Seno SDN Penjaringan 06

"Kuat Karakter, Giat Didik, Maju Budaya" Guru SDN Penjaringan 06 Jakarta Utara...

Selengkapnya
Navigasi Web
Melan

Melan

Malam tahun baru telah datang, sekeluarga yang harmonis menikmati malam penuh cinta dengan bersenda gurau dan sambil menyantap hidangan khusus sebagai tanda bentuk syukur. Keluarga kecil yang saat ini beranggotakan empat orang. Ibu Astuti seorang Ibu yang bersahaja penuh kesederhanaan masih tampak dirundung sedih atas ditinggal oleh sang suami tercinta untuk menghadap sang Khalid tiga bulan lalu. Dia beranak dua orang, anak pertamanya Frenky, laki-laki yang sudah tumbuh dewasa dan bekerja pada perusahaan swasta nasional dengan jabatan cukup lumayan. Anak keduanya, perempuan berparas cantik dengan rambut teruarai panjang, bernama Melan. Melan seorang janda beranak satu. beliau mengurus dan merawat anak semata wayangnya dengan penuh kasih sayang. Suaminya meninggal saat dirinya mengandung delapan bulan karena mengalami kecelakaan saat bertugas di tengah laut. Kapal yang dinahkodainya tenggelam dihantam gelombang laut saat badai. Hildan nama anak kecil menggemaskan ini telah berumur tiga tahun. Hildan menjadi anak periang dan cerdas. Wajahnya tampan seperti Ayahnya.

“Ibu, Aku ingin seperti Ayah kalau sudah besar”! kata Hildan sambil menunjuk foto Ayahnya dengan seragam pelaut yang gagah.

“Iya nak! Semoga kamu dapat menjadi seperti Ayahmu yang gagah, cerdas, lagi penyayang keluarga.

Hildan memeluk tubuh Ibunya, Dia mengusap pipi Ibunya.

“Bu, aku kangen Ayah …, Ayah sedang apa sekarang ini, kenapa Ayah tidak bersama kita …?” suaranya sendu bercampur penuh harap kepada Ibunya.

Melan berusaha tabah menghadapi anaknya yang membutuhkan kasih sayang seorang Ayah. Matanya menerawang sesaat dan tanpa disadarinya, dia menitikkan air mata. Air mata Melan jatuh di telapak tangan anaknya.

“Ibuuu! kok menangis, kenapa Buu …?’ tanya Hildan pada Ibunya.

Melan berusaha menguatkan diri lalu segera mengusap air matanya.

“Tidak nak, Ibu tidak menangis, Ayahmu akan bersama kita pada saatnya nanti.” Sahut Melan menenangkan perasaan anaknya.

“Ayo, kita makan kue-kue yang sudah dibelikan Pamanmu!” ajak Melan untuk mengalihkan pembicaraan.

Melan menuntun anaknya untuk memilih makanan yang tersaji di meja ruang tamu. Melan sampai saat ini, masih merahasiakan kematian Ayah bagi anaknya. Dia kawatir, anaknya akan terpukul dan sedih yang mendalam, apabila mengetahui Ayahnya telah tiada.

“Makanlah nak, ayo dimakan kue kesukaanmu ini!” memelas Melan kepada anaknya utuk memakan kue kesenangannya.

“Tidak mau, aku tidak mau, aku mau Ayah pulang …!” Merengek Hildan kepada Ibunya, Melan berusaha menenangkan anaknya yang sedang dibuai rindu sosok Ayahnya.

“Iya nak, besok mungkin Ayahmu akan pulang …!” usaha Melan meyakini putranya.

Ibu Astuti yang sedari tadi sedang menonton TV pun ikut tergugah hatinya. Dia berusaha membantu putrinya untuk meredam kerinduan dasyat cucu satu-satunya.

“Sabar, ya nak! Ayahmu akan berkumpul bersama kita suatu hari nanti.” Ibu Astuti berusaha meredahkan keinginan cucunya.

“Iya Nek! Aku akan berkumpulkan dengan Ayah …” sahut Hildan penuh harap kepada Neneknya.

“Iya, nanti kita akan selalu bersama dengan Ayahmu …” penuh meyakini cucunya.

Suasana kembali mencair dan mengalir damai penuh ketenangan. Melan hanya bisa pasrah dan berusaha meredahkan harapan anaknya untuk bertemu Ayahnya. Dia berharap, ketika waktunya sudah tepat, dia akan menceritakan tentang Ayah bagi anaknya. Sang Kakak, Frenky hanya bisa tertunduk lemah dan memendam kesedihan yang sama seperti keponakannya. Malam pun telah larut, bulan purnama bersinar terang menembus kaca ruang tamu. Melan mengajak anaknya untuk tidur.

