Sanria elmi

Nama yang diberikan oleh ortu Sanria Elmi Tempat tugas sebelumnya:SMP N 3 Lubuk Batu Jaya kab. Indragiri Hulu-Riau Tempat tugas saat ini: SMP Negeri 2 Lubuk B...

Selengkapnya
Navigasi Web
RAHASIA HATI Episode 47
postermywall

RAHASIA HATI Episode 47

Rabu/23/12/2020

RAHASIA HATI

Episode 47

Oleh: Sanria Elmi

Malam semakin larut kondisi kesehatanku memang kurang baik namun kehadiran Mas Warso yang begitu perhatian membuatku lupa dengan segala yang kuderita. Sebegitu berartinya dia bagiku. Lengkap sudah rasa bahagiaku meskipun semua tanpa kuduga. Kekagetanku bertemu dengan orang yang pernah menitipkan kebahagiaan dan juga meninggalkan luka yang amat dalam. Secara beruntun dengan cara tak diduga aku bertemua dengan Mas Warso kali ini di saat rasa demamku meninggi kembali aku terkejut dengan kehadirannya.

“Raja? Kamu ada di sini. Subhanallah.”

“Warso, kamu kenapa nggak ngasih kabar kalau kalian…,” ujarnya terputus sembari menatapku.

“Ja, doakan ya semoga yang terlihat menjadi yang sesungguhnya,” sahut Mas Warso.

“Jadi, maksudnya?”

“Doakan saja yang terbaik buat kami.”

“Rani kenapa?”

“Nggak apa-apa Kak. Aku mungkin kecapean. Kakak apa kabar?” tanyaku.

“Di satu sisi Kakak senang tapi di sisi lain Kakak kecewa.”

“Kenapa?” tanyaku.

“Ra, kamu udah nggak nganggap Kakak sebagai kakakmu?”

“Kak, Kakak ngomong apa? aku nggak ngerti.”

“Ja, baiknya aku bawa Rani ke kamar, demamnya tinggi sekali, aku kuatir karena lusa kami sudah harus berangkat ke Mekkah,” ujar Mas Warso.

“Lusa? Aku juga.”

“Subahanallah, semua serba kebetulan ya Ja. Aku senang mendengarnya. Aku berharap usai menunaikan ibadah wajib kamu bisa mendampingiku untuk mewujudkan harapanku.”

“War, aku nggak ngerti maksud kamu.”

“Maafkan aku Ja, nanti kita bisa ngobrol selepas subuh. Aku di kamar 220.”

“Baiklah War, apa perlu kubantu ngantar Rani ke kamarnya?”

“Nggak usah Ja, ada Bu de aku kok.”

“O, ini Bu de? Mamamu nggak ikut?”

“Ya Ja, mamaku belum bisa berangkat, panjang ceritanya Ja.”

“Baiklah, aku di kamar 235.”

“Ra, cepat sembuh ya, Kakak senang bisa jumpa denganmu di sini.”

“Terimakasih Kak.”

Buk Aina hanya bengong melihat pembicaraan kami.

“War, sebaiknya Rani cepat dibawa ke kamar, badannya panas sekali padahal AC hotel ini cukup dingin.”

“Ya Bude, Mari Ja kami ke kamar dulu. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Mas Warso dan Buk Aina segera membawaku ke kamar. Kebetulan jarak kamar yang kutempati bersama Buk Aina dengan kamar Mas Warso hanya selisih dua kamar, hal ini tentu tidak terlalu merepotkan Mas Warso saat mengantarkanku.

“Kuncinya mana Bu de?” tanya Mas Warso setelah sampai di pintu kamar kami.

“Ini!”

Mas Warso menggesekkan kartu lalu pintu kamar kami pun terbuka.

“Sekarang kamu duduk dulu, Mas bukakan obatnya.”

“Aku saja Mas.”

“Udah nggak apa-apa,” sahutnya sembari membuka botol berisi syrup penurun panas yang dibelikannya.

“Ya Allah, andaikan Engkau berkehendak mempertemukan kami untuk bersama selamanya, aku akan sangat bahagia sekali tetapi jika tidak, berikanlah kepadaku sebuah kekuatan untuk tetap tegar karena segala kebaikannya telah membuatku semakin terpuruk dalam berjuta harap.”

