Sardono Syarief

Sardono Syarief, guru SDN 01 Domiyang, Paninggaran, Pekalongan, Jawa Tengah. Penulis lepas untuk media cetak dan sosmed....

Selengkapnya
Navigasi Web

Percik Api di Dalam Kedai (Bagian 3)

3. Gempita Suara di Tengah Kota

Oleh Sardono Syarief

Tepat pukul 10.00, mobil putih yang membawa Yondi dan kawan-kawan tiba di Alun-alun Kajen. Meski baru sepagi itu, suasana di area pameran sudah terlihat ramai. Banyak pengunjung yang sudah tiba di sana. Lalu lalang orang, baik tua, muda, remaja, anak-anak, besar, kecil, saling berdesakan mencari celah untuk bisa jalan.

Keramaian itu bertambah riuh, manakala berdatangan rombongan anak sekolah. Seperti dari SD, MI, SMP, MTs, SMA, MA, maupun SMK. Ditambah lagi rombongan dari masyarakat umum. Mereka turut berbondong untuk menyaksikan acara Gebyar Pameran Kuliner Sejuta Sego Megono yang ada di ibukota tempat tinggalnya.

Jauh mata memandang, ratusan kedai dan kaki lima berderet berjajar seakan memagari area alun-alun. Pada ratusan kedai dan kaki lima tersebut disediakan ribuan bungkus sego megono untuk pengunjung secara cuma-cuma. Di kedai dan kaki lima itu pula disediakan berbagai kuliner lain, yang tidak gratis. Alias membayar.

Sedangkan di tengah alun-alun, berdiri panggung hiburan. Ada panggung pertunjukan drama. Panggung wayang orang. Panggung ketoprak, dan panggung pertunjukan seni tradisional yang lain.

Sejauh itu, dengan didampingi Bu Lia, Yondi dan kawan-kawan bertamu ke Pos Panitia Pameran. Niat mereka akan mencari informasi lebih banyak tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan pameran kali itu.

“Selamat siang, Pak,”sapa Bu Lia kepada seorang bapak yang berpenampilan perlente. Seseorang yang tengah duduk di kursi tamu, di ruang Pos Panitia Pameran.

“Selamat siang kembali, Bu,”jawab Bapak yang perlente tadi penuh wibawa. “Ada yang bisa kami bantu, Bu?”tanyanya dengan ramah.

“Ada, Pak,”sahut Bu Lia dengan senyum manisnya.

“Silakan, Bu!”Bapak yang bertubuh tegap tadi mempersilakan.

“Maaf, Pak,”ujar Bu Lia. “Kami dari SMP 2 Paninggaran. Kami merasa tertarik untuk menulis sesuatu yang berkaitan dengan pameran langka yang digelar di kota kita tercinta ini, Pak.”

“Pameran langka, Bu?”kening Bapak berkumis tebal tadi seketika berkerut-kerut.

“Betul, Pak!”sahut Bu Lia cepat. “Langka, karena menurut hemat kami,”sambung Bu Lia lagi. “Baru kali ini ada Pemda yang berani menyelenggarakan pameran sejuta kuliner. Khususnya sego megono, Pak. Bukankah di daerah lain belum pernah ada pameran semacam ini?”

“Ya, tentu saja belum pernah ada, Bu,”timpal Bapak tadi, yang ternyata Ketua Panitia Pemeran dengan senyum lega. “Kan di daerah lain, tak ada kuliner sego megono, Bu? Yang ada megono kan cuma di daerah kita, Pekalongan?”

“Betul, Pak,”Bu Lia membetulkan. “Dari itulah kami ingin tahu, apa tujuan pameran ini, Pak?”

“Tujuan pameran ini adalah untuk mengenalkan sego megono kepada khalayak ramai, Bu. Terutama kepada masyarakat di luar kabupaten Pekalongan. Agar mereka tahu dan selalu ketagihan untuk menikmati lezatnya sego megono. Kecuali itu agar mereka ingin terus berkunjung ke Pekalongan sebagai satu-satunya daerah wisata sego megono di Indonesia, Bu.”

Mendengar penjelasan dari Bapak Ketua Panitia tadi, Bu Lia maupun kelima anak didiknya mengangguk-angguk. Mengerti.

“Maaf, Pak,”ucap Bu Lia lagi.“Kenapa yang dipamerkan tidak hanya kuliner sego megono saja. Tetapi ada juga kuliner-kuliner lain yang berasal dari luar daerah Pekalongan, Pak?”

“Oh itu, Bu?”sahut Pak Ketua Panitia. “Demi kerukunan dan kebersamaan antardaerah,”sambungnya menjelaskan. “Kami sengaja mengajak daerah lain di luar Pekalongan untuk mengenalkan kulinernya masing-masing melalui pameran bersama, Bu. Sehingga akan tercipta kondisi damai dan rukun antardaerah lain dengan kami, yang ada di sini.”