“Nak, mari kita tidur! hari sudah malam, jadikan kita berenang besok?” ajak Melan kepada Hildan untuk tidur.

“Jadi dong Bu …, aku ingin berenang dan bertemu teman-teman di kolam renang!’ rengek Hildan kepada Ibunya.

Ayam berkokok tanda matahari ingin terbit dari singgasananya. Melan sudah mulai sibuk menyiapkan makanan yang akan dibawa olehnya pergi ke kolam renang Bersama anak tercinta belahan jiwanya. Hildan pun telah bangun dan Ibu Astuti mengajak cucunya untuk berbenah, mandi, serta merapikan pakaian cucunya. Hildan meminta pakaian pelaut yang baru saja dibelikan oleh Ibunya sebagai hadiah ulang tahunnya.

“Nek, aku ingin pakai pakaian seperti Ayah yang kemarin dibelikan Ibu!” pinta cucunya kepada Ibu Astuti.

“Ya nak, ayo pakai! semoga cucuku yang ganteng akan menjadi seperti Ayahnya.” Kata Ibu Astuti membantu mengenakan pakaian kepada Hildan.

Setelah semuanya beres dan rapi, tidak ada yang tertinggal, Melan pun menggandeng tangan anaknya keluar rumah untuk menuju kolam renang. Dia pun tidak lupa berpamitan kepada Mamanya. Hildan pun sempat melampaikan tangan kepada Neneknya yang mengantarkan sampai teras rumah.

“Daaag Nek, aku pergi berenang ya! Kiss … Nek!” salam Hildan kepada Neneknya sambil memegang tangan Ibunya.

“Ma, aku pergi ke kolam renang ya, saya mohon Mama jangan banyak termenung memikirkan Papa!” pinta Melan kepada Mamanya.

Sesaat kemudian, Melan dan anak kesayangan pelipur lara hatinya telah sampai di kolam renang yang dituju. Mereka membayar tiket masuk dan langsung ke kamar ganti untuk mengganti pakaian. Mereka bermain bersama, tampak anaknya bergembira menikmati suasana. Sekira satu jam lamanya berenang dan bermain, mereka menyudahi dan bergegas membersihkan diri dan berganti pakaian karena hari sudah mulai hujan diiringi angin kencang. Mereka berjalan keluar arena kolam menuju parkiran. Pada saat yang bersamaan, sebuah pohon tumbang dan mengenai keduanya. Mereka mengalami peristiwa naas, kecelakaan yang sungguh menyedihkan telah merubah kegembiraan antara Ibu dan anak terkasihnya.

Masyarakat yang kebetulan dekat mereka, berusaha untuk menolong dan membawanya ke rumah sakit terdekat untuk memberikan pertolongan kepada mereka yang tidak sadarkan diri. Sungguh menyedihkan bagi Melan, Melan tertolong walaupun harus melewati masa kritis selama seminggu dan dia baru sadar setelanya. Hildan meninggal dan tidak tertolong karena luka di kepala dan tubuhnya yang sangat serius. Singkat cerita, setelah sepeninggal anaknya. Melan menjadi pemarah dan suka marah-marah atau sebaliknya, suka menangis meraung-raung, memukul apa saja, baik kepada dirinya sendiri maupun orang yang ditemuinya. Perabotan rumah tangga pun hancur dilempar, dibanting, dan ditendang. Semua yang ditemuinya seakan-akan menjadi musuhnya. Entah itu orang maupun benda di sekitarnya.

“Ma! di mana Hildan anakku, ma? tanya Melan kepada Ibu Astuti sambil mengacak-acak rambutnya yang panjang.

“Melan … yang sabar nak, tabahkan hatimu … Anakmu telah pergi dengan tenang menyusul Ayahnya!” lirih suara Ibu Astuti berusaha mendamaikan hati anak perempuannya.

“Tidakkkkk, anakku tidak boleh pergi meninggalkan Ibunya…. Hildan…. ke mana kamu nak! Ibu sayang dan rindu padamu …!’teriak Melan dengan sekeras-kerasnya.

“Sabar dan tabahkan hatimu, Dik …” pinta Frenky kepada Adiknya.

Tubuh Melan tak terawat kotor dan bau, dia tak cantik dan wangi seperti kemarin. Sejak ditinggal meninggal anak kesayangan belahan jiwa menyusul Ayahnya. Melan menjadi berubah total. Hingga, Mama dan Kakaknya memutuskan membawa Melan ke rumah sakit jiwa untuk penyembuhan mentalnya yang drop bak jatuh terjun bebas dari ketinggian yang sangat.

