Sanria elmi

Nama yang diberikan oleh ortu Sanria Elmi Tempat tugas sebelumnya:SMP N 3 Lubuk Batu Jaya kab. Indragiri Hulu-Riau Tempat tugas saat ini: SMP Negeri 2 Lubuk B...

Selengkapnya
Navigasi Web
RAHASIA HATI Episode 49
postermywall

RAHASIA HATI Episode 49

25/12/2020

RAHASIA HATI

Episode 49

Oleh: Sanria Elmi

“Tiara!”

“Ra, boleh aku ngomong sebentar nanti setelah sarapan?” tanya Tiara.

“Boleh kok,” sahutku.

“Makan obat dulu baru ngobrol ya,” ujar Mas Warso padaku.

“Kamu sakit Ra?” tanyan Tiara.

“Kemarin aku demam tinggi,” sahutku.

“Kalian… eh maksudku… ya udahlah nanti saja,” ujarnya.

Tiara duduk di dekatku, matanya sesekali melirikku dan Mas Warso seolah ada yang sedang dicernanya selain dari sarapan pagi yang sedang dikunyahnya. Aku mencoba menelaah arti lirikan yang dimilikinya.

“Maafkan aku Tiara, aku tidak bermaksud menyimpan dusta padamu,” batinku.

“Ra, kalian kok bisa bareng? Bukannya kalian lain travel?” tanya Tiara memecah kebisuan.

“Kamu tahu darimana kalau kami beda travel?”

“Ada deh, kamu jangan kuatir,” sahutnya dengan senyum dibibir.

Aku tidak memahami maksud senyumnya.

“Kuatir apa?” tanyaku penasaran.

“Nanti kita ngobrol setelah kamu minum obat, jangan sampai Mas Warso marah!” sahutnya.

Aku menatap Mas Warso yang juga menatapku. Tatapan yang selalu meneduhkan hatiku.

“Kita ngobrol di mana?” tanyaku pada Tiara setelah aku menyelesaikan sarapanku.

“Di loby hotel, boleh kan Mas?” jawab Tiara meminta persetujuan Mas Warso.

“Ya, boleh kok.”

“Aku tunggu di loby ya Ra, aku duluan,” ujar Tiara setelah meneguk air putih penutup sarapannya.

“Baiklah, tapi aku ke kamar dulu,” jawabku.

“Oke, Mas aku boleh bicara sebentar nggak?” tanyanya pada Mas Warso.

Mas Warso menatapku.

“Ada apa ya?” tanyanya.

“Sebentar kok, nggak lama. Bolehkan Ra?” jawabnya.

“Ya nggak apa-apa,” sahutku.

Tiara menyilakan Mas Warso mengikutinya menjauh dariku.

“Sebentar ya sayang,” bisiknya.

Aku hanya menyahuti dengan seulas senyum dan anggukan.

***

Sepuluh menit sudah berlalu kumenunggu, akhirnya aku memutuskan meninggalkan ruang makan yang sudah sepi. Aku menuju lift untuk kembali ke kamarku. Lift terlihat sepi hingga aku tak perlu menunggu berlama-lama. Pintu lift terbuka, aku segera masuk dan menutupnya kembali. Saat aku hendak menekan tombol, pintu lift kembali terbuka.

“Ra, kok sendiri? Warso mana?”

Aku hanya senyum membalas tanyanya.

“Kamu nggak sama Warso tadi?”

“Dia ada keperluan,” jawabku sedikit risih berdua saja di dalam lift.

Dia menekan tombol menuju tingkat yang sama denganku.

“Ra, Kamu kenapa nggak jujur sama Kakak?”

“Maksudnya?”

“Kenapa nggak ngabari Kakak, sampai kapan kamu selalu menyimpan sendiri semua lukamu? Apa Kakak nggak berhak tahu?”

Aku terdiam mendengar seabrek tanyanya.

“Kenapa Ra? Apa Kakak ini orang yang tak pernah berarti buatmu?”

“Maafkan aku Kak,” sahutku.

“Ya, tapi kenapa?”

