Santi Nurmalahayati

Guru Bimbingan Konseling di SMAN 15 Surabaya. Penulis buku berjudul Guru (Harus) Ke Luar Negeri! dan Jejak Emas di Olimpiade Guru Nasional. Pernah terpilih seba...

Selengkapnya
Navigasi Web
MENGIKUTI SELEKSI PERTUKARAN GURU INDONESIA-KOREA (2)
Berfoto bersama Sekretaris Dirjen GTK, Panitia, Dewan Juri, dan Seluruh Peserta Seleksi Pertukaran Guru Indonesia-Korea 2018

MENGIKUTI SELEKSI PERTUKARAN GURU INDONESIA-KOREA (2)

Pelaksanaan Tes

Beberapa hari sebelum berangkat ke Jakarta, saya mendapat email jadwal seleksi. Sore hari, setelah registrasi dan pembukaan, langsung mengerjakan tes Bahasa Inggris. Dibandingkan tes TOEFL, tes Bahasa inggrisnya bisa dibilang cukup mudah dan singkat. Setelah makan malam, dilanjutkan dengan psikotes. Psikotesnya hampir sama persis dengan yang saya ikuti saat seleksi Teacher Training di Korea yang dilaksanakan oleh Pemkot Surabaya tahun 2014 lalu. Bedanya, tes ini dilaksanakan saat malam hari, dalam kondisi fisik yang sangat lelah dan mengantuk. Apalagi saya harus menjalani hari yang panjang, karena paginya masih mengikuti pembekalan OGN di Surabaya, siangnya langsung ke Jakarta, dan menembus kemacetan ibukota hingga tiba di lokasi tes. Psikotes baru berakhir menjelang pukul 22.00 WIB. Selanjutnya, di pagi hari, kami harus mengumpulkan bahan presentasi ke panitia, dan kemudian mengikuti tes keterampilan seni dan wawancara sesuai jadwal yang telah diberikan.

Di jadwal yang saya dapatkan, saya baru akan tes keterampilan seni pada pukul 15.00 WIB, dan wawancara dijadwalkan keesokan harinya. Rencananya, saya akan mengerjakan presentasi budaya di pagi harinya, namun karena harus dikumpulkan pada pagi hari, mau tidak mau saya harus mengerjakannya pada saat dini hari. Mulai pukul 02.00, saya sudah terjaga untuk mengerjakan presentasi budaya. Matahari sudah terbit ketika saya menyelesaikannya. Hasilnya masih jauh dari harapan, tapi setidaknya saya sudah punya bahan untuk dipresentasikan.

Setelah sarapan, kami berkumpul untuk diperkenalkan dengan dewan juri keterampilan seni. Ada 3 orang juri dengan gelar akademis yang berderet. Satu dari UPI Bandung, satu dari P4TK Bahasa, dan satunya dari P4TK Seni. Saya tidak ingat dan tidak ingin mengingat-ingat namanya. Saya sempat menyaksikan beberapa penampilan awal. Peran dewan juri seperti juri kontes adu bakat di televisi. Juri bisa langsung mengomentari, menginterupsi, dan tentu saja menguji mental peserta yang tampil. Di jadwal dan di pengarahan awal, kami diberi kesempatan selama 20 menit untuk presentasi dan unjuk keterampilan. Namun, dari peserta yang tampil di awal, sepertinya tidak sampai 10 menit keseluruhan tampilnya. Melihat gelagat seperti ini, saya dan teman-teman memutuskan segera kembali ke kamar untuk mempersiapkan diri dan berganti kostum. Saya menitipkan pesan kepada Ibu Herna yang nomor urutnya 28, agar segera mengabari jika ia sudah selesai tampil. Nomor urut saya adalah 34. Selisih 6 urutan saya asumsikan selama 1 jam. Cukup untuk bersiap dari kamar saya di lantai 9 ke ruang tes di lantai 5.

Saya, mbak Eva, Mbak Heni, dan Bu Ulin yang kebetulan sekamar sedang bersiap-siap ketika telepon berdering. Dari panitia yang memanggil kami untuk segera ke ruang tes. Ibu Herna juga mengabari, bahwa juri sudah berkali-kali memanggil nomor urut di bawah saya, namun karena tidak kunjung datang, nomor urut terus naik dan nomor kami pun sudah dipanggil. Padahal waktu belum lagi menunjukkan pukul 10.00 pagi. Masih jauh dari jadwal awal saya yang diperkirakan tampil pada pukul 15.50 WIB. Nomor urut diatas dan di bawah saya kebetulan adalah rombongan Surabaya. Dengan sedikit panik, kami segera bergegas ke lantai 5. Di ruangan tes, ketiga dewan juri sudah memasang wajah yang tidak ramah. Salah satu juri mengucapkan dengan nada ketus bahwa nomor yang sudah dipanggil dan tidak hadir dianggap gugur. Namanya sudah dicoret. Semuanya rombongan Surabaya. Mereka menyebutkan bahwa dewan juri adalah para professional, dan seharusnya peserta juga bersikap professional. Saya hanya diam. Tidak ada gunanya membela diri dalam situasi yang sedang “panas” ini. satu-satunya kesalahan saya adalah tidak melaporkan kepada panitia ketika meninggalkan ruangan untuk berganti kostum. Masalah urutan tampil, kami tidak merasa bersalah karena jadwal kami sebenarnya masih jauh. Seorang teman mencoba membela diri. Bukan keputusan yang tepat menurut saya. Suasana bertambah panas. Akhirnya, salah satu panitia yang membuka acara menghampiri dewan juri dan menjelaskan situasinya, dan meminta juri memberikan kesempatan kepada seluruh peserta untuk tampil.

