Sanria elmi

Nama yang diberikan oleh ortu Sanria Elmi Tempat tugas sebelumnya:SMP N 3 Lubuk Batu Jaya kab. Indragiri Hulu-Riau Tempat tugas saat ini: SMP Negeri 2 Lubuk B...

Selengkapnya
Navigasi Web
RAHASIA HATI Episode 48
postermywall

RAHASIA HATI Episode 48

24/12/2020

RAHASIA HATI

Episode 48

Oleh: Sanria Elmi

Kucoba mendamaikan hati untuk tetap berbaik sangka kepada-Nya yang mengatur skenario hidupku. Kuyakin apapun yang menjadi takdirku itulah yang terbaik sekalipun kenyataan pahit yang harus kuterima. Yang baik menurut pandangan dan perasaanku sebagai manusia biasa mungkin belum tentu baik di mata-Nya. Di tanah suci ini, sebelum aku berangkat menjalankan ibadah umrohku aku harus membersihkan hatiku dari setiap debu-debu dosa dan syakwasangka yang dihembuskan lewat bisikan yang menyesatkan.

“Tiara, apakah kau masih mengharapkan orang yang sama sepertiku?” batinku.

“Rabbi, subuh yang penuh rahmat-Mu, di rumah kekasih Engkau, aku tundukkan kepala menadahkan harap hanya pada-Mu. Ampunlah dosa-dosa hamba yang naïf dan hina ini, terimalah segala amal ibadahku. Perkenankan dan ijabahlah doa-doa hamba, jika yang terbesrsit di hati ini adalah satu kebaikan, maka kabulkanlah ya Allah. Andaikan sebaliknya maka berilah aku kesabaran untuk dapat menerima kenyataan dengan berjiwa besar.”

Air mata penyesalan itu ku biarkan tumpah mengalir bak anak sungai. Rasa yang kian menyesak di dadaku perlahan berkurang hingga aku kembali tegar dan siap melangkah dengan keyakinan penuh. Kepasrahanku mampu melegakan hati dan mendamaikan jiwa yang penuh dengan karatan dosa terselubung yang tidak kusadari.

“Ra, kamu baik-baik saja kan?” Buk tanya Buk Aina mengelus punggungku.

Aku mengangguk dan tersenyum dengan rasa damai meskipun mataku masih terlihat basah. Aku masih enggan beranjak dari sajadahku menanti duha.

“Ra, kita kembali ke hotel?” tanya Buk Aina lagi.

“Aku mau nunggu duha Buk, kalau Ibuk mau ke hotel nggak apa-apa kok, insyaallah aku baik-baik saja.”

“Kamu yakin?” tanyanya.

Aku mengangguk. Buk Aina kembali membelai punggungku dengan penuh sayang.

“Ya sudah, Ibuk ke hotel dulu, kamu jaga diri baik-baik, kalau ada apa-apa hubungi Ibuk atau Warso.”

“Ya Buk, terimakasih.”

Kutatap wanita yang begitu perhatian dan penuh sayang padaku dengan haru. Kutatap kepergiannya melangkah bersama desakan jamaah yang berniat untuk keluar dari dalam masjid. Setelah kepergian Buk Aina, aku kembali menekurkan kepalaku sembari mengenang setiap jengkal langkah yang telah kuayunkan dalam meniti perjalanan hidupku selama ini.

Pahit! Hanya kenangan pahit yang terlintas dalam benakku. Betapa aku tak berdaya dan tertatih menggapai harapan yang tak kunjung datang dalam dekapku. Air mataku kembali tumpah saat kuingat ayah dan bunda yang menyandarkan harapan kebahagiaan yang belum sempat kuwujudkan.

“Ra, Bunda tidak mengingnkan apa-apa darimu, hanya berharap kamu bahagia dan segera menemukan pendamping hidup yang sayang dan menerima segala kelebihan dan kekuranganmu. Hanya itu Ra, Bunda semakin tua. Bunda takut jika tidak sempat melihatmu menikah dan punya anak pelengkap kebahagiaan Bunda. Ayahmu tentu juga mempunyai harapan yang sama.”

Terngiang kembali ucapan Bunda ketika akhirnya kuterima kehadiran Bang Rahman dan perlahan membuka hatiku. Hanya sesaat, ketika hatiku terbuka menerima segala kelebihan dan kekurangannya, takdir tidak memihakku, ujian itu datang menikamkan belati, mencabik harapanku. Aku tidak berdaya melawan takdir yang telah tersurat. Hanya mampu menerima dalam hati yang kembali hancur berkeping-keping.

