Seno SDN Penjaringan 06

"Kuat Karakter, Giat Didik, Maju Budaya" Guru SDN Penjaringan 06 Jakarta Utara...

Selengkapnya
Navigasi Web
Getaran Hati untuk Cinta
Gambar Bunga Melati, Sumber: https://4.bp.blogspot.com diunduh pada Senin, 11 November 2019

Getaran Hati untuk Cinta

Melan melanjutkan kehidupan baru tanpa suami dan anak kesayangannya. Dia sibuk sebagai penata rias dan rambut. Pelanggannya banyak, pelayanannya memuaskan para konsumen. Tidak sekali, pelanggannya menggunakan jasa Melan berulang kali. Jadwal pekerjaan banyak, sehingga, Dia mengangkat pekerja untuk membantu pekerjaan di salon kecantikannya. Satu ruangan di rumah milik Mamanya, dijadikan tempat berkarya. Saat Melan merapikan perlengkapan kecantikan, Mamanya menghampiri seraya mengusap bahu Melan.

“Bagaimana pekerjaanmu, nak?” tanya Ibu Astuti kepada Melan.

“Hei, Mama!” Melan terkejut, dia tidak menyadari kedatangan Mamanya, dia langsung memeluk Mamanya.

“Mama, doakan Melan ya, Ma?” memelas manja Melan kepada Mamanya.

“Melan, sampai kapan pun, Mama selalu mendoakan kamu, nak! Mama berjuang dan berkorban untuk anak-anak Mama.” Sahut Ibu Astuti kepada Melan sambil mengusap rambut panjang Melan yang tergerai indah penuh kasih sayang.

“Terima kasih, Ma!” kata Melan sambil mengecup kening dan pipi Ibu Astuti.

“Ma, hari ini, aku akan menyelesaikan pekerjaanku, jadwalku menata rias dan rambut untuk acara pernikahan.” Melan memberitahukan perihal jadwal kerjanya kepada Ibu Astuti.

“Lakukan yang terbaik, nak! semoga pengguna jasamu terpuaskan, dan kamu pun terus melatih diri menyesuaikan tren tata rias terbarukan!” jawab Ibu Astuti kepada Melan sambil duduk di depan cermin hias.

Belum sempat Melan menanggapi perkataan Mamanya, dari luar salon terdengar suara mengucap salam. Firda datang, Firda perempuan periang lagi cantik, anggun, dan manis, berkulit sawo matang. Dia sudah sebulan membantu pekerjaan Melan. Firda lulusan sekolah kecantikan ternama di Jakarta. Keterampilan tata rias dan rambutnya pun termasuk sudah bagus. Melan sangat terbantukan dari kehadiran Firda di salonnya. Dia sering menjuarai lomba-lomba tata rias kecantikan.

“Mbak Melan, maaf aku datang terlambat, Mbak sudah lama menungguku ya!” permohonan maaf Firda kepada Melan seraya mengulurkan tangan untuk bersalaman kepada Melan dan Ibu Astuti.

“Tidak, kamu tidak terlambat Firda, aku pun baru saja selesai menghitung perlengkapan untuk pekerjaan kita pagi ini, kelengkapan tata riasnya ku rasa sudah cukup, baiknya kita berangkat sekarang!” sahut Melan kepada Firda sambil mengangkat tas perlengkapan kecantikan miliknya.

“Baik Mbak! mari kita berangkat, mumpung hari masih pagi dan udara di luar pun masih segar.” Jawab Firda kepada Melan.

Melan dan Firda berpamita kepada Ibu Astuti. Melan berjalan melangkah ke halaman rumah lalu menata tas perlengkapan tata rias di atas motornya. Firda pun melakukan hal yang sama. Ibu Astuti memperhatikan mereka penuh senyum bahagia.

“Ma, aku berangkat ya! Mama hati-hati di rumah dan jangan lupa sarapan dan obatnya sudah aku siapkan di meja makan!” kata Melan kepada Ibu Astuti sebelum menarik gas motornya.

“Iya nak, hati-hati selama perjalanan, semoga pekerjaanmu berhasil sukses dan konsumenmu terpuaskan!” jawab Ibu Astuti penuh bangga dan kagum kepada anaknya.

“Daag Ma!” kata Melan melambaikan tangan mengakhiri pembicaraan kepada Mamanya.

Melan dan Firda melajukan sepeda motornya, udara di jalan masih segar, kabut sudah mulai menipis. Setelah tiba di rumah konsumennya, mereka bahu membahu merias dan menata kecantikan pelanggannya. Pekerjaannya mendapat perhatian keluarga pelangganya. Decak kagum tanpa keluar dari bibir orang yang memperhatikan pekerjaan tata rias dan rambut mereka. Tak berselang lama, pekerjaan mereka telah selesai, hampir dipastikan, tren tata rias dan rambutnya sangat memukau. Perempuan calon pengantin pelangannya itu tampak senyum-senyum di cermin. Dia tampak memiliki kepercayaan diri yang lebih atas tren tata rias wajah dan rambut Melan.

Melan dan Firda langsung kembali ke salon tempat mereka berkarya. Setelah tiba di salon, mereka istirahat sejenak, menghilangkan rasa Lelah. Lalu, mereka menyantap makanan yang dimasak Melan pagi tadi sebelum bekerja. Mereka tampak menikmati lezatnya makanan. Selesai makan, mereka merapikan perlengkapan kecantikan.

“Firda, mulai besok, aku berencana berhijab! aku minta saran dan pendapatmu, model dan bahan hijab yang cocok untukku, seperti apa ya?” tanya Melan kepada Firda.

“Haiii, senang sekali hatiku, Mbak! wow, aku langsung terbayang kecantikan Mbak, sungguh cantik penampilan Mbak Melan, aku sangat meyakini deh!” jawab Firda kepada Melan sambil memeluk tubuhnya.

“Aduh, jangan berlebihan memujiku, ya!” kat Melan kepada Firda.

“Aku yakin Mbak Melan …, kecantikan Mbak, bisa membuat orang terpana memandangnya!” sahut Firda kembali meyakini Melan.

“Bukan itu, tujuanku berhijab, Fir! aku ingin hijrah dari masa lalu, apalagi statusku janda, aku berusaha berpenampilan sesuai dengan perintah agama.” Jawab Melan memberi penjelasan kepada Firda.

“Ho begitu, betul juga, tapi mohon maaf Mbak, aku belum bisa mengikuti penampilan Mbak Melan saat ini, doakan saja, semoga aku nantinya mengikuti derap langkah Mba Melan.

“Iya, aku akan mendoakanmu, Fir! Semoga kamu mendapat hidayah dan taufik-Nya untuk segera berhijab.” Sahut Melan kepada Firda sambil mendekatkan dirinya untuk melihat model hijab yang sesuai dengan wajahnya.

Firda memperlihatkan gambar-gambar model hijab. Mereka gembira bercengkerama dan sepertinya Melan telah menemukan model hijab yang menjadi kesukaannya. Mereka tidak menyadari ada dua orang mendatangi salon.

“Selamat siang, Mbak! betulkah ini salon milik Mbak Melan?” tanya laki-laki tampan sambil menuntun seorang anak laki-laki kecil kepada Melan dan Firda.

“Ho, iya betul, betul, Mas! Anda cari siapa ya?” balik bertanya Melan kepada laki-laki tersebut.

“Maaf! sebelumnya, aku perkenalkan diri kepada Mbak, namaku Amran dan anak kecil ini anakku, namanya Andika!” jawab Amran kepada Melan dan Firda memperkenalkan diri.

“Maafkan aku juga, Mas! Aku Melan dan ini, Firda!” jawab Melan kepada Amran sambil mempersilahkan masuk.

“Aku Andika, Bu!” anak Amran mengulurkan tangan ikut memperkenalkan diri kepada Melan.

“Iya nak! Melan pun menyambut uluran tangan Andika.

“Mbak Melan, langsung saja pada pokok tujuanku ke salon ini, atas referensi Tanteku, aku bermaksud meminta Mbak Melan merias Mita, adik perempuanku disaat pesta syukuran wisudanya, bersediakah Mbak Melan?” tanya Amran kepada Melan serius.

“Kapan waktunya ya, Mas Amran?” balik bertanya Melan kepada Amran.

“Rabu malam Kamis, Mbak!” jawab Amran kepada Melan sambil mengusap rambut Andika.

“Sebentar ya, Mas Amran! Sahut Melan kepada Amran sambil membuka buku jadwal pekerjaannya.

“Sepertinya bisa, Mas! tolong Mas Amran menuliskan alamat rumah dan nomor telponnya, bila diperlukan aku dapat menghubungi Mas Amran.

“Bu, aku juga dirias seperti Tante, ya!” pinta Andika kepada Melan.

“Iya nak! Ibu akan merias kamu biar tambah ganteng seperti Ayahmu!” jawab Melan kepada Andika seraya menghibur tetapi

Melan langsung malu dan tanpa sengaja pandangan mata Melan dan Amran bertemu. Mereka berusaha mengalihkan pandangan mata masing-masing.

“Baiklah Mbak Melan, Aku menunggumu di rumah di hari Rabu sore! Usahakan untuk tidak datang terlambat!” pinta Amran kepada Melan menegaskan.

“Iya Mas! semoga saya datang tepat waktu, terima kasih sudah mempercayakan tata rias dan rambut kepada salon ini!” sahut Melan kepada Amran.