Aku menarik nafasku yang terasa berat.

“Maafkan Kakak ya Ra, Kakak nggak rela rasanya jika kamu diperlakukan dan disakiti.”

“Aku nggak apa-apa kok Kak. Aku ikhlas dengan takdirku.”

“Ra, belajarlah untuk membuka hati dan berbagi.”

“Kak, kau yang sudah memulai menabur luka itu, hingga kini luka itu masih membekas di hatiku sekalipun sudah kututp rapat dalam rahasia hatiku,” batinku.

“Kakak mau bertanya, apapkah kamu serius untuk menerima Warso dengan hati yang terbuka? Apa kamu yakin kamu tidak akan terluka lagi?”

“Aku nggak bisa jawab Kak, semua kupasrahkan pada skenario hidupku,” batinku.

“Kalau kamu tidak bersedia memberitahu Kakak, baiklah. Itu artinya Kakak memang tidak pernah berarti bagimu.”

Hatiku perih mendengarnya, namun aku tidak berkeinginan untuk bicara apapun dengannya.

Pintu lift terbuka, aku buru-buru keluar dari lift menuju kamarku.

“Tunggu Ra, Kakak mau bicara,” ujarnya.

“Maaf Kak, aku buru-buru.”

“Ra, Kakak hanya ingin memberitahumu biar perasaan bersalah selama ini tidak menghantui Kakak terus.”

Langkahku tertahan mendengar ucapannya.

“Ra, dengarkan pengakuan rasa bersalah Kakak ini.”

“Aku dengarkan.”

“Terimakasih Ra. Ra, asal kamu tahu bertahun Kakak memendam semua ini hingga rasa bersalah terus saja memojokkan atas kepengecutan Kakak.”

aku masih bertahan sekalipun kakiku berkeinginan untuk melangkah dan meninggalkannya. Aku tidak siap mendengar pengakuan apapun darinya. Sudah cukup lukaku, aku tak ingin luka itu kembali berdarah.

“Kakak sayang kamu Ra. Kakak nggak bisa melupakan kamu dan Kakak tahu kamu memiliki perasaan yang sama dengan Kakak. Hanya itu Ra, Kakak minta kamu memaafkan kepengecutan ini.”

“Sudah Kak? Aku tidak memliki rasa apapun terhadap Kakak selain dari rasa seorang adik terhadap seorang kakak yang selalu membimbing dan membantu di saat aku membutuhkan. Aku bahagia melihat Kakak bahagia bersama pilihan umi. Aku harap Kakak tidak merasa bersalah lagi.”

“Terimakasih Ra. Benarkah seperti itu?”

“Ya Allah ampunkan aku atas dusta ini di tanah suci-Mu. Aku tidak mau luka itu kembali terbuka, aku hadir di sini untuk menghapus segala debu dosa yang tercetus di hatiku. Maafkan ketidakjujuran ini. Jika aku jujur, kuatir semuanya akan semakin runyam. Semoga Kau memaklumi tindakanku ini,” batinku.

“Ya, Kak, aku jujur,” sahutku tertunduk.

“Baiklah Ra, terimakasih karena ternyata selama ini Kakak hanya bertepuk sebelah tangan dan menyimpan rasa itu. Maafkan Kakak ya. Kakak doakan kamu bahagia kelak dengan orang yang benar-benar menyayangimu hingga akhir hayat dalam satu ikatan cinta karena-Nya.”

“Terimakasih Kak doanya.”

Kutinggalkan Kak Raja setelah aku pamit. Baru saja langkahku hendak terayun, gawaiku berdering.

“Mas Warso,” batinku.

“Assalamualaikum Mas.”

“Waalaikum salam, Ra, kamu di mana? Kok nggak nungguin Mas?”

“Maaf Mas, aku sudah di depan kamar.”

“Mas ke sana sekarang, tunggu ya.”

“Ya, Mas.”

“Ya udah, assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Kepalaku terasa berat, hatiku kembali terasa hambar. Aku tidak tahu apa yang membuatku seperti itu.