Di saat yang sama, aku menata kembali puing-puing harapan yang telah porak-poranda direjam kepahitan. Kutanyakan pada sisi hatiku yang terluka, Mas Warso yang pernah menitipkan sebait rindunya dalam rahasia hatiku, apakah aku bisa menerimanya dalam ketulusan bukan pelarian? Kutanyakan dalam setiap doa malamku namun aku tidak langsung menghubunginya.

Perih! Di hulu hatiku terasa perih bak luka tersiram asam cuka ketika aku dengar kabar bahwa dia memperiapkan pernikahannya. Aku mundur teratur dan menyimpannya kembali dalam harapan yang tak kesampaian.

“Hari ini, aku merasa bahagia bisa bertemu dengannya di tanah suci ini. Dia masih seperti yang dulu, rasa sayang dan perhatian yang tidak berkurang. Tetapi pertemuanku dengan Tiara, sahabat semasa kuliahku yang ternyata juga kecewa dengan pernikahan Mas Warso setahun yang lalu. Ini yang menjadi bebanku.”

“Astagfirullah!”

Aku tersadar dan kembali memasrahkan segala yang akan terjadi. Aku berdiri dan membasuh wajahku dengan air zam-zam yang berada di sampingku. kutunaikan shalat duha yang sudah masuk waktunya.

Langkahku terasa berat meninggalkan rumah yang membuat hatiku terasa tentram tetapi aku tidak ingin ada yang mengkuatirkanku. Akhirnya aku keluar dari masjid kekasih Allah tanpa harus berdesakan.

Aku tiba di halaman masjid, niatku untuk kembali ke hotel kuurungkan. Kunikmati pemandangan indah pagi dengan menatap paying-payung yang menguncup perlahan mengembang secara otomatis. Aku juga berharap, payung hatiku akan terkembang menaungi setiap langkahku dalam ridho-Nya. Kulangkahkan kakiku mengikuti kata hati, aku tiba di depan bagian masjid dengan tanda penutup berwarna hijau yang katanya itu adalah lokasi makam nabi. Kulihat banyak orang yang berdiri di sana sembari berdoa dan bersalawat. Aku melanjutkan langkahku menyusuri halaman masjid nabawi yang luasnya luar biasa. Sesekali aku terpaksa menghindar karena pekerja yang sedang membersihkan halaman masjid dengan mesin khusus.

Belum selesai aku mengelilingi masjid aku sudah tidak kuat lagi akhirnya aku memutuskan menemukan pintu keluar untuk akses menuju hotel terdekat, tiba-tiba handphone-ku bergetar. Aku berhenti sejenak duduk di bangku yang disediakan di depanku.

“Mas Warso,” batinku begitu kulihat nama yang memanggil.

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam, kamu di mana Ra?”

“Aku masih di masjid Mas, ada apa?”

“Di sebelah mana?”

“Tidak jauh dari pintu 25 Mas.”

“Mas ke sana ya.”

“Mas sama siapa?”

“Sendiri.”

“Ya udah, aku tunggu.”

“Mas ke sana sekarang, handphone-nya jangan dimatikan, Mas juga berada di sekitar sini, ini di depan pintu 25. Kamu di mananya?”

“Mas lurus saja dari pintu 25 ke sini.”

“Di bangku yang kemarin ya?”

“Ya, Mas.”

“Ya, Mas sudah lihat kamu.”

“Tutup panggilannya ya.”

“Ya nggak apa-apa,” sahutnya.

Aku menunggu Mas Warso yang sudah terlihat dari jauh menuju ke arahku.

“Kok nggak ke hotel?” tanyanya begitu sampai di dekatku.

“Tadi aku duha dulu trus aku pingin jalan-jalan di sini.”

“Kok nggak ngubungi Mas?”

“Aku takut Mas lagi sibuk.”

“Sibuk ngapain?”

“Mas, tadi aku ketemu Tiara. Mas masih ingat sama teman aku yang mau dikenalin sama mama dulu?”

“Ketemu di mana?”

“Di jalan, waktu mau shalat subuh tadi.”

“Ngobrolin apa?”

“Nggak ada Mas, tapi dia ngasih tahu aku kalau dia juga belum menikah setelah tahu Mas menikah saat itu.”

“Dia ngomong gitu?”

“Sepertinya dia berharap dan kecewa.”

“Kamu nggak ngasih tahu tentang kita?”

“Nggak mungkin rasanya Mas, lagi pula dia buru-buru.”

“Ya sudahlah jangan dipikirin, sekarang Mas hanya mau meyakinkan tentang hubungan kita. Mas nggak mau kehilangan kamu lagi. Kamu nggak keberatan dengan status Mas kan?”