“Minumnya dua sendok, sesuai takaran,” ujar Mas Warso memberikan obat padaku.

“Pahit Mas,” ujarku.

“Namanya obat, biar nggak pahit lihat Mas saja,” selorohnya.

“Tambah pahit,” sahutku sembari merengut.

“Beneran?”

“Udah, jangan digoda terus lah War, kalau sudah selesai minum obatnya kamu boleh kembali ke kamarmu sekarang. Kamu juga harus istirahat, jaga kesehatan,” ujar Buk Aina.

“Iya Bu de.”

“Satu sendok lagi!”

“Nggak boleh nanti ya Mas?” tanyaku.

“Mana boleh, satu kali minum dua sendok, kalau minumnya nanti ya beda khasiatnya,” ujarnya.

“Aku nggak suka, pahit banget.”

“Minum dulu, ntar pahitnya hilang kok.”

Kutatap wajah Mas Warso yang punya sejuta cara dan begitu sabar menghadapiku. Aku memang tidak biasa minum obat sehingga terkesan seperti anak kecil tetapi Mas Warso selalu berhasil membujukku untuk menghabiskan obat yang sudah ditakarnya.

“Harus diminum?” tanyaku cemberut.

“Sayang, kalau Mas bisa menggantikannya, biar Mas yang meminumnya. Tapi ini nggak bisa,” bisiknya.

Wajahku memerah mendengar ucapannya yang selalu merdu bak buluh perindu di telingaku. Aku terpakasa meminum obat yang tersisa satu sendok lagi di tangan Mas Warso. Sembari memejamkan mata akhirnya obat itu berpindah ke dalam mulutku. Tapi aku tidak bisa lagi menelannya.

“Kok ditahan di mulut, ntar muntah lagi. Ayo ditelan!” ujarnya lembut.

Kureguk obat pahit melebihi pahitnya pil kina yang kutahan di dalam mulutku hingga benar-benar berpindah ke dalam lambungku. Cacing-cacing dalam perutku sudah pasti minggat gara-gara obat pahit yang kutelan.

“Maaf Mas, aku mau ke kamar mandi. Aku nggak tahan Mas, rasanya mau …,” ujarku terputus.

Buk Aina menghampiriku dan memberikan sebuah kurma madu yang kusukai.

“Ra, makan ini biar tidak terasa pahit lagi,” ujarnya.

Rasanya aku mau menangis bukan karena dipaksa makan obat, tetapi karena perhatian keduanya dengan tulus.

“Terimakasih Buk,” ujarku.

Bening di pelupuk mataku mengambang.

“Kok malah nagis? Maafin Mas ya udah maksa kamu makan obat,” ujar Mas Warso.

“Bukan itu,” ujarku tak mampu menjelaskan.

“Terus apa?”

“Ingat sama Bunda,” ujarku.

“Mau nelpon Bunda?”

Aku menggeleng.

“Lho, katanya ingat Bunda, Mas telepon ya.”

“Nggak usah Mas, nanti Bunda cemas lagi.”

“Trus gimana?”

Aku menggeleng, “Makasih ya Mas.”

“Kok terimakasih? Sekarang kamu tidur ya, biar obatnya bereaksi, sebentar lagi subuh.”

“Ya, Mas.”

“Ya udah, Mas kembali ke kamar, nanti kalau ada apa-apa hubungi Mas ya.”

“Ya Mas, terimakasih.”

“Sama-sama Bu Guru, masih nyimpan nomor Mas kan?” tanyanya.

“Masih yang lama?” tanyaku balik.

“Ya, Mas nggak pernah ganti nomor.”

Kuambil handphone-ku dari dalam tas lalu kubuka.

“Yang ini?” tanyaku.

“Ya sayang. Masih yang dulu,” bisiknya.

“Sebentar,” ujarnya sebelum aku menutup kontak pada layar handphone-ku.

“Ada apa?” tanyaku.

“Mas mau lihat.”

Mas Warso membaca nama yang kutulis pada kontak handphone-ku.

“Lihat apa sih Mas.”

“Kenapa Rahasia Hati?” tanyanya.

“Mas, jangan tanyakan hal itu. sekarang Mas istirahatlah. Selamat malam.”

“Ya, apapun itu, Mas tetap senang kok.”

“Kamu nggak mau tahu namamu yang Mas simpan di sini?”

“Apaan?”