Frenky dan Mamanya senantiasa menjenguk Melan di rumah sakit. Mamanya pun, sudah tampak sakit-sakitan, sehingga Ibu Astuti tidak bisa setiap saat mengunjungi Melan. Frenky dengan kasih sayang kepada Adiknya, berusaha tabah dan pasrah menerima takdir. Dia merawat Adiknya penuh kasih sayang. Tiap hari, dia menjenguk Melan dan berusaha membagi waktu kerjanya dengan meminta izin kepada atasan di perusahaannya bekerja.

Tiga bulan berselang, Melan kembali ke rumah. Dirinya sudah mulai tenang dan siap menerima kenyataan hidup yang harus dialaminya.

“Ma …, Kak …., maafkan anakmu dan adikmu ini, sungguh aku telah membuat Mama dan Kakak sedih ….” lirih dan bergetar suara Melan mengatakan kepada Mama dan Kakaknya.

“Sabar dan kuatkan hatimu, nak! semua ini sudah kehendak takdir Yang Maha Kuasa, kamu harus ikhlas dan tabah menerimanya!” pinta Ibu Astuti kepada Melan.

“Badai ini tak selamanya, mari kita songsong hari esok dengan penuh keyakinan dan pengharapan yang baik kepada Tuhan Yang Maha Kuasa! kasih sayang-Nya senantiasa menyertai kepada hamba-hamba-Nya yang bertawakal dan sabar ketika menerima cobaan!” Menenangkan penuh motivasi Ibu Astuti kepada anaknya.

“Ya, Ma…, terima kasih Mama telah menemani Melan pada titik nol sebagai manusia.” sahut Melan kepada Mamanya.

Sejak saat itu, Melan pun dikatakan oleh Dokter telah sembuh. Mentalnya sudah menguat kembali. Melan menjalani aktifitas kehidupannya dengan menata dari awal dan berusaha melupakan kejadian pilu masa lalunya. Dia menyibukkan diri dengan bekerja sebagai perias dan tata rambut di rumahnya. Keterampilan tersebut dia dapatkan ketika saat bersekolah.

Melan melanjutkan kehidupan barunya tanpa suami dan anak-anak tercinta. Dia sibuk sebagai seorang tata rias kecantikan dan penata rambut. Basis pelanggan yang hebat, layanan pelanggan yang hebat. Tidak sekali pun, pelanggannya menggunakan layanan Melan beberapa kali. Jadwal kerjanya sangat besar, jadi dia mempekerjakan seorang pekerja untuk membantunya bekerja di salon kecantikannya. Satu kamar di rumah ibunya, tempat untuk bekerja. Saat Melan menyiapkan perlengkapan kecantikannya, ibunya mendekati bahu Melan.

"Bagaimana kabarmu, Nak?" Minta Astan ke Melan.

"Hei, Bu!" Melan terkejut, dia tidak menyadari ibunya datang, dia memeluknya.

"Nyonya, berdoa untuk Melan, Nyonya?" Melan memanjakan ibunya.

"Melan, selamanya, Ibu selalu berdoa untukmu, Nak! Ibu berjuang dan berkorban untuk anak-anaknya. "Kata Ibu kepada Melan sambil menggosok rambut panjang dan indah Melan.

“Terima kasih, Bu!” Kata Melan, mencium dahi dan pipi Ibu.

"Bu, hari ini, aku akan menyelesaikan pekerjaanku, jadwalku untuk make up dan rambut untuk pernikahan." Melan memberi tahu ibu mertuanya tentang jadwal kerjanya.

"Lakukan yang terbaik, Nak! Semoga pengguna Anda puas, dan Anda terus melatih diri untuk mengikuti tren mode terbaru! "Jawab Astuti pada Melan saat dia duduk di depan cermin.

Belum sempat Melan menanggapi perkataan Mamanya, dari luar salon terdengar suara mengucap salam. Firda datang, Firda perempuan periang lagi cantik, anggun, dan manis, berkulit sawo matang. Dia sudah sebulan membantu pekerjaan Melan. Firda lulusan sekolah kecantikan ternama di Jakarta. Keterampilan tata rias dan rambutnya pun termasuk sudah bagus. Melan sangat terbantukan dari kehadiran Firda di salonnya. Dia sering menjuarai lomba-lomba tata rias kecantikan.