“Wah! Itu tujuan pameran yang amat bagus, Pak!”seru Bu Lia penuh semangat. “Tujuan yang amat mulia. Karena menjalin kebersamaan dan kerukunan antardaerah.”

Pak Ketua Panitia tersenyum gembira.

“Satu lagi pertanyaan kami, Pak.”

“Ya, silakan, Bu!”“Bolehkah kalau kami ingin mengerti tentang cara membuat berbagai macam kuliner yang ikut dipamerkan di sini, Pak?”

“Oh, boleh. Boleh saja, Bu. Silakan Ibu mencari tahu pada para penyedia kuliner di masing-masing kedai atau kaki lima yang menggelar pameran di sini,tu, Pak?”Bu Lia meminta kemantapan.

Bapak Ketua Panitia mengangguk-angguk.

“Kalau begitu, kami sangat berterima kasih kepada

Bapak,”ucap Bu Lia sambil tersenyum. “Kami mohon pamit.”

“Oh, begitu, Bu? Ya, sudah. Silakan, Bu.”

Bu Lia berlalu meninggalkan ruang Pos Panitia.

“Anak-anak. Ayo, kita sarapan sego megono dulu!”ajak Bu Lia dengan ramah kepada lima anak didiknya.

“Mari,Bu,”sahut Yeni setuju.

“Kalian sudah lapar, kan?”tanya Bu Lia sambil melangkah menuju kedai sego megono.

“Belum, Bu. Belum kenyang,”jawab Erwin masih sempat bergurau kepada ibu gurunya.

“Ssseett..!”mulut Yondi berdesis sekaligus tangannya keci-kecil mencubit patat kanan Erwin.

“Aduh! Aduh!”teriak Erwin mengaduh seraya meloncat kesakitan.

“Kenapa kau, Win?”seru Bu Lia kaget. “Menginjak apa, kau?”kedua mata Bu Lia mengamat-amati Erwin.

“Tak pa-apa, Bu,”jawab Erwin tersipu.

“Erwin sudah amat lapar, Bu,”sambil melirik Erwin, Yondi menyahut.

“Yondi masih kenyang, Bu. Tak usah diajak

sarapan,”timpal Erwin bercanda.

“Sudah, sudah, jangan bercanda melulu!”ucap Yeni menyela keduanya.

“Baik, Non Yeni,”mulut Erwin dimonyongkan membentuk huruf O bulat.

“Ndak lucu!”dengan genit Yeni mencubit lengan Erwin.

“A…!”seru Erwin.

“Haup!”dengan cepat Yondi menutup mulut Erwin. Sehingga kata duh-nya tak terdengar oleh Bu Lia.

“Mari, kita masuk ke kedai ini, Anak-anak!”ajak Bu Lia setiba di ambang pintu salah satu kedai.

“Mari, Bu,”Yondi dan keempat kawannya menurut. Mereka membuntuti Bu Lia dari belakang.

“Silakan masuk, Bu!”Bu Ijah, si pemilik kedai mempersilakan.

“Terima kasih, Bu,”jawab Bu Lia.

“Mau sarapan megono atau yang lain, Bu?”tanya Bu Ijah lebih lanjut.

Megono, Bu.”

“Silakan ambil sendiri,Bu! Itu yang ada di dalam bungkusan daun pisang.”

“Oh,ya. Terima kasih, Bu,”sahut Bu Lia. “Ayo, ambil sendiri, Anak-anak!”

“Baik, Bu,”ujar Mila mewakili kawan-kawannya.

“Minumnya apa, Bu?”tanya Ibu pemilik kedai.

“Jeruk hangat, Bu,”jawab Bu Guru. “Kalian mau minum apa, Anak-anak?”

“Saya teh manis, Bu,”sahut Yondi.

“Saya tiru Bu Guru, jeruk manis, Bu,”jawab Erwin.

“Saya teh manis, tiru Yondi,”ujar Yeni.

“Saya juga teh manis,”Mila menyambung.

“Saya tiru Erwin. Kasihan tak ada teman-nya,”gurau Ana.

“Selain teh, bayarnya mahal. Tahu?”canda Yeni seraya melirik Ana.

“Biar mahal. Kan ada Erwin, bos saya?”mata Ana melirik Ewin sambil tersenyum.

“Bos apa bis…?”Mila menggoda Ana.

“Bus!”sahut Erwin usil. Diraihnya lengan Mila dengan cepat. Sehingga anak perempuan itu menyeringai memandang Erwin.

Melihat itu Erwin tersenyum. Senang hatinya bila menyaksikan temannya gemas.

“Jangan bercanda melulu! Ayo, kita makan dulu!”ajak Bu Guru.

“Baik, Bu,”jawab Erwin dan Ana bersamaan.

Sarapan sego megono. Berlauk tempe goreng. Ditambah sambal terasi manis. Hemm… sungguh terasa nikmat! Siapa yang tak ingin sego megono kuliner asli Pekalongan ini?

Usai sarapan. Bu Lia meminta Yeni untuk mengambil gambar sego megono dengan kameranya.