“Nih!” ujarnya sembari memperlihatkannya padaku.

“Rinduku?”

“Kamu adalah rinduku, selamat malam ya. Semoga lekas sembuh.”

“Ya Mas, makasih sekali lagi dan untuk semuanya.”

“Bu de, aku pamit dulu mau ke kamar, kalau ada apa-apa hubungi aku cepat.”

“Ya War, Bu de nggak sabaran untuk ngabari mamamu.”

“Jangan sekarang Bu de. Nanti setelah selesai tahalul saja.”

“Ya udah, kamu kembali ke kamarmu,” ujar Buk Aina pada Mas Warso dengan senyum bahagia.

“Ya Bu de, assalamualaikum,” ujarnya sembari meninggalkan kami.

Buk Aina mengantar Mas Warso hingga pintu kamar, lalu kembali menghampiriku.

“Buk, baiknya Ibuk juga istirahat,” ujarku setelah Buk Aina berada di dekatku.

“Ya Ra. Tapi Misna sama Aini kok belum pulang? bukannya tadi mereka duluan?”

“Kemana ya?” pikirku.

“Kamu tidur saja dulu Ra, biar Ibuk yang nungguin mereka.”

“Tapi….”

“Sudahlah, tidur saja duluan.”

Kantuk benar-benar mulai menyerangku, sepertinya obat yang kuminum memicu kantukku. Akhirnya akupun tertidur.

“Ra, kamu itu gadis yang manis, nggak salah Warso menyukaimu. Kamu juga baik dan penurut walaupun terkesan manja,” batin Bu Aina.

Buk Aina kembali ke tempat tidurnya setelah memperbaiki selimut di tubuh Rani.

Baru saja Buk Aina terduduk di tempat tidurnya terdengar ketukan pintu.

“Assalamualaikum.”

“Nah, itu mereka. waalaikumsalam, sebentar!”

Buk Aina membukakan pintu untuk Misna dan Aini.

“Lho, kok baru nyampe?”

“Kami belanja dulu Buk,” sahut Mbak Misna.

“O, Alhamdulillah. Ibuk pikir kemana tadi.”

“Rani gimana Buk?”

“Sudah minum obat, Ibuk suruh dia tidur untuk beristirahat.”

“Sebaiknya Ibuk juga istirahat, tidurlah duluan, biar aku sama Aini yang jaga-jaga.”

“Jaga-jaga apa?”

“Siapa tahu Rani demamnya naik lagi.”

“Semoga saja tidak karena baru minum obat, tuh sepertinya dia sudah tertidur.”

“Alhamdulillah, mudah-mudahan cepat sembuh. O, ya Buk, yang tadi sama Ibuk dan Rani itu siapa?”

“Warsono, dia keponakan Ibuk.”

“O, sepertinya dekat dengan Rani, apa dia itu…?”

“Calonnya Rani. Mereka sudah lama kenal hanya masalah waktu saja. Mudah-mudahan sepulang dari sini mereka segera ijab Kabul.”

“Aamiin.”

“Kalau bagitu mariistirahat, sebentar lagi azan subuh.” Ujar Buk Aina.

“Ya, Ibuk mau istirahat dulu.”

“Ya Buk.”

***

Dua jam bukanlah waktu yang panjang, rasanya baru saja tertidur sudah terdengar suara azan pertama yang berarti membangunkan orang-rang yang mau sahur bagi mereka yang ingin berpuasa.

Aku menggeliat tapi mataku masih terasa berat untuk kubuka, akhirnya aku kembali tertidur hingga azan kedua.

Satu jam berikutnya azan kedua yang menandakan waktu subuh sudah hampir tiba, aku merasakan tubuhku terasa agak enteng dan kepalaku juga sudah tidak terasa sakit lagi. Kubuka mataku ternyata hari sudah pukul empat lewat lima belas menit waktu Saudi.

“Buk, Mbak, udah azan subuh,” panggilku membangunkan teman-teman sekamarku.

“Ra, kamu sudah bangun?” tanya Mbak Aini.

“Sudah Mbak.”

“Gimana keadaanmu?”

“Alhamdulillah Mbak, aku sudah jauh lebih baik. Aku mau mandi,” sahutku.

Kebetulan kamar mandi kami ada dua jadi kami tidak perlu menunggu antrian panjang untuk masuk ke kamar mandi.