Aku hanya mampu beristigfar agar perasaanku tidak kacau seperti ini. Kuketuk pintu kamarku lalu masuk setelah dibuka Buk Aina.

“Ra, Warso mana?”

“Tadi ada keperluan, jadi aku duluan.”

“Keperluan apa?”

“Hanya ngomong gitu aja tadi, jadi aku nggak tahu ada perlu apa.”

Aku duduk di tempat tidurku, kepalaku masih terasa berat. kubaringkan tubuhku di pembaringan berharap tidak kenapa-napa dengan keadaanku yang mungkin hanya sekedar lelah.

“Kenapa Ra? Apa Warso membuatmu bersedih?” tanya Buk Aina setelah mendekatiku.

“Agak pusing aja Buk.”

“Assalamualaikum, Bu de!”

Terdengar suara salam di depan kamar.

“Waalaikumsalam.”

“Itu Warso!” ujar Buk Aina padaku.

Buk Aina meninggalkanku melangkah membukakakn pintu.

“Kamu dari mana War? Kenapa Rani balik sendiri?” cerocos Buk Aina begitu melihat Mas Warso berdiri di depan pintu.

“Aku ketemu Tiara tadi sebentar,” jawab Mas Warso tanpa rasa bersalah.

“Lalu? Kenapa Rani kamu biarkan sendiri?”

“Aku sudah minta dia nunggu, tapi aku agak lama, aku membelikan sesuatu buat Rani yang aku lupa tadi,” jawabnya pelan.

“Beli apa?” tanya Buk Aina.

“Ini, aku lupa belikan jilbabnya,” bisiknya.

“Masuklah!”

Mas Warso masuk ke kamar setelah diberi jalan oleh Buk Aina. Mas Warso mendekatiku.

“Kamu kenapa Ra?” tanyanya sedikit cemas.

“Nggak kenapa-napa Mas. Kepalaku agak pusing aja,” sahutku.

Aku bangkit dari tidurku, tapi urung kulakukan karena dilarang Mas Warso.

“Kamu baring aja. Mas ambilkan obatnya dulu.”

“Mas, obatnya dalam rak itu,” ujarku.

Mas Warso segera mengambil obatku dan air zam-zam yang diberikan Buk Aina dan segera kembali ke dekatku.

“Ra, minum obat dulu ya.”

“Ya Mas,” sahutku sembari bangkit dari tempat tidurku.

Aku tidak mau merepotkan Mas Warso, walaupun aku ogah minum obat tetapi kuminum juga. Aku nggak mau terlihat kekanak-kakanakan.

“Udah Mas, Makasih Mas,” ujarku setelah meminum obat yang diberikannya.

“Baiknya kamu istirahat, nggak usah menemui Tiara dulu. Biar Mas kasih tahu kalau kamu nggak enak badan.”

“Aku nggak kenapa-napa Mas, nggak enak sama Tiara Mas.”

Aku merapikan pakaianku yang sedikit kusut.

“Aku turun sebentar Mas.”

“Mas antar,” ujarnya.

“Nggak usah Mas, aku nggak apa-apa kok,” sahutku.

“Mas nggak izinkan kalau kamu pergi sendiri,” sahutnya.

“Ya udah, yuk pergi sekarang!”

“Buk, aku mau ke loby sebentar.”

“Hati-hati.”

“Ya Buk.”

Aku dan Mas Warso kembal ke loby hotel. Begitu keluar dari lift kulihat Tiara sudah menungguku di sana.

“Mas aku menemui Tiara dulu.”

“Ya, kalau sudah selesai hubungi Mas!”

“Ya.”

Kutemui Tiara setelah Mas Warso meninggalkanku.

“Tiara, maaf ya. Kamu jadi lama menunggu,” ujarku setelah duduk di dekat Tiara.

“Nggak apa-apa Ra.”

Tiara bertanya berbagai hal yang sudah kuduga. Tiara ingin tahu tentang hubunganku dengan Mas Warso.

“Tiara, aku minta maaf ya.”

Kujelaskan semua hal yang penting-penting juga mengenai hubunganku yang belum berjalan jauh setelah perpisahanku saat bertemu dengan Mas Warso setahun yang lalu.

