Aku sering tidak percaya pada kekuatan doaku sendiri.

Sampai pada ketika aku membutuhkan sesuatu, aku tahu satu-satunya hal yang harus ku lakukan adalah berdoa. Namun keyakinan bahwa doaku akan terkabul sudah tidak ada.

Aku kerap dikecewakan oleh keyakinanku sendiri. Terutama orang-orang terdekatku. Orang-orang yang ku percaya bisa menjadi penguat, nyatanya justru menjadi yang pertama menghancurkan keyakinanku. Saat memilih sesuatu, mereka tidak memberiku kesempatan memutuskan. Jika pun aku semula yakin membuat keputusan, mereka akan meragukan lalu mendorongku mengubahnya menjadi sesuai yang mereka inginkan. Apabila aku mengerjakan sesuatu, lalu gagal, mereka akan menyalahkan dan membuatku takut memulai lagi. Pada akhirnya hidupku selalu ditentukan, tidak berisiko, tapi memenjarakan.

Aku sering berusaha mendobrak penjara itu. Tapi saat keluar, ada penjara lain yang harus ku lewati. Kekhawatiran diri. Tanpa sanggup memulai, aku terus khawatir. Kegagalan yang nantinya ku hadapi, apakah berdampak besar pada hidupku ke depannya? Masalah yang kutimbulkan, bisakah diperbaiki? Keputusan yang ku buat, hasilnya akan baikkah? Apakah ada yang akan menolong jika aku gagal? Siapa yang bisa ku percaya untuk menyemangatiku?

Deretan pertanyaan-pertanyaan itu, membuatku berpikir terlalu banyak, hingga aku tidak bisa melangkah sedikitpun. Aku selalu di tempat yang sama. Tidak bisa maju, apalagi mundur. Mungkin jika aku bisa mengambil langkah sedikit ke belakang, aku akan belajar cara untuk maju perlahan. Seandainya aku bisa berjalan maju, aku akan mampu berlari suatu waktu.

Hingga kini, tidak ada yang bisa ku lakukan. Aku berjalan di tempat. Kadang bahkan berlari. Tapi tentu saja tetap di sana. Di tempat aku tidak bisa ke mana-mana.