“Aku pamit, Mbak! Masih ada urusan pekerjaan yang harus diselesaikan!” kata Amran kepada Melan.

“Ayo, nak! kita bergegas ke kantor, Ayah akan ada tamu berkunjung ke kantor! Ajak Amran kepada Andika.

“Bu, datang ya, ke rumahku! Aku mengunggu Ibu di rumah!” pinta Andika kepada Melan seraya memegang tangan Melan penuh pengharapan.

Andika sosok anak periang dan cerdas tetapi dia pun membutuhkan kasih sayang seorang Ibu. Sejak Ibunya meninggal, Andika dirawat oleh seorang pengasuh yang dipercaya oleh Ayahnya. Andika berumur kurang dari empat tahun. Tanggal ulang tahunya, bertepatan dengan hari pesta syukuran wisuda Tantenya. Melan pun mempersiapkan segala sesuatu kelengkapan tata rias kecantikannya. Hari kesepakatan Melan dan Amran pun tiba, Melan sudah sampai di rumah Amran. Sore itu, dia tidak ditemani oleh Firda. Firda sedang mengikuti lomba tata rias kecantikan di satu mal di kotanya.

Melan merias adik Amran penuh ketelitian, hasil tata riasnya mengikuti tren dan kecocokan wajah maupun warna kulit adik perempuan Amran. Acara pun dimulai, tampak tamu undangan adik perempuan Amran sudah memenuhi ruang tamu dan halaman rumah Amran. Banyak tamu, laki-laki maupun perempuan berdecak kagum atas kecantikan paras Mita. Tidak hanya Mita, Andika pun tampil menarik, tangan ahli tata rias Melan telah memukau banyak orang. Andika pun begitu bahagia sore itu. Dia tidak mau lepas dan jauh dari sisi Melan. Andika merasa dan mendapatkan satu tempat yang dirasakannya nyaman, gembira, serta bahagia saat dekat Melan.

“Ibu jangan pergi jauh dari Andika, Bu!” pinta Andika kepada Melan merengek penuh berharap agar Melan mau menemaninya.

Melan tertegun bingung, dia merasa bukan siapa-siapa bagi anak tersebut dan pekerjaannya pun sudah selesai ditunaikan. Andika pun memaksa Ayahnya untuk menahan Melan untuk tidak meninggalkan rumah mereka. Amran pun ikut bingung, satu sisi, Melan tidak ada hubungan apa pun dengan diri dan keluarganya. Melan hanya seorang penata rias kecantikan. Tetapi, di lain sisi, dia pun tidak ingin mengecewakan Andika, anak semata wayang belahan jiwanya. Kemudian, dia pun kikuk dan gugup, Melan tampil beda, Melan berhijab dan berbeda sat kali pertama dia bertemu di salon beberapa hari yang lalu. Penampilan Melan yang berhijab, lebih menambah kecantikannya. Amran pun, sementara ini menyimpan perasaan yang menghujam dirinya. Semua itu, karena penampilan Melan yang berhijab.

“Mbak Melan, aku minta kepada Mbak untuk tetap di tempat ini, aku mohon ketulusan hati Mbak!” pinta Amran memelas kepada Melan.

Melan masih tertegun diam, hatinya bergetar, merasakan perasaan Andika anak satu-satunya Amran. Dia pun langsung teringat kenangan masa lalu penuh kebahagiaan bersama anaknya, Hildan. Anak kesayangan buah hatinya, telah meninggal dan pergi dari kehidupannya bertemu untuk menyusul Ayahnya, suami tercintanya. Tanpa disadarinya, air matanya pun menetes membasahi pipinya.

“Ibu …, kenapa menangis?” tanya Andika kepada Melan, dia turut sedih memegang kedua tangan Melan.

“Ho, … tidak nak, aku tidak nangis!” sahut Melan menegaskan Andika seraya menyembunyikan kesedihannya.

“Iya, Ibu akan menemanimu nak! kata Melan kepada Andika, dia tak sanggup menolak permintaan Andika, dia tak ingin anak kecil itu sedih dan hancur hatinya bila dia menolak menemaninya.

Acara pesta terus berlangsung, tanpa disadari Amran, sepasang mata memperhatikan gerak-gerik Amran sedari tadi. Perempuan setengah baya memandang penuh kesal dan dengki terhadap Amran apalagi Melan. Perempuan itu, disebut banyak orang Tante Okta. Dia orang kaya dan seorang pengusaha sukses. Dia perempuan terpandang dan banyak orang takut serta segan berurusan dengannya. Itu disebabkan, karena Tante Okta sering berbuat kekerasan apabila ada seseorang yang menyinggung apalagi bersalah kepadanya. Kaki tangannya banyak dan beringas. Dia sering menyuruh orang-orang kepercayaannya untuk bertindak. Tante Okta berusaha menjodohkan anak perempuannya dengan Amran. Dia tidak menginginkan ada perempuan lain mendekati apalagi akrab kepada Amran maupun anaknya.

“Jaman, ke sini!” pinta Tante Okta kepada orang suruhannya.

“Iya, Nya! Ada yang bisa saya kerjakan?” jawab Jaman kepada Tante Okta seraya bertanya menegaskan apa sesungguh perintah majikannya.

“Tolong kamu awasi perempuan berhijab itu, kalau perlu, buat dirinya menjauhkan dirinya untuk berhubungan serius dengan Amran serta anaknya.

“Baik, Nya!” jawab Jaman kepada Tante Okta meyakinkan.

Pesta berlangsung meriah, Amran dan Andika merasakan kegembiraan yang sangat. Setelah merapikan perlengkapan tata riasnya, Melan berpamitan untuk pulang. Andika berusaha mencegah agar Melan tidak meninggalkan kelangsungan hubungan mereka.

“Ibu, jangan pulang, Ibu tinggal saja Bersama kami!” pinta Andika merengek kepada Melan.

Melan dan Amran saling bertatapan, pandangan mata mereka beradu tajam, mereka merasakan makna kebutuhan kasih sayang sosok Ibu yang terpendam dalam diri Andika. Mereka berdua tertegun bingun.

‘Nak, Ibu Melan harus pulang, Mamanya menunggu di rumah, Mamanya Ibu Melan sedang sakit, beliau butuh perawatan Ibu Melan!” bujuk Amran kepada Andika,

“Iya, Ayah!” jawab Andika kepada Ayahnya, dia menerima walaupun tetap menampakkan raut kecewa.

“Ibu, besok ke rumah ini ya, bermain bersama Andika?” pinta Andika kepada Melan penuh pengharapan.

“Iya nak, suatu hari nanti, Ibu akan mengunjungimu!” jawab Melan sedikit menundukkan tubuhnya meyakinkan Andika.

Andika menangis sambil memeluk Melan, dia menangis tersedu-sedu, dia tidak ingin berpisah dari Melan. Andika merasakan sosok pengganti Ibunya ada di diri Melan. Amran berusaha melepaskan pelukan Andika kepada Melan, tetapi anaknya semakin erat memeluk tubuh Melan. Amran terus membujuk anak kesayangannya.

“Ho iya nak, sebaiknya, mari kita mengantarkan Ibu Melan pulang!” ajak Arman kepada buah hatinya.

Amran berhasrat ingin mengantarkan Melan sampai rumahnya, tetapi keadaan yang memaksanya untuk menundanya. Amran, Andika, dan Melan berjalan menuju jalan raya. Letak jalan raya di depan rumah Amran. Melan berencana menggunakan jasa taksi untuk pulang. Setibanya di pinggir jalan raya, sebuah sepeda motor melaju kencang dan berusaha menabrak Melan.

“Awas, Melan! Teriak Amran sambil mendorong tubuh Melan dan pengendara sepeda motor melarikan diri.

Melan dan Andika terjatuh, Amran terpental dan jatuh, dia berusaha bangun namun tak kuasa berdiri, dia pingsan. Melan dan Andika jatuh berpelukan. Tampak darah segar keluar dari kepala Andika. Saat jatuh, kepala Andika membentur batu. Melan berteriak sekuat tenaga meminta pertolongan.

“Tolong, tolong, tolong …, tolong kami!” Melan terus menerus meneriakkan minta tolong sambil memeluk tubuh Andika.

Banyak orang berdatangan, baik sanak keluarga Amran maupun masyarakat sekitar. Berbondong-bondong mereka berusaha memberi pertolongan kepada Melan, Andika, dan Amran.

“Tolong, selamatkan kami, tolong Mas Amran, tolong anak yang tak berdosa ini!” teriak Melan sambil menangis meminta pertolongan kepada orang-orang di dekatnya.

Sebagian orang menggotong tubuh Amran yang tergeletak di jalan, sebagian lainnya memberhentikan mobil untuk membawa mereka ke rumah sakit. Pertolongan berjalan cepat, Melan, Andika, dan Amran tiba di rumah sakit. Mereka langsung diberikan pertolongan pertama di UGD. Dokter dan perawat berusaha menyelamatkan para korban. Bersambung.

Sampai jumpa di kelanjutan cerita ini.

Salam perkuat karakter dan literasi.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Cerpennya cakep pak Seno. Ceritanya mengalir dan sangat mudah dipahami. Keren. Sehat, bahagia, dan sukses selalu. Barakallah buat pak Seno

01 Nov
Balas

Alhamdulillah. Terima kasih sudah memberi tanggapan, semoga Bapak juga demikian, sehat, bahagia, dan sukses selalu.

01 Nov
Balas



search

New Post