“Mas yakin mau bersamaku?”

“Sangat yakin Ra,” ujarnya.

“Aku sih nggak keberatan dengan status Mas sekarang,” jawabku.

“Terimakasih ya Ra.”

“Kita berdoa saja jika yang baik tidak akan berubah buruk, jika sudah kehendak-Nya takkan ada yang akan menghalangi.”

“Bagaimana kalau sekiranya Tiara juga berharap?” sambungku.

“Mas belum pernah memberikan harapan, bahkan kami juga belum sempat kenal lebih dekat. Jadi Mas rasa itu tidak mungkin terjadi.”

“Mas, tidak ada yang tidak mungkin jika yang punya skenario menghendakinya.”

“Mas hanya berharap kamu yang akan melengkapi hidup Mas.”

“Aku juga berharap begitu Mas,” batinku.

“Udah siang, kita kembali ke hotel ya, kamu belum minum obatnya.”

“Aduh1 obat lagi,” batinku.

“Kenapa? Masih takut minum obat?”

“Bukan takut Mas, tapi malas.”

“Kamu itu kadang lucu, Bu Guru takut minum obat.”

“Siapa yang takut? Kan aku bilang malas aja,” rungutku.

“Tadi malam kalau nggak Mas paksakan pasti nggak jadi minum obatnya kan?”

“Ya.”

“Ya udah, yuk kita pergi sekarang. Sarapan trus Mas akan paksa lagi untuk meminum obatnya biar kamu benar-benar fit.”

“Aku sudah sehat kok Mas.”

“Ya, Mas tahu, tapi Mas kuatir nanti kalau obatnya nggak diminum lagi kalau kambuh giman?”

“Janganlah Mas, aku nggak mau demam lagi, aku mau menyelesaikan umrohku.”

“Makanya nanti kamu harus tetap minum obatnya ya.”

“Ya.”

“Gitu dong.”

Aku dan Mas Warso meinggalkan halaman masjid menuju ke hotel. Selama perjalanan kami lebih banyak diam. Mataku menikmati suguhan lapak yang digelar di sepanjang jalan.

“Sapuluh, sapuluh real.”

Kudengar teriakan para pedagang yang menjajakan dagangannya.

“Mas, aku mau beli sandal dulu ya,” ujarku ketika kulihat sandal berjejer di semperan toko yang dijajakan pedagang.

Aku dan Mas Warso mendekati lapak tersebut. Aku mengambil satu pasang sandal yang sederhana dan sepertinya nyaman untuk digunakan.

“Berapa?” tanyaku pada pedagang.

“Sapuluh real,” jawabnya.

Aku mengeluarkan uang dari dalam tasku tapi Mas Warso sudah membayarnya duluan.

“Mas, biar aku yang bayar,” ujarku.

“Simpan saja dulu uangmu, perjalanan kita masih panjang kok,” sahutnya.

“Makasih ya Mas,” ujarku.

“Sama-sama Ra.”

“Ra, kita ke situ yu sebentar,” ujarnya ketika melihat toko perhiasan.

“Mas mau beliin oleh-oleh buat mama?” tanyaku.

“Ya,” jawabnya.

Aku dan Mas Warso memasuki toko perhiasan. Ra, kita lihat cincin itu yuk,” ajaknya.

Aku hanya menurut saja.

“Bisa lihat yang ini?” tanya Mas Warso.

“Yang ini? Ini bagus!” jawab penjual.

“Ra, Mas boleh pinjam jarimu?” tanyanya.

Aku ingat jika jari mamanya sama ukurannya dengan jariku hingga aku tidak keberatan untuk mencobanya.

“Mas, ini pas kok, tapi ini kan sepasang Mas. Apa Mas mau beli buat papa Mas juga?” tanyaku.

“Ya, biar sepasang. Ukurannya juga pas di jari Mas. Maksudnya jari Mas sama dengan ukuran jari papa,” jawabnya.

“O, ya udah, bagus kok,” ujarku.

Mas Warso tanpa basa basi langsung membeli sepasang cincin yang cukup indah itu.

“Cincin nikah?” tanya penjual.

“Ya,” jawab Mas Warso.

Aku hanya diam saja karena Mas Warso membelikan sepasang cincin itu buat orang tuanya.

“Kamu nggak mau beli gelang atau kalung Ra?” tanyanya padaku.

“Nggaklah Mas, sudah ada,” sahutku.

“Kalau Mas belikan buat mama, yang cocok yang mana ya?” tanyanya padaku.

“Itu manis Mas, sepertinya serasi sama cincin tadi,” sahutku.

“Yang ini ya?” tanyanya sembari menunjuk gelang dan kalung yang kutunjuk.

“Ya,” jawabku.

“Wow, spesial. Ini sangat serasi,” ujar sang penjual.

Akhirnya Mas Warso membelinya setelah selesai membayar di kasir kami pun melanjutkan perjalanan.

“Ra, Mas mau belikan mama baju yang serasi dengan perhiasan tadi.”

“Mas, bajunya rata-rata gamis sepertinya Mas. Tapi kalau Mas mau lihat, yuk kutemani,” sahutku.

Kami berdua melangkah menyusuri emperan tokoh yang memanjakan mata di sepanjang jalan. Langkahku terhenti ketika aku melihat gaun yang sepertinya serasi dengan perhiasan yang dibeli Mas Warso, hanya saja terlihat kurang cocok buat mama karena modelnya lebih cocok untuk anak muda. Tapi aku mencoba mengajaknya ke toko itu.

“Mas, coba kita lihat di situ,” ujarku.

“Ayok.”

Kami melihat-lihat gaun yang dipajang yang terlihat sangat manis. Tapi aku ragu dengan selera mamanya. Mama Mas Warso tidak begitu suka berpakaian yang terlalu wah.

“Ra, yang ini manis nggak?” tanya Mas Warso ketika melihat gaun yang lebih cocok untuk pesta.

“Manis sih Mas, tapi apa mama suka gaun seperti ini?” tanyaku ragu.

“Kalau kamu suka nggak?” tanyanya.

“Aku sih suka tapi aku juga nggak mau, gaun itu sepertinya cocok buat acara pernikahan.”

“Sekali-sekali kan boleh, apalagi kalau yang milihin itu kamu,” ujarnya.

“Terserah Mas sih, aku setuju aja,” jawabku.

Mas Warso mendekati penjual pakaian itu dan membisikkan sesuatu yang tidak kutahu.

“Ra, Mas pingin kamu cobain ya.”

“Tapi ukuran mama kayaknya agak kecilan dari ukuranku,” sahutku.

“Nggak apa-apa, mama kan suka kalau ukuran bajunya lebih besar,” ujarnya.

“Ya udah Mas, aku cobain ya.”

Aku pergi ke ruang ganti mencobakan gaun yang dipilih Mas Warso. Baju itu pas sekali di badanku. Aku hanya tersenyum melihat wajahku di cermin. Aku seperti ratu sehari.

“Pas kok Mas,” ujarku dari dalam kamar pass.

“Keluarlah, biar Mas lihat,” ujarnya.

“Aku malu Mas.”

“Kenapa?” tanyanya.

“Mas ke sini saja biar aku berdirinya di pintu.”

“Udah nggak apa-apa, keluar aja.”

Akhirnya aku keluar dari kamar pass dengan perasaan risih.

“Masyaallah, jamilah,” seru penjaga toko.

“Ra, cantik banget, Mas pangling lihatnya,” ujarnya setelah mendekatiku.

“Gaunya memang cantik banget Mas, makanya aku ragu kalau mama bakal mau pakai gaun ini,” ujarku.

“Nggak apa-apa Mas suka lihatnya,” sahutnya.

“Terserah Mas,” sahutku lalu kembali ke kamar pass dan mengganti pakaianku.

Aku mendekati penjual dan meminta dipilihkan satu gaun senada untuk orang tua yang berusia enam puluhan. Aku berniat membelikan bunda dan hadiah buat mama Mas Warso.

“Ini bagus,” ujar sang penjual.

Aku memilih dua gaun yang senada tetapi lebih sederhana dari gaun pilihan Mas Warso yang seperti baju pengantin.

“Buat siapa Ra?” tanya Mas Warso.

“Buat hadiah,” ujarku.

Aku memilih ukuran yang pas dengan badan bunda yang seukuran dengan mama Mas Warso.

Mas Warso kembali pada penjual setelah membungkus pakaian yang kami beli dengan cara terpisah.

“Berapa?” tanyaku.

“Sudah dibayar,” sahut penjual itu.

“Mas, aku mau bayar sendiri, ini kan buat hadiah,” rungutku.

“Ya nggak apa-apa, nanti kalau uang Mas habis baru pakai uangmu,” sahutnya.

“Kita kan beda travel, ya kalau nanti bisa bareng, kalau nggak?” rungutku.

“Kan Mas sudah tahu kalau kita akan selalu bersama biarpun dengan travel yang berbeda,” sahutnya nggak mau kalah.

“Aku jadi nggak enak Mas.”

“Sudahlah, jangan dipikirkan.”

Waktu tanpa terasa terus berjalan, hari sudah menunjukkan pukul sembilan lewat. Aku dan Mas Warso akhirnya tiba di hotel dan langsung ke ruang makan untuk sarapan pagi.

