Saroh Jarmin

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
PERAN GURU BERDASARKAN KONSEP PENDIDIKAN KI HADJAR DEWANTARA

PERAN GURU BERDASARKAN KONSEP PENDIDIKAN KI HADJAR DEWANTARA

Beberapa konsep pendidikan berdasarkan hasil pemikiran Ki Hadjar Dewantara (KHD) merupakan hal yang baru bagi saya. Selama ini saya beranggapan bahwa murid adalah gelas kosong yang harus diisi air atau sejalan dengan teori tabula rasa yang mempercayai bahwa seorang anak adalah kertas kosong yang belum ditulisi apa-apa. Dengan anggapan tersebut, saya merasa sebagai orang yang paling berkuasa di kelas, paling tahu segala hal, dan menjadi sumber pembelajaran utama. Anggapan ini terbantahkan oleh pemikiran KHD bahwa sesungguhnya seorang anak diibaratkan sebagai kertas yang sudah berisi tulisan, dan guru hanyan bertugas menuntun untuk menebalkan tulisan itu. Proses menebalkan tulisan ini harus mempertimbangkan kodrat anak. Kita tidak bisa memaksa seorang anak akan tumbuh dan berkembang sama rata dengan anak yang lain.

Melalui pemikiran KHD yang saya pelajari, saya pun diajak untuk berefleksi bagaimana saya harus berperan menjadi seorang guru. Yang pertama, saya harus memahami perbedaan mendasar antara pendidikan dan pengajaran. Pengajaran relatif lebih dangkal daripada pendidikan. Pengajaran itu tidak lain adalah pendidikan dengan cara memberi ilmu atau berfaedah buat hidup anak-anak, baik lahir maupun batin. Sedangkan pendidikan bermaskud menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Dalam hal ini, guru memiliki tugas keduanya. Guru tidak hanya memberikan pengajaran, tetapi juga bertanggung jawab memberikan pendidikan.

Kedua, saya harus mampu menerapkan konsep bahwa pendidikan merupakan sebuah proses menuntun, bukan mendikte, mengajari, membentuk, atau memaksanakan kehendak untuk menciptakan peserta didik sesuai keinginan. Setiap anak memiliki kodratnya masing-masing dan kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu tiada lain ialah segala kekuatan yang ada dalam hidup batin dan hidup lahir dari anak-anak itu karena kekuasaan kodrat. Kaum pendidik atau para guru hanya dapat menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan-kekuatan itu, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya itu. Jika dianalogikan, guru adalah seorang petani yang akan menanam banyak tumbuhan tetapi tidak akan mampu mengubah kodrat tumbuhan itu. Tumbuhan yang ditanam hanya perlu dipelihara dengan upaya-upaya yang sesuai dengan kondisi kodrat tumbuhan. Menurut KHD, pendidikan itu, walaupun hanya dapat ‘menuntun’, akan tetapi faedahnya bagi hidup tumbuhnya anak-anak sangatlah besar.

Ketiga, anak atau peserta didik bukanlah kertas putih yang kosong. Mereka diumpamakan sebagai bahwa anak yang dilahirkan itu diumpamakan sehelai kertas yang sudah ditulisi penuh, tetapi semua tulisan-tulisan itu suram. Dalam hal ini, pendidikan itu berkewajiban dan berkuasa menebalkan segala tulisan yang suram dan yang berisi baik, agar kelak nampak sebagai budi pekerti yang baik. Segala tulisan yang mengandung arti jahat hendaknya dibiarkan, agar jangan sampai menjadi tebal, bahkan makin suram. Peran kaum pendidik sangat jelas di sini. Bukan sebagai penulis kertas, tetapi sebagai penebal tulisan yang sudah terdapat dalam kertas dengan cara yang tepat agar tidak merusak tulisan tersebut.

Keempat, budi pekerti, watak, atau karakter merupakan hasil dari bersatunya gerak pikiran, perasaan, dan kehendak atau kemauan sehingga menimbulkan tenaga. Perlu diketahui bahwa budi berarti pikiranperasaan-kemauan, sedangkan pekerti artinya ‘tenaga’. Jadi budi pekerti merupakan sifat jiwa manusia, mulai angan-angan hingga menjelma sebagai tenaga. Dengan adanya budi pekerti, setiap manusia berdiri sebagai manusia, dengan dasar-dasar yang jahat dan memang dapat dihilangkan, maupan dalam arti menutup atau mengurangi tabiat-tabiat jahat yang biologis atau yang tak dapat lenyap sama sekali karena sudah bersatu dengan jiwa. Peran guru adalah menajamkan gerak pikiran, perasaan, dan kehendak dalam diri anak sesuai kodratnya sehingga menimbulkan tenaga.

Kelima, perpaduan metode Frobel dan Montessori menghasilkan metode baru yang efektif dalam proses mendidik. Anak-anak belajar melalui panca indra dalam permainan tradisional. Hal ini mengajarkan bahwa para guru bisa saja meniru apa pun yang bermanfaat dan menambah kekayaan pengetahuan, tetapi tetap harus menyesuaikan dengan rasa dan keadaan hidup kita. Ini artinya para kaum pendidik bisa menciptakan metode sendiri yang selaras dengan kehidupan bangsa kita.

Keenam, pentingnya kolabrasi. Keberhasilan pendidikan juga sangat ditunjang oleh adanya kerja sama dari berbagai pihak. Guru sebagai fasilitator harus mengutamakan kenyamanan dan kemerdekaan para peserta didik dalam belajar. Begitu pun orang tua dan keluarga yang berperan penting dalam membentuk kepribadian anak-anaknya. Para peserta didik yang merdeka akan tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang baik dan berbudi pekerti.

Ketujuh, sebagai penuntun, kaum pendidik atau guru harus fokus pada kebutuhan para peserta didik sesuai dengan kodrat alam dan kodrat zamannya. Jangan mengubah apa pun dari para peserta didik, tetapi jadilah pelayan yang memberikan pengajaran dan pendidikan sesuai dengan potensi yang dimiliki peserta didik. Guru sebagai pendidik tugasnya menjadi seorang pamong yang harus memandang anak dengan rasa hormat, berorientasi pada anak, bebas dari segala ikatan, dengan suci hati mendekati sang anak, dan tidak untuk meminta suatu hak, namun untuk menghamba pada anak.

Ki Hadjar Dewantara juga mengingatkan bahwa hendaknya usaha kemajuan ditempuh melalui petunjuk “trikon” yaitu kontinyu dengan alam masyarakat Indonesia sendiri, konvergen dengan alam luar, dan akhirnya bersatu dengan alam universal, dalam persatuan yang konsentris yaitu bersatu namun tetap mempunyai kepribadian sendiri.

Setelah saya berguru pada hasil pemikiran KHD dan mendapatkan banyak pencerahan, perubahan penting yang akan saya lakukan adalah bagaimana agar saya tidak menjadi guru yang sok tahu, tidak lagi menjadi sumber utama pembelajaran yang mengajari para peserta didik, tidak lagi bersikap tidak adil dengan menganggap peserta didik memiliki potensi dan kodrat yang sama, dan akan lebih banyak lagi melakukan kolaborasi dengan mereka. Peran saya harus berubah layaknya seorang petani yang tidak hanya rajin merawat tanaman, tetapi juga pandai memilih metode bertanam dan mencari pupuk yang sesuai dengan kebutuhan tanaman saya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post