Dalam situasi seperti ini, nomor urut terkecil yang ada di ruangan adalah satu nomor diatas saya. Situasi masih cukup tegang. Hati saya bergemuruh, antara kesal, marah, kecewa, cemas, tegang, dan beragam emosi negatif menghampiri. Tanpa kemarahan dewan juripun saya sudah cemas luar biasa karena harus menampilkan sesuatu yang diluar keahlian saya. Apalagi ditambah aura kemarahan yang merusak mood saya. Saat nomor urut diatas saya tampil, dewan juri memintanya mempresentasikan dalam Bahasa Inggris. Padahal, tidak ada ketentuan bahwa presentasi harus disampaikan dalam Bahasa Inggris. Presentasinya terpaksa berhenti di tengah jalan karena dewan juri tidak memperkenankannya untuk membaca slide presentasi saat menampilkan keterampilan seni. Ia terpaksa berhenti mendadak. Dalam kondisi seperti inilah giliran saya tampil.

Saya memutuskan untuk mempresentasikan dalam Bahasa Inggris. Slide presentasi saya hanya pointer-pointer yang menuntut saya untuk banyak berimprovisasi saat presentasi. Dalam keadaan cemas luar biasa, saya merasa Bahasa Inggris saya menjadi sedikit belepotan. Respon dewan juri tidak mudah. Slide awal saya dipotong dengan alasan “kami sudah paham maksudnya”. Beberapa pertanyaan dilontarkan untuk benar-benar menguji wawasan saya tentang budaya yang saya tampilkan. Rencana saya untuk menyanyikan 2 lagu terpaksa harus dilewati. Cukup satu lagu. Itupun ada masalah dengan audionya. Membuat saya tampil dengan perasaan yang kurang nyaman. Alur yang sudah saya susun pun menjadi berantakan. Dan ending yang mengesankan tak sempat tersampaikan. Yah, sudahlah. Meskipun kecewa karena tampil jauh dari harapan, saya lega salah satu ketegangan telah terlalui. Respon seperti ini terus berlanjut pada hampir seluruh peserta dari Surabaya. Namun, setelah seluruh rombongan Surabaya tampil, ketajaman dewan juri mulai berkurang. Tidak ada lagi peserta yang dipotong, diinterupsi, diberi pertanyaan yang menguji, ataupun dikomentari negatif. Sungguh berbeda dengan yang saya rasakan saat tampil. Hal ini sempat dikeluhkan kepada panitia oleh perwakilan rombongan Surabaya. Namun panitia meyakinkan bahwa tidak ada tendensi seperti itu dari dewan juri.

Setelah tampil, ketegangan tidak mereda. Masih ada sesi wawancara. Dari teman-teman yang sudah melalui tahapan wawancara, ada beberapa pertanyaan yang diajukan. Pertanyaan yang sama diajukan kepada seluruh peserta adalah tentang motivasi. Beberapa juga ditanyakan mengenai keluarga yang akan ditinggalkan selama 3 bulan. Pertanyaan yang menguji wawasan tentang Korea juga ada. Dalam sesi wawancara ini, peserta diharapkan menjawab dalam Bahasa Inggris. Bagi guru Bahasa Inggris, wajib berbahasa Inggris. Dewan juri juga tidak segan mengkritisi pengucapan dan tata bahasa Inggris yang dianggap tidak sesuai. Karena pengalaman presentasi keterampilan budaya yang kurang menyenangkan, saya agak trauma untuk kembali ke kamar sebelum kegiatan berakhir. Meskipun nomor urut saya masih jauh, saya tak beranjak dari lantai 5. Sesekali menyaksikan teman-teman yang tampil presentasi budaya, kadang ke luar menikmati pemandangan di sekitar Belleza Suites yang sebenarnya sangat cantik, atau sekedar duduk-duduk bersama teman-teman yang menunggu giliran tampil.

