“Wan, Jamilah ternyata sudah lulus dari pesantren,” sebuah pesan WhatsApp kuterima. Dari Fahri ternyata. Alih-alih membalas pesannya, aku malah sibuk mengingat-ingat kata kunci dalam pesan itu. Jamilah. Teman kecil kami yang tumbuh menjadi gadis cantik dan sangat baik hati. Dulu, sewaktu SD, saat teman-teman yang lain belum menyadari kecantikannya, aku justru diam-diam sudah jatuh hati padanya. Dan waktu itu kukira Jamilah pun demikian. Ia begitu baik dan perhatian. Setiap membawa makanan ke sekolah, ia pasti membaginya denganku. Ia pun selalu mengajakku untuk menjadi teman satu kelompoknya.

“Sejak lulus SD kita berpisah dengan Jamilah. Sekarang kita sudah lulus SMA. Makin cantik saja dia, Wan,” Fahri melanjutkan ceritanya. Lagi-lagi aku tak berminat membalasnya. Jika maksud Fahri adalah mengajakku untuk berkunjung ke rumah Jamilah, tentu akan kutolak. Kisah dulu cukup memberiku pelajaran bahwa Jamilah memang cantik hatinya dan kebaikannya ia lakukan tidak hanya kepadaku. Buktinya, Fahri pun merasakan mendapat perhatian darinya. Dan saat ini bisa jadi ia tengah berpikir bagaimana agar bisa kembali mendapatkan perhatian Jamilah.

Satu pesan dari Fahri kuterima lagi. Betul saja, ia mengajakku untuk bertemu dengan Jamilah. Sebuah pesan balasan kutulis, “Maaf, aku tidak bisa ikut. PPKM. Pernah Perhatian Kemudian Menghilang”. Dengan cepat Fahri membalasnya singkat. Sebuah emoji tertawa terbahak-bahak. Kami sama-sama korban PPKM Jamilah.

Lebak, 14072021