secha maktah

aku seorang kapiten mempunyai pedang panjang kalau berjlan prok prok prok...

Selengkapnya
Navigasi Web
Modal dengkul

Modal dengkul

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise Bagaikan Fenomena gunung es yang mencair , tidak kelihatan di permukaan tiba-tiba airnya menggenangi dan membanjiri bumi membuat korban-korban berjatuhan tanpa bisa ditolong lagi. Setiap hari ketika lembar koran itu kubuka dan kubaca, judulnya menggetarkan “Anak Berusia 12 tahun diperkosa oleh Guru Lesnya”. Koran yang kubaca ini bukan Koran yang cari sensasi seperti Pos kota, tetapi KOMPAS. Hari berikutnya, saya membaca “ Mahasiswi diperkosa dosennya”. Seorang mahasiwsi yang sedang menyusun skripsi harus terrenggut kegadisannya oleh dosen pembimbing skripsi. Sebagai seorang ibu, aku membayangkan betapa kejinya perbuatan pelaku. Seorang yang dekat dengan anak, seorang yang dikenal sebagai pendidik, seorang yang seharusnya melindungi anak, melakukan perbuatan yang sangat keji sekali , pemerkosaan. Hatiku luluh, bergetar dan akhirnya, aku tak mampu berkata sepatah kata pun. Bayangan berat akan masa depan dari korban, trauma apa yang akan terjadi dengan kondisi korban, bagaimana dengan masa depan anak yang diperkosa. Bayang-bayang gelap terus menghantui benak saya. Seolah saya berhenti pada suatu titik gelap yang menghantui nasib dari korban. Awalnya, beberapa peristiwa pemerkosaan, kekerasan seksual baik itu KDRT, pelecehan seksual secara verbal atau pemerkosaan yang dilakukan kepada anak-anak maupun perempuan sangat tertutup rapat. Korban lebih menyimpan ketakutan, trauma dan kegelapannya, kegamangannya untuk diri dan keluarganya sendiri. Penderitaan yang sangat besar itu dianggap lebih baik disimpan sendiri dan keluarga ketimbang dilaporkan kepada polisi atau pihak yang berwenang. Ketakutan yang besar apabila pelaporan itu justru akan berbalik arah menimpa kepada korban karena tuduhan masyarakat dan aparat yang buta hukum justru menjatuhkan sanksi berat kepada korban. Bagaikan buah simalakama, jika melaporkan , akan menerima stigma negatif sementara jika tak melapor, kondisi korban yang berjatuhan akan terus bertambah karena pelaku masih berkeliaran untuk mencari mangsa baru . PEmangsa itu memangsa dan merenggut hidup dan masa depan anak dan perempuan mungkin ada di banyak tempat, tersembunyi ataupun terang-terangan dari orang yang tak dikenal hingga guru dan orangtua yang membenarkan tindakanya dengan berlindung pada ajaran agama. Sementara korban mendapat stigma negatif dari masyarakat karena ada tradisi maupun budaya patriakhi di beberapa daerah. Menggangap bahwa kedudukan perempuan ada dibawah kedudukan lelaki. Tidak ada persamaan gender. Dengan terkuaknya tabir yang memalukan justru akan menambah stempel negatif dari korban dan keluarganya. Tidak ada perlindungan dari pihak mana pun yang memberikan solusi dari masalah-masalah pelik itu. Seolah para korban harus menerima apa adanya. Dan mereka tak punya hak untuk menuntut atas apa yang terjadi dan bahkan menuntut pelakunya. Menyedihkannya korban terus berjatuhan . Perempuan dan anak jadi mahluk yang lemah dan objek dari kekerasan seksual. Peristiwa kekerasan seksual tak pernah berhenti kepada perempuan maupun anak, hampir tiap 2 jam ada 2 – 3 orang korban kekerasan seksual di Indonesia. Data terakhir yang dicatat oleh Komnas Perempuan mengeluarkan Catatan Tahunan (Catahu) 2016 menunjukkan angka kekerasan perempuan seksual di ranah seksual pada tahun 2015 sebesar 16.217 kasus. Sekarang di tahun 2016 meningkat menjadi 321.752 kasus. Terdapat kenaikan sekitar 9%. Sayangnya, peningkatan yang sangat tidak diinginkan. Sementara KPAI mencatat terdapat 1.698 pengaduan kekerasan terhadap anak pada tahun 2015, dengan 53% di antaranya adalah kasus kekerasan seksual. Sisanya, yakni sebanyak 40,7% adalah