“Kamu sudah bangun Ra?” tanya Buk Aina saat melihatku berkemas mengambil handuk dan peralatan mandiku.

“Sudah Buk, aku mau mandi biar segar.”

“Sudah nggak demam lagi?”

“Udah nggak lagi Buk, Alhamdulillah badanku sudah terasa enakan.”

“Alhamdulillah. Jangan lupa mandinya pakai air hangat.”

“Ya Buk.”

Waktu terus berjalan tanpa menunggu sedetikpun, akhirnya kami semua bersiap berangkat ke masjid untuk menunaikan shalat subuh.

Baru saja kakiku melangkah dari kamar handphoneku bergetar.

“Hmm! Rahasia hati,” gumamku.

Aku menggeser tombol jawab pada handphone-ku.

“Assalamualaikum.”

“Waalaikum salam, kamu sudah bangun Ra?”

“Sudah dong Mas, mana mungkin aku menjawab telepon Mas kalau masih tidur.”

“Gimana? Udah nggak demam lagi?”

“Alhamdulillah Mas, sudah sembuh.”

“Alhamdulillah, tapi obatnya nanti tetap diminum ya.”

“Ya Mas. Mas nggak ke masjid?”

“Ke mesjidlah, yuk kita berangkat!”

Tiba-tiba Mas Warso sudah berdiri di belakangku.

“Astagfirullah, Mas ngagetin aja. Ngapain nelepon kalau Mas ada di belakangku.”

“Maaf, tadi waktu Mas nelpon itu masih di kamar, trus Mas lihat kalian. Mas langsung buru-buru ke sini.”

“Hmm! Ada yang bahagia nih,” ujar Mbak Misna melihat kami beriringan.

“Mbak apaan sih, biasa aja Mbak,” sahutku malu.

Kami melangkah menuju lift yang masih sunyi. Tiba-tiba ada yang memanggil.

“Warso, tunggu!”

Mas Warso menghentikan langkahnya ketika mendengar suara memanggilnya.

“Raja,” ujar Mas Warso.

“Mas, aku duluan sama Ibuk ya,” ujarku.

“Ya, Ra. Hati-hati.”

Aku, Mbak Misna, Mbak Aini dan Buk Aina masuk ke dalam lift yang sudah terbuka. Sesampai di loby hotel kami menuju masjid nabawi tanpa menunggu Mas Warso bersama Kak Raja.

“Raja siapa Ra?” tanya Bu Aina berada di jalan.

“Dia temannya Mas Warso Buk.”

“Tapi Ibuk dengar dia kakakmu, maksudnya apa ya?”

“Ya Buk, Kak Raja itu sudah menganggapku adikknya. Dia sudah menikah Buk dan sudah punya anak dua.”

“O, begitu. Syukurlah, Ibu kuatir kalau-kalau dia itu ada hubungan spesial sama kamu.”

“Itu dulu Buk, tapi hanya sebagai rahasia hati yang sudah lama kukunci bahkan kuncinyapun sudah kubuang biar tak pernah terbuka kembali,” bisik hatiku.

“Benaran hanya sebagai kakak?” tanya Buk Aina yang belum yakin.

“Iya Buk,” sahutku.

“Tapi Ibuk lihat matanya seperti cemburu dengan kedekatan kalian,” ujar Buk Aina ragu.

“Kak Raja memang seperti itu, dia nggak rela kalau aku dipermainkan. Dulu waktu diklat dia juga melakukan hal yang sama saat aku dekat dengan Mas Warso,” jawabku meyakinkan Buk Aina.

“Baguslah kalau begitu, Ibuk takut kalau Warso keduluan orang lagi.”

“Sekalipun aku tidak berjodoh dengan Mas Warso, aku tidak akan pernah menjadi duri dalam kehidupan rumah tangga Kak Raja. Jangankan merebutnya dari Raisya, mengakui perasaanku padanya saja aku nggak pernah mau,” batinku.

“Warso mana?” tanya Arfan yang tiba-tiba sudah berada di dekat kami.

“Di belakang,” jawabku.

“Kok nggak bareng?”

“Ada temannya,” jawabku.

“Siapa?”

“Maharaja.”

“Maharaja?”

“Ya.”

“Lho, Raja ada di sini juga?”

“Kamu kenal sama Kak Raja?”