“Tapi kamu masih mengharapkan Mas Warso kan?”

“Dia baik, aku hanya berharap sebatas kewajaran,” sahutku.

“Aku senang Ra. Aku sudah bicara sama Mas Warso tadi. Bagaimana kalau sekiranya harapan kamu nggak jadi kenyataan?” tanya Tiara padaku.

“Aku yakin dengan ketentuan Allah, jika tidak jadi kenyataan berarti harapanku bukan yang terbaik,” jawabku sembari tersenyum.

Tiara mendekatiku sembari memelukku.

“Semoga yang terbaik ya Ra, doakan juga aku ya, agar harapan yang sama menemukan dermaga terbaik.”

“Harapan yang sama?” batinku.

“Tentu, Tiara. Kamu sahabatku,” sahutku.

“Terimakasih Ra, kamu sahabat terbaikku,” ujarnya.

“Sama-sama Tiara.”

“Aku pamit dulu ya. O ya, besok kalian sudah berangkat ke Mekkah ya? Semoga umrohnya berjalan lancar.”

“Terimakasih ya Tiara,” sahutku kembali memeluknya sebelum dia meninggalkanku.

Beberapa saat kemudian Mas Warso datang menemuiku.

“Sudah selesai?” tanyanya setelah berada di dekatku.

“Sudah.”

“Ngobrolin apa sih?”

“Biasa, hanya ngobrol hal biasa.”

“O,” ujarnya.

“Sekarang mau ke mana?” tanyanya.

“Aku mau di sini dulu.”

“Ngapain?”

“Nggak ada, duduk aja.”

“Hmm! Mas boleh nemani?”

“Jika tidak membuang-buang waktu Mas, boleh aja sih.”

“Mas temani ya. Mas mau besok saat kita meninggalkan Madinah tidak ada lagi perasaan yang mengganjal.”

“Aku maunya begitu Mas, tapi apa aku bisa?” batinku.

“Yakin dan serahkan semua pada-Nya. Nikmati racikan kopi kehidupan yang telah susah payah dibuat dengan hati!” ujarnya seolah membaca kata hatiku.

“Ya Mas,” sahutku tersenyum kembali bersemangat.

“Ra, Warso, kalian di sini? Nggak packing?” tanya Arfan yang tiba-tiba sudah berada di dekat kami.

“Belum sih Fan, emangnya hari ini sudah harus diturunkan?” tanyaku.

“Ya, selepas ashar semua barang sudah ada di depan pintu.”

“Waduh! Aku belum packing nih.”

“Baiknya packing sekarang mumpung belum zuhur,” ujar Arfan.

“Kalau begitu, aku kembali ke kamar dulu,” sahutku sembari berdiri.

Mas Warso juga mengikutiku.

“Fan, kami pergi dulu ya,” pamit Mas Warso.

“Ya, jangan ada yang tertinggal, cukuplah yang ditinggalkan itu kenangan saja,” sahut Arfan sembari melirikku.

Aku hanya tersenyum mendengar ucapan Arfan.

“O, ya aku mau ngabari, sehari sebelum kepulangan aku mau ngundang kalian untuk acara lamaran aku sama some one,” ujar Arfan.

“Lho, tapi calonmu di Indonesia. Jangan bilang kalau kamu menemukan pilihan lain,” sahutku sedikit kaget.

“Insyaallah, semua rencana sudah diatur-Nya. Dia ada di sini, tapi aku kurang beruntung tidak bisa bareng seperti kalian.”

“Siapa?” tanyaku penasaran.

“Tunggu saja, sepertinya kami yang punya rencana duluan, tapi ada yang bakal lebih duluan. Aku senang kok, gimana War?” jawab Arfan yang membuatku tidak mengerti.

“Semoga semuanya berjalan lancar dan diridhoi-nya.”

“Aamiin! Dah kalian pergilah, packingnya jangan sambil menghayal ya?” ujar Arfan senyum simpul.

Aku dan Mas Warso menuju lift. Pintu lift terbuka kami langsung masuk ke dalam.

“Mas, Mas tahu siapa calon Arfan?” tanyaku masih penasaran.

“Nggak begitu paham sih Ra, tapi memang calonnya datang untuk melaksanakan umroh.”

“Berarti Mas kenal dong?” tanyaku mendesak.

“Kok kamu penasaran?” tanya Mas Warso menggodaku.

“Hanya pingin tahu aja kok Mas.”

“Kamu nggak pingin tahu tentang calon Mas?” godanya lagi.

“Siapa?” tanyaku.

“Ada, tapi kamu jangan kaget nanti ya,” sahutnya.

“Aku apa Tiara?” batinku.

“Rahasia ya?” tanyaku menatapnya.

“Ya, biarkan dia tetap jadi rahasia hati Mas.”

“Nggak lucu, kalau nggak mau ngasih tahu, Mas nggak usah mincing penasaranku,” rajukku lalu diam.

“Buk Guru ternyata perajuk juga. Hmm! Bagaimana ya cara membujuknya? Pakai puisi? Buk Guru ahlinya. Kasih tahu dong!” godanya.

Aku tidak menjawab, aku pasang muka cemberut.

“Waduh! Jangan cemberut dong, nanti Mas nggak fokus!”

Aku tetap diam.

“Sayang, apa kamu benar mau tahu?” bisiknya.

“Nggak perlu,” gumamku.

“Ra, kamu masih saja seperti dulu, bikin gemes,” ujarnya.

“Udah ah, tuh pintu udah terbuka,” sahutku melihat pintu lift terbuka.

bersambung

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kisah yang keren bunda. Semoga segera terwujud buku tunggal.Terimakasih telah setia mengunjungi sriyonospd.gurusiana.id untuk saling SKSS

25 Dec
Balas

Terimakasih juga Pak sudah hadir dan memberikan support-nya

25 Dec

Akankah tiara menjadi onak dari kisah ra dan War?. Semakin seru nih bucantik. sehat dan sukses selalu

25 Dec
Balas

Terimakasih Bu Cantik.

25 Dec

Wow...bunda keren nih baru selesai baca part 48 ,part 49nya udah muncul.mAntab jiwa..lanjuut

25 Dec
Balas

Terimakasih atas hadirnya.

25 Dec

Sukses selalu buat Ibu Sanria Elmi

25 Dec
Balas

Terimakasih Pak Bambang

25 Dec

Siapa ya bunda pilihan hati? Hhhmmm ada beberapa pilihan. Sepertinya aku juga harus baca y sebelumnya biar bisa nebak. He he

26 Dec
Balas

Terimakasih

26 Dec

Wah... Makin indah jalinan kisahnya... Ga sabar nunggu besok sahabatku sayang... Kereen dan mantap... Sukses buat sahabat cantikku yang hebat... Salam santun

25 Dec
Balas

Terimakasih Sahabatku.

25 Dec

Waduh... siapa yaa... calonnya Irfan ? Tiara , kah ? Lanjuut, Bu.

25 Dec
Balas

Terimakasih Bu Cicik

25 Dec

Keren selalu kisah ceritanya. Semakin seru dan menarik. Ditunggu lanjutannya ya Bun

25 Dec
Balas

Terimakasih Bun

25 Dec

Wou...keren bangeet ceritanya...Tiara, Ra dan War...ada sesuatukah nantinya...apa?...lwnjut bunda cantik...sukses sll nggih

25 Dec
Balas

Terimakasih Bu n

25 Dec

Keren bunda cerpennya ,sukses selalu ,salam literasi

25 Dec
Balas

Terimakasih

25 Dec

Tambah bikin penasaran ceritanya bunda. Sukses slalu

25 Dec
Balas

Terimakasih Bu cantik.

25 Dec

Cerpen yang selalu menyentuh hati bunda. Sukses slalu

26 Dec
Balas

Terimakasih Bu

26 Dec

cerpennya selalu mantab dan keren bu. Semoga sehat dan salam sukses selalu

25 Dec
Balas

Terimakasih Pak Roni...

25 Dec



search

New Post