penelantaran, penganiayaan, eksploitasi untuk seksual, dan bentuk kekerasan lainnya. Untuk data tahun 2015 diambil dari 232 lembaga mitra komisi Perempuan di 34 provinsi. Awalnya ranah kekerasan perempuan itu hanya berasal dari kekerasan domestik saja. Sekarang berkembang lebih luas . Ranahnya dibagi dalam 3 ranah, yakni wilayah relasi personal, komunitas dan negara. Ranah Personal: Dari total kasus 321.752, ranah personal menempati angka yang terbesar, tempat yang kedua dan yang paling menonjol seperti tahun sebelumnya. Beberapa kasus yang direkam oleh Komnas Perempuan adalah kekerasan terhadap perempuan (perkara rumah tangga dan istri) yang diduga dilakukan oleh pejabat publik dari anggota parlemen, serta kejahatan yang dilakukan artis. Perbandingan dari kasus : Kekerasan dalam bentuk perkosaan sebanyak 72% (2.399 kasus), dalam bentuk pencabulan sebanyak 18% (601 kasus), dan pelecehan seksual 5% (166 kasus). Ranah Komunitas: Di luar persoalan perkawinana dan rumah tangga , Komnas Perempuan menemukan makin meluasnya tema kekerasan seksual yang muncul seperti yang diberitakan oleh media, seperti pekerja seks online, mucikari artis pekerja seks, kasus cyber crime, iklan berkedok biro jodoh berkedok syariah dan penyedia jasa perkawinan siri, kasus perbudakan seks seorang anak perempuan oleh ayah mertua di Tapanuli . Pelaku kekerasan sekssual terhadap mahasiswi oleh seorang dosen di sebuah universitas. Ada Sebanyak 31% (5.002 kasus), dan jenis kekerasan terhadap perempuan tertinggi adalah kekerasan seksual (61%), sama seperti tahun sebelumnya (data 2014 dan data 2013). Untuk tahun ini jenis dari bentuk kekerasan ini adalah perkosaan (1.657 kasus), pencabulan (1.064 kasus), pelecehan seksual (268 kasus), kekerasan seksual lain (130 kasus), melarikan anak perempuan (49 kasus), dan percobaan perkosaan (6 kasus). Ranah Negara: Di ranah negara, seharusnya Negara sebagai pengayom, tetapi aparat negara sebagai pelaku langsung atau melakukan pembiaran pada saat peristiwa pelanggaran HAM Perempuan terjadi. Contoh ada kasus pemalsuan akta nikah di Jawa Barat dan human trafficiking di NTT. Krimimnalisasi perempuan dengan penangkapan 2 orang perempuan oleh petugas Wilayatul Hisbah di Aceh. Hal lain adalah kasus perempuan dalam tahanan bahwa telah terjadi penganiayaan terhadap seorang perempuan warga binaan di Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur yang dilakukan oleh seorang sipir laki-laki. Kondisi kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak dalam keadaan yang genting, kritis. Perlu adanya gerakan atau terobosan , jika HARUS peduli untuk mengakhirinya. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) pada 2016 memiliki tiga program unggulan yang bernama Three Ends. Three Ends tersebut adalah End Violence Against Women and Children (akhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak), End Human Trafficking (akhiri perdagangan manusia) danEnd Barriers To Economic Justice (akhiri kesenjangan ekonomi). 3 Ends yang dimaksud di sini adalah : - Mengakhiri tindakan kekerasan terhadap perempuan dan anak - Mengakhiri perdagangan manusia - Mengakhiri adanya kesenjangan antara pria dan perempuan Mengakhiri Tindakan Kekerasan Terhadap perempuan dan Anak: Pemberdayaan perempuan baik dalam bidang ekonomi, contohnya jika dalam ada potensi local seperti hasil ikan laut, para perempuan dapat mengangkat derajatnya dengan memperoleh pendapatan dari hasil pembuatan ikan laut yang digoreng jadi kerupuk dan sebagainya. Memperoleh pendapatan bagi seorang perempuan akan besar dampaknya. Keluarga, kesehatan, pendidikan akan terangkat . Sosialisasi dan pengetahuan tentang sex education bagi anak-anak sejak dini sangat penting sekali Sosialisasi dan pengetahuan tentang alat reproduksi bagi semua remaja yang akan menikah.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post