“Kenallah, kami pernah satu kantor sebelu aku pindah ke tempat Warso bekerja.

“O.”

“Kamu gimana Ra? Sudah sembuh?”

“Alhamdulillah Fan, sudah jauh lebih baik.”

“Syukurlah, semoga ibadah kita berjalan lancar.”

“Aamiin.”

“Permisi!” seseorang menghampiri kami dan menahanku.

“Rani?” ujarnya kaget.

Aku tak kalah kaget begitu melihatnya.

“Tiara?”

“Subhanallah Ra, kok bisa barengan kita ya?”

“Sudah lama sampai di Madinah?” tanyaku.

“Belum Ra, kami baru sampai tadi sekitar jam dua dini hari,” sahutnya.

“Kamu sama suamimu?”

Aku menggelang.

“Lho?”

“Aku belum punya suami,” sahutku.

“Sama, aku nggak jadi sama Mas Warso karena dia waktu itu buru-buru menikah,” sahutnya.

Dheg! Aku terperanjat mendengar ucapannya.

“Udah dulu ya Ra, nanti kalau ada waktu kita ngobrol, aku ngejar rombonganku dulu.”

“Ya Allah, aku harus bagaimana?” batinku.

Bersambung…

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Menarik kisahnya

23 Dec
Balas

Terimakasih Bu Cantik ternyata belum tidur, selamat beristirahat.

23 Dec

Cerita kehidupan yang keren bunda.Lanjutkan dengan karya berikutnya agar terwujud buku tunggal. Terimakasih telah setia mengunjungi sriyonospd.gurusiana.id untuk saling SKSS

23 Dec
Balas

Terimakasih Pak Sriyono

23 Dec

Makin membuat penasaran, Bund. Jadi, Mas Warso pernah menikah? Waduh, ditunggu lanjutannya ya, Bund. Jadi penasaran.

23 Dec
Balas

terimakasih Bu Teti

23 Dec

Semakin seru nih, jadi warso belum pernah nikah ya. Sehat dan sukses selalu bucantik

23 Dec
Balas

Sudah pernah nikah...ha..ha..ha..duda yang mebujang Bu Cantik.

23 Dec

Menarikdan seru ceritanya bun,ditunggu lanjutannya..

24 Dec
Balas

Sukses selalu buat Ibu Sanria Elmi

23 Dec
Balas

Terimakasih Pak

23 Dec

Bersambung Bunda. Sungguh keren yg satu kontanya rahasia hati, satu lagi rinduku. Sukses selalu buat Bunda Aamiin

23 Dec
Balas

makasih Bunda

23 Dec

Semakin seru dan menarik Bucan. Penasaran dengan kelanjutannya. Salam sukses selalu Bucan

23 Dec
Balas

Terimakasih Bu Cantik

23 Dec

Makin menaik dan buat penasaran...suguhan istimewa dari sahabatku yang cantik dan hebat.. Sukses selalu bu guru cantik... Salam santun

23 Dec
Balas

Terimakasih Sahabatku yang tak kalah hebat dalam sulaman diksinya yang selalu bikin baper. Selamat beristirahat.

23 Dec

Tiara dan Rani.... kira- kira bagaimana kelanjutan ya.... keren Bun...salam Literasi

23 Dec
Balas

terimakasih Bu

23 Dec

Makin seru kisahnya, Bu... ikut hanyut dalam ceritanya... Lanjutt, Bu. Salam sukses

23 Dec
Balas

Terimakasih Bu Cicik

23 Dec

Keren Bu lagunya. Merdu amat

23 Dec
Balas

Terimakasih

23 Dec

Keren ceritanya. Kalimat per kalimat enak dibacanya. Sukses selalu bunda

23 Dec
Balas

Terimakasih Cantik

23 Dec

Seruuu.. ceritanya Bunda. Asyik membaca nya. Keren banget. Sukses selalu buat Bunda

23 Dec
Balas

terimakasih Bun

23 Dec

Bagaimana ya akhir kisah ini? Warsi dan Rani. Penasaran deh. Lanjut, Bun. Sukses selalu Bunda Sanria Elmi.

23 Dec
Balas

Terimakasih Bu Siti, selamat beristirahat, insyaallah saya mampir.

23 Dec

Semakin asik ceritanya bunda. Sukses slalu

23 Dec
Balas

Terimakasih

23 Dec



search

New Post