Akhirnya, sekitar pukul 17.00, saya dipanggil juga untuk wawancara. Tiga orang juri, dua diantaranya cukup senior dengan gelar Ph.D, dan satunya lebih muda bergelar DR,M.Pd. Namanya? Saya tak sempat memperhatikan. Seingat saya, salah satunya dari Biro Kerjasama Luar Negeri Kemdikbud, satunya dari Universitas. Di awal, saya diminta untuk memperkenalkan diri. Sebelum mengajukan pertanyaan, dewan juri mengonfirmasi, apakah saya berbahasa Inggris atau Indonesia. Saya memilih menjawab dalam Bahasa Inggris. Kebetulan, selama tiga minggu sebelum seleksi ini, saya “dititipkan” guru magang asal Jerman di ruang BK. Susanne namanya. Selain mengajar Bahasa Jerman, Susanne juga mengajar Bahasa Inggris selama magang di sekolah saya, karena latar belakang pendidikannya adalah guru Bahasa Jerman dan Inggris. Selama hampir 3 minggu, mau tidak mau saya harus berbahasa Inggris dengannya. Secara tidak langsung, saya sudah berlatih Bahasa Inggris secara intensif selama 3 minggu dengan bantuan Susanne. Hal inilah yang membuat saya cukup percaya diri untuk melakukan wawancara dalam Bahasa Inggris.

Pertanyaan yang diajukan hampir sama dengan teman-teman, pertama tentang motivasi. Saya menceritakan sedikit pengalaman mempelajari pendidikan Korea saat mengikuti pelatihan di Dong Eui University yang sangat berkesan bagi saya, dan keingintahuan saya tentang berbagai perkembangan yang terjadi 4 tahun kemudian. Pertanyaan terus mengalir. Juri dalam sesi wawancara ini cukup tenang dan membuat saya merasa nyaman untuk menjawab seluruh pertanyaan. Pertanyaan terakhir yang diajukan adalah pendapat saya tentang isu pendidikan di Korea yang jam belajarnya sangat panjang. Kebetulan sekali, saya sudah pernah menuliskan ini di salah satu bab dalam buku pertama saya, yakni tentang realita pendidikan menengah di Korea. Jam belajar yang sangat panjang di Korea menurut saya masih cukup masuk akal, karena kegiatannya tidak melulu belajar di kelas. Sejak pagi hingga malam hari, siswa sekolah menengah di Korea melaksanakan beragam aktivitas di sekolah. Belajar regulernya sendiri hanya dari jam 8.30 pagi hingga jam 15.00, lebih singkat dari jam belajar regular di sekolah-sekolah Surabaya. Sisanya adalah kegiatan pengembangan diri, berupa ekstrakurikuler, organisasi, kegiatan kreatif, belajar kelompok, mengerjakan proyek, hingga bimbingan dan konseling karir. Dan untuk seluruh kegiatan ini, sudah didukung oleh infrastruktur yang sangat memadai. Mereka memang memiliki lebih sedikit kesempatan untuk berinteraksi dengan keluarga, namun umumnya orangtua di Korea juga pekerja keras yang baru berada di rumah pada malam hari. Jadi, beraktivitas di sekolah hingga malam hari menjadi pilihan yang dianggap paling baik bagi sebagian besar masyarakat di Korea. Kurang lebih seperti itulah jawaban saya.

Secara keseluruhan, saya merasa telah melalui tes wawancara dengan lancar. Karena dalam situasi yang tenang, saya dapat memahami pertanyaan dan menjawab dalam Bahasa Inggris yang tidak belepotan seperti saat presentasi. Bagi saya, pengalaman ini sangat berharga. Diwawancarai dalam bahasa Inggris oleh orang-orang yang hebat dan berpengalaman, dan saya dapat melaluinya dengan baik. Bagi saya, ini adalah sebuah latihan untuk menghadapi sesi wawancara jika saya mengajukan lamaran beasiswa ke luar negeri. Hehehe.. anggap saja begitu.

Setelah sesi wawancara, selesai sudah tahapan seleksi yang harus saya lalui. Setelah saya, dilanjutkan wawancara Bu Ulin, dan dilanjutkan dengan istirahat. Setelah shalat Maghrib, saya memutuskan untuk menunda makan malam. Akumulasi kelelahan membuat saya tertidur. Saat tertidur, terdengar dering telepon. Mbak Eva dan Heni yang masih berada di lantai 5 setelah sesi wawancara mengabari bahwa acara penutupan sudah dimulai. Sekretaris Dirjen GTK sudah berada di ruangan. Hah..?? Lagi-lagi kepanikan melanda. Bu Ulin yang juga tertidur langsung bergegas. Kami segera menuju ruangan.