“Ra, kok lama sekali? Ibuk cemas kamu kenapa-napa,” ujar Buk Aina begitu berada di dekatku.

“Tadi aku nemani Mas Warso beli oleh-oleh buat mamanya,” sahutku.

“Syukurlah kalau kalian bersama.”

“Bu de, aku boleh titip nggak?” tanya Mas Warso sembari menggamit Buk Aina menjauh dariku.

“Nitip apa?” tanya Buk Aina.

Aku hanya melihat Mas Warso menitipkan barang belanjaannya yang baru dibeli sembari membisikkan sesuatu pada Buk Aina yang tidak kudengar.

Buk Aina senyum-senyum setelah menerima titipan Mas Warso.

“Ibuk sudah sarapan?” tanyaku.

“Sudah Ra, kamu sama Warso sarapanlah dulu. Ibuk mau ke kamar duluan mau nyimpan ini,” ujarnya.

“Ya Buk,” sahutku.

“Belanjaannya mau dititip nggak, biar nggak nenteng-nenteng,” ujar Buk Aina.

“Boleh Buk, makasih banyak lho Buk,” sahutku senang sembari menyerahkan tentenganku yang tidak terlalu berat.

Aku dan Mas Warso mengambil sarapan masing-masing lalu menuju meja yang kosong. Kuletakkan piringku yang sudah berisi menu sarapan pagi di atas meja lalu aku mengambil minuman untukku dan Mas Warso.

“Mas, aku bawakan jus,” ujarku setelah kembali ke meja makan.

“Makasih ya Ra,” sahutnya.

“Ya Mas, sama-sama.”

Aku dan Mas Warso menyantap sarapan pagi kami.

“Permisi, boleh duduk di sini?”

“Si…,” jawabku terputus ketika kulihat orang yang menghampiri kami.

“Rani! Mas Warso, hmm!” teriaknya.

Bersambung.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Makin asyik dan makin seru mengikuti kisahnya.. Semoga Rani menemukan tambatan hati yang terbaik.. dan orang itu adalah Mas Warso.. Aamiin..

24 Dec
Balas

Terimakasih Pak Hans

24 Dec

Ketinggalan.banyak episode, tapi ngg apa-apalah star dari sini.Keren Bunda, ditunggu lanjutannya.

27 Dec
Balas

Wow, cerita yang keren Bund. Sukses selalu dan barakallahu fiik

24 Dec
Balas

terimakasih Bu Cantik

25 Dec

Rani semakin dekat dengan Warso ya... Makin penasaran bagaimana lanjutannya.

25 Dec
Balas

Terimakasih Bu Teti

25 Dec

Apakah tiara ikutan gabung? wow semakin seru nih. sehat dan sukses selalu bucantik

24 Dec
Balas

Terimakasih Bu Cantik

24 Dec

Makin seru dan menarik ceritanya, semoga happy end buat rani dan warso.mantab bunda

25 Dec
Balas

Terimakasih Cantik

25 Dec

Sukses selalu ya Bu dan mkasih telah berkunjung

24 Dec
Balas

Sama-sama Bu cantik

24 Dec

Keren Bu

24 Dec
Balas

terimakasih Pak

24 Dec

Semoga disatukan dalam kebaikan. keren ceritanya, Bu. Sehat dan sukses selalu...

24 Dec
Balas

Terimakasih Bu Cantik

24 Dec

Semoga disatukan dalam kebaikan. Semakin keren ceritanya, Bucan. Sehat dan sukses selalu Bucan.

24 Dec
Balas

Terimakasih Bu Cantik

24 Dec

Saya sdh terlewat bbrp episode. Rupanya Rani dan Warso makin lengket saja. Apalagi sdh ibadah ke tanah suci bersama. Masyaallah..! Kisah yg keren, Bunda...

24 Dec
Balas

Terimakasih Bu Cantik apresiasinya

24 Dec

Makin keren sahabatku... Makin menarik dan membuat penasaran.. Salam santun dan sukses selalu...

24 Dec
Balas

Terimakasih sahabatku...

24 Dec

Semoga doanya nyata bertemu jodoh yang baik ya bun

24 Dec
Balas

Terimakasih Bu Cantik

24 Dec

Makin cakep cerpennya bunda. Sehat dan sukses slalu

24 Dec
Balas

Terimakasih Bu Cantik

24 Dec

Ceritanya semakin mantab keren bu, semoga senantiasa sehat dan salam sukses selalu

24 Dec
Balas

Terimakasih Pak Roni

24 Dec



search

New Post