Begitu pula kepada Erwin. Bu Lia minta agar anak itu menyiapkan alat perekam yang ada di tangannya.

Rupanya Bu Lia hendak mewawancarai Ibu pemilik kedai.

“Maaf, Bu,”ujar Bu Lia membuka wawancara.

“Iya, Bu?”sahut Bu Ijah, si pemilik kedai dengan ramah.

“Bolehkah bila kami ingin tahu tentang cara membuat megono, Bu?”

“Agar megono ini bisa dikenal oleh banyak orang se-Indonesia,”demikian Ibu pemilik kedai menjawab. “Tentu saja boleh, Bu. Silakan Ibu tulis, tatacara membuat megono yang terkenal sedap, gurih, nikmat, serta lezat di lidah ini, Bu.”

“Baik, Bu,”jawab Bu Lia senang.

“Untuk membuat megono,”demikian Ibu pemilik kedai mengawali keterangannya. “Dibutuhkan sebuah nangka muda, Bu. Setelah kulitnya dikupas dan dagingnya dicuci,”sambungnya. “Nangka muda tadi kemudian dicacah atau dicincang dengan pisau tajam. Sehingga menghasilkan cacahan nangka yang kecil-kecil.”

“Terus, Bu?”sela Bu Lia ingin tahu lebih jauh.

“Parutkan sebutir kelapa muda, untuk dicampur dengan cacahan nangka. Kemudian siapkan bumbu-bumbunya antara lain; 5 lembar daun salam, 5 cabai merah segar, 5 cabai hijau segar, segenggam cabai rawit segar, 5 siung bawang merah, serai dapur, serta bunga kecombrang. Semua bumbu di atas diiris-iris atau dipotong-potong dengan pisau.”

“Terus, Bu?”tanya Ana ingin banyak tahu juga.

“Terus, siapkan pula berbagai bumbu yang ditumbuk atau dihaluskan. Antara lain; 4 siung bawang merah, 3 butir kemiri, 2 siung bawang putih, 2 lembar daun jeruk, 1 ruas lengkuas, 1 sendok makan terasi, 1 ruas kencur, 1 sendok teh merica, 1 sendok teh ketumbar, 2 sendok teh makan garam dapur, dan gula jawa secukupnya. Semua bumbu ini ditumbuk jadi satu sampai halus.”

“Selanjutya, Bu?”sela Mila.

“Tinggal proses pematangan,”jawab Bu Ijah.

“Caranya, Bu?”tanya Yeni ingin tahu.

“Caranya,”jawab Ibu pemilik kedai. “Pertama, siapkan panci atau dandang. Kemudian masukkan semua bahan dan bumbu yang dihaluskan maupun yang cuma diiris-diiris ke dalamnya.

Ingat! Kedua macam bumbu tersebut jangan sampai campur. Lantas, kukuslah bahan dan bumbu tadi kurang lebih 30 hingga 40 menit lamanya sampai matang.”

“Maaf, Bu,”potong Ana.

“Iya?”

“Untuk mengetahui megono itu sudah matang atau belum, apa tandanya Bu?”sambung Ana agak panjang.

“Kalau dari dandang sudah mengeluarkan asap yang berbau sedap, itu pertanda megono sudah matang, Nak.”

“Kalau megono sudah matang,”Mila menyela. ”Apa lagi yang harus kita kerjakan, Bu?”

“Kita angkat bahan dan bumbu itu dari dandang. Tempatkan pada sebuah wadah yang agak besar. Boleh nyiru atau yang lain. Kemudian,aduk-aduklah semuanya hingga rata betul.”

“Dengan demikian, apakah proses pembuatan megono sudah selesai, Bu?”Yondi ikut nimbrung.

“Betul!”sahut Ibu yang ditanya. “Itu berarti, sudah siaplah megono untuk disajikan sebagai pelengkap nasi atau sego megono, Anak-anak.”

Bu Lia maupun kelima anak didiknya terlihat mengangguk-angguk. Paham.

“Oleh sebab itu,”ujar Bu Ijah kemudian. “Setiba di rumah nanti,”lanjutnya. “Cobalah kalian membuat megono khas Pekalongan, ya, Nak!”pesan Ibu pemilik kedai tadi dengan senyum tulus.

“Iya, Bu. Akan kami coba,”sahut Bu Lia senang.

Kini, setelah membayar minuman jeruk dan teh manisnya, Bu Lia mengajak Yondi dan kawan-kawan berpamit diri dari Ibu pemilik kedai.

“Maaf, Bu. Kami rasa sudah cukup. Kami mohon pamit. Terima kasih atas semua keterangan Ibu,”kata Bu Lia seraya menebarkan senyum manisnya.

“Oh, ya! Silakan, Bu Guru Muda. Terima kasih kembali Ibu ucapkan pada Bu Guru dan anak-anak.”

Bu Lia dan kelima anak didiknya kembali tersenyum.

Usai itu berlalulah mereka meninggalkan kedai Bu Ijah. ***

(Bersambung)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post