Rasanya masih setengah sadar saat mendengarkan pak sekretaris Dirjen GTK menyampaikan sambutannya. Yang saya ingat adalah, program pertukaran guru ke Korea ini bukanlah program kerjasama bilateral Korea-Indonesia, melainkan program dari UNESCO yang didanai oleh pemerintah Korea. Jadi, pesertanya bukan hanya dari Indonesia, tapi juga dari negara-negara berkembang lainnya di Asia, Afrika, Amerika, dan sebagainya. Program ini lebih mengedepankan pertukaran budaya, dan para guru yang mendapatkan kesempatan berangkat ke Korea nantinya akan mengikuti seminar internasional disana, dan membuat laporannya dalam Bahasa Inggris. Hanya itu yang saya ingat. Acara ditutup dengan foto bersama dan ramah tamah. Sayangnya, saya tidak berada dalam situasi yang nyaman untuk beramah tamah. Antara mengantuk dan kelaparan, sehingga memutuskan untuk meninggalkan ruangan menuju ruang makan. Saya lupa untuk membangun relasi dengan para panitia, lupa dengan misi saya untuk mencari perwakilan Biro Kerjasama Luar Negeri Kemdikbud yang saya butuhkan ketika mengurus beasiswa KOICA-KNUE beberapa minggu sebelumnya. Saya lupa untuk memberikan buku saya kepada pak Sekretaris Dirjen GTK, karena judul buku saya “Guru (Harus) Ke Luar Negeri!!” sangat relevan dengan program ini. Ah, sudahlah. Semuanya sudah berlalu.

Di hari ketiga, kegiatan sudah berakhir. Tidak ada kegiatan lain yang wajib kami ikuti. Pengumuman peserta yang lolos seleksi akan dikabari melalui email. Teman-teman yang sudah membeli tiket pulang pada sore hari memiliki cukup waktu luang untuk berkeliling di Jakarta. Saya sendiri baru akan kembali ke Surabaya keesokan harinya. Saya ada janji dengan teman SMA pada sore hari, dan berencana mampir ke Perpustakaan nasional sebelumnya. Bersama teman-teman Surabaya, Kami memutuskan untuk mencari oleh-oleh khas Jakarta, dan akhirnya berhenti di Pasar Tanah Abang.. J

Mumpung di Jakarta, saya sempatkan membeli beberapa perlengkapan yang dibutuhkan untuk OGN di Pasar tanah Abang. Saya juga berhasil menemukan beberapa referensi untuk materi OGN di lantai 22 Perpustakaan Nasional. Saya sempat bertemu dengan Yoan, teman kuliah yang lama tak berjumpa dan Ayu & Fika, 2 sahabat SMA yang super sibuk sambil memberikan pesanan buku saya di daerah Cikini, dan akhirnya merasakan terjebak dalam padatnya commuter line pada jam pulang kantor. Dan yang sangat saya syukuri, bisa menemui mamak di rumah, menikmati Sabtu Shubuh di masjid sebelah rumah yang selalu dipenuhi jama’ah, bercengkerama dengan para tetangga yang sudah mengenal saya sejak bayi, mengunjungi makam bapak, makan bubur ayam dan asinan kamboja yang selalu ngangenin. Semuanya difasilitasi oleh Dirjen GTK..hehehe. Satu bonus yang sangat berharga dari acara ini adalah perkenalan saya dengan Nana, sesama peserta seleksi dari SMA Al Azhar Syifa Budi, yang ternyata bersahabat dengan Mbak Nina, kakak angkatan di organisasi kampus, yang sudah lebih dari 10 tahun kehilangan kontak. Nana akhirnya menjemput saya di rumah, mempertemukan saya dengan Mbak Nina, sekaligus mengantarkan saya ke bandara, dan nraktir saya makan mie ayam lapangan tembak di bandara Halim. Nikmat yang bertubi-tubi, berkah dari seleksi pertukaran guru ini. Terimakasih banyak ya Nana.. J

Lanjut ke bagian (3) : Pengumuman Hasil Seleksi

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren....

17 May
Balas

Terimakasih Bu Yully..

19 May

Bahasanya mengalir lancar..emosi terbawa saat membaca...bagus sekali..

18 May
Balas

Assalamu'alaikum buk, terima kasih atas tulisan ibuk yg sangat menginspirasi dan jd bekal utk kami. Berhubung saya jg akan mengikuti proses wawancara program ini. Berikut ada yg mau saya tanyakan buk: - Untuk tiket pesawat dan penginapan apakah ditanggung sendiri, buk? - Saat presentasi budaya, apakah yg di presentasikan budaya asal kita atau budaya indonesia? - Untuk penampilan seni khususnya tari, apakah harus memakai baju tradisional? Terimakasih sblumnya atas tanggapannya y buk. Atau bolehkah saya minta no WA ibuk, sekedar utk sharing, buk?

14 Apr
Balas

ketemu Bu, seneng banget bacanyaaa

26 Jan
Balas



search

New Post