ma.”

“Ya, Ra. Tapi kamu belum mengisi hatimu dengan kehadiran cinta yang lain kan?”

“Mas kok nanyanya begitu sih?”

“Biar Mas nggak kehilangan untuk kedua kalinya Ra. Ternyata setelah mengantarkanmu dulu Mas nggak bisa dan tidak merelakanmu untuk menikah dengan Rahman. Tapi Mas nggak punya keberanian untuk menyatakan itu selain dari pura-pura menerima kenyataan.”

“Tapi pada waktu yang bersamaan Mas juga mempersiapkan pernikahan Mas kan?”

“Ra, semua yang terjadi tidak seperti yang diidamkan.”

“Mas, bukankah Mas menikah karena cinta?”

“Panjang ceritanya Ra, yang jelas rumah tangga Mas hanya bertahan sebulan. Mas nggak bisa jelaskan di sini Ra, Mas sudah melupakan kejadian pahit itu.”

“Ya, Mas. Maafkan aku.”

“Semoga kita bisa memulainya dari awal, Mas yakin bahwa kamu memang untuk Mas.”

“Terimakasih Mas. Setelah aku gagal menikah, aku sudah nggak kepikiran lagi untuk membahas masalah yang rumit dan berliku ini.”

“Apa kamu masih mencintai Rahman?”

“Mas kok nanyakan hal itu?”

“Boleh kan?”

“Mas, aku baru mau memulai mencintai dan memahami Bang Rahman tapi Allah berkehendak lain, kami tidak berjodoh. Sebenarnya aku bukan memikirkan masalah perasaan cinta atau sejenisnya itu Mas. Aku hanya terkadang berpikir dengan perjalanan hidup dan jodohku yang seolah begitu jauh.”

“Ra, kamu masih ingat filosofi menikmati kopi yang kamu bilang dulu? Perjalanan itu hanya wadah untuk mencapai tujuan yang hakiki. Mas berharap bahwa kopi itu adalah Mas.”

“Mas bisa aja, memang sih, kapi itu adalah kamu Mas,” gumamku.

“Beneran?”

“Apanya?”

“Yang barusan kamu bilang.”

“Semoga saja, aku kembali ke bus ya, tuh rombonganku sudah mulai naik.”

“Bus rombongan Mas itu di belakang bus kamu Ra.”

Aku senang tetapi aku malu mengakuinya, aku ingin mendaki puncak jabal uhud dan aku ingin berteriak menyatakan perasaan bahagiaku dan rasa syukur kepada-Nya yang telah mempertemukanku dengan orang yang selama ini menyisakan seberkas harapanku.

“Ra, kok Mas dicuekin?”

“Nggak kok, hanya mikir aja. Rasanya bagaikan mimpi bisa bertemu kamu Mas.”

Mas Warso tersenyum manis padaku, senyum yang masih sama manisnya ketika dia mengakui perasaannya padaku setahun yang lalu.

“O ya Ra, sepertinya perjalanan kita ini bakal sama, Mas bisa lihat jadwal perjalanan umrohmu nggak?”

“Bentar, ini Mas.”

“Nah, benarkan? Sama persis dengan jadwal dari travel Mas. Bahkan kita satu hotel dari awal hingga akhir.”

“Trus gimana?”

“Kita selesaikan ibadah rutin kita dan bermohon agar semuanya berjalan lancar.”

“Ya Mas, meskipun berlainan travel aku sudah ketemu Mas saja sudah cukup bahagia.”

“Nggak punya keinginan lain?”

“Mas yang bilang kalau kita fokus dulu dengan ibadah wajib, setelah itu kita serahkan pada-Nya.”

“Masih saja seperti yang dulu, paling pinter membalikkan kata-kata.”

“Kan benar begitu.”

“Ya Ra. Mas nggak bisa ngomong apa-apa lagi. Jadi nggak sabar menyelesaikan semuanya.”

“Trus?”

“Mas mau ngasih kejutan nanti buat kamu.”

“Kejutan? Asal jangan sampai aku jantungan ya Mas.”

“Ya nggaklah, kalau kamu jantungan Mas gimana nanti?”

“Ra, cepatan naik, kita sudah mau berangkat. Besok masih ada waktu!” teriak Arfan di pintu bus.

Wajahku terasa bagaikan kepiting rebus karena malu.

“O ya Bu de ada di dalam?”

“Ada, Mas mau ketemu?”

Mas Warso mengangguk dan mengantarku sampai di dalam bus dan bertemu dengan Bu Aina.

“Bu de gimana kabarnya?” tanyanya setelah berada di dekat Buk Aina.

“Warso, Alhamdulillah Bu de sehat, kamu gimana?”

“Alhamdulillah Bu de, aku baik-baik saja.”

“Bu de lihat kamu jauh lebih ceria dari yang Bu de lihat sebelumnya.”

“Hmm! Tentulah Buk, di sini ketemu belahan jiwa,” sambut Arfan.

Wajahku semakin bersemu malu walaupun yang dibicarakan itu adalah Mas Warso.

“Kamu bisa aja Fan, aku titip dia ya,” ujar Mas Warso pada Arfan.

“Jangan kuatir, titipnya sama Bu de aja, wong sekamar sama Bu de,” sahut Bu Aina sembari melirikku.

“Ya Bu de, aku turun dulu,” ujar Mas Warso.

“Fan aku turun dulu ya, Bus aku juga mau berangkat.”

“Apa kita tukaran tempat aja?” UJAR Arfan.

“Nggak usahlah, nanti saja kalau sudah perjalanan pulang,” sahut Mas Warso.

“Sip!”

“Makasih ya, aku turu dulu.”

“Ra, Mas turun dulu, titip Bu de ya,” ujarnya padaku.

“Ya Mas, hati-hati.”

Mas Warso akhirnya turun dari bus kami. Kepergiannya kali ini tidak lagi membuatku kuatir, justru ada kebahagiaan tersendiri di hatiku.

Bersambung ya

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Panjang juga cerpennya.

20 Dec
Balas

Mumpung lagi ada ide Buk, takut hilang makanya dibiarkan panjang. he..he maaf ya.

20 Dec

Kebahagiaan Ra juga kebahagiaan ku. Sehat dan sukses selalu bucantik

21 Dec
Balas

Terimakasih Bu Cantik

21 Dec

Makin keren dan mantap sahabatku sayang.. Kisah cinta yang unik akhirnya beakhir bahagia... Semoga happy ending..... Sukses buat ibu cantik yang super dan hebat.. Salam santun

21 Dec
Balas

terimakasih Sobat nan jauh di mata dekat di hati

21 Dec

Ceritanya asyik banget... Salam sukses,bu

20 Dec
Balas

terimakasih Bu Cicik

21 Dec

Panjang sekali Bu Sanriab Elmi. Semoga sukses

20 Dec
Balas

Oh, maafkan diriku. Nggak nyadar saking asyiknya nulis.

20 Dec

Mntap ceritanya bun,,sukses selalu

20 Dec
Balas

terimakasih Bu Cantik

21 Dec

Allah punya sejuta cara terindah walaupun ini hanya sebuah pertemuan yang belum tentu wujud akhirnya. Tapi aku bahagia Buk, setidaknya pertemuanku dengan Mas Warso memberikan secercah cahaya kebahagiaan yang sempat sirna selama ini. Mbrebes mili saya bunda. 8ndah untaian kata2nya. Keren.

21 Dec
Balas

terimakasih Pak, yang nulis udah duluan guling-guling Pak.

21 Dec

Cerpen ini bisa jadi novel, ceritanya semakin keren. Semoga senantiasa sehat dan salam sukses selalu

20 Dec
Balas

terimakasih, rencananya begitu, doakan saja punya dana yang cukup.

20 Dec



search

New Post