“Mbak Melan, maaf aku datang terlambat, Mbak sudah lama menungguku ya!” permohonan maaf Firda kepada Melan seraya mengulurkan tangan untuk bersalaman kepada Melan dan Ibu Astuti.

“Tidak, kamu tidak terlambat Firda, aku pun baru saja selesai menghitung perlengkapan untuk pekerjaan kita pagi ini, kelengkapan tata riasnya ku rasa sudah cukup, baiknya kita berangkat sekarang!” sahut Melan kepada Firda sambil mengangkat tas perlengkapan kecantikan miliknya.

“Baik Mbak! mari kita berangkat, mumpung hari masih pagi dan udara di luar pun masih segar.” Jawab Firda kepada Melan.

Melan dan Firda berpamita kepada Ibu Astuti. Melan berjalan melangkah ke halaman rumah lalu menata tas perlengkapan tata rias di atas motornya. Firda pun melakukan hal yang sama. Ibu Astuti memperhatikan mereka penuh senyum bahagia.

“Ma, aku berangkat ya! Mama hati-hati di rumah dan jangan lupa sarapan dan obatnya sudah aku siapkan di meja makan!” kata Melan kepada Ibu Astuti sebelum menarik gas motornya.

“Iya nak, hati-hati selama perjalanan, semoga pekerjaanmu berhasil sukses dan konsumenmu terpuaskan!” jawab Ibu Astuti penuh bangga dan kagum kepada anaknya.

“Daag Ma!” kata Melan melambaikan tangan mengakhiri pembicaraan kepada Mamanya.

Melan dan Firda melajukan sepeda motornya, udara di jalan masih segar, kabut sudah mulai menipis. Setelah tiba di rumah konsumennya, mereka bahu membahu merias dan menata kecantikan pelanggannya. Pekerjaannya mendapat perhatian keluarga pelangganya. Decak kagum tanpa keluar dari bibir orang yang memperhatikan pekerjaan tata rias dan rambut mereka. Tak berselang lama, pekerjaan mereka telah selesai, hampir dipastikan, tren tata rias dan rambutnya sangat memukau. Perempuan calon pengantin pelangannya itu tampak senyum-senyum di cermin. Dia tampak memiliki kepercayaan diri yang lebih atas tren tata rias wajah dan rambut Melan.

Melan dan Firda langsung kembali ke salon tempat mereka berkarya. Setelah tiba di salon, mereka istirahat sejenak, menghilangkan rasa Lelah. Lalu, mereka menyantap makanan yang dimasak Melan pagi tadi sebelum bekerja. Mereka tampak menikmati lezatnya makanan. Selesai makan, mereka merapikan perlengkapan kecantikan.

“Firda, mulai besok, aku berencana berhijab! aku minta saran dan pendapatmu, model dan bahan hijab yang cocok untukku, seperti apa ya?” tanya Melan kepada Firda.

“Haiii, senang sekali hatiku, Mbak! wow, aku langsung terbayang kecantikan Mbak, sungguh cantik penampilan Mbak Melan, aku sangat meyakini deh!” jawab Firda kepada Melan sambil memeluk tubuhnya.

“Aduh, jangan berlebihan memujiku, ya!” kat Melan kepada Firda.

“Aku yakin Mbak Melan …, kecantikan Mbak, bisa membuat orang terpana memandangnya!” sahut Firda kembali meyakini Melan.

“Bukan itu, tujuanku berhijab, Fir! aku ingin hijrah dari masa lalu, apalagi statusku janda, aku berusaha berpenampilan sesuai dengan perintah agama.” Jawab Melan memberi penjelasan kepada Firda.

“Ho begitu, betul juga, tapi mohon maaf Mbak, aku belum bisa mengikuti penampilan Mbak Melan saat ini, doakan saja, semoga aku nantinya mengikuti derap langkah Mba Melan.

“Iya, aku akan mendoakanmu, Fir! Semoga kamu mendapat hidayah dan taufik-Nya untuk segera berhijab.” Sahut Melan kepada Firda sambil mendekatkan dirinya untuk melihat model hijab yang sesuai dengan wajahnya.

Firda memperlihatkan gambar-gambar model hijab. Mereka gembira bercengkerama dan sepertinya Melan telah menemukan model hijab yang menjadi kesukaannya. Mereka tidak menyadari ada dua orang mendatangi salon.

“Selamat siang, Mbak! betulkah ini salon milik Mbak Melan?” tanya laki-laki tampan sambil menuntun seorang anak laki-laki kecil kepada Melan dan Firda.

“Ho, iya betul, betul, Mas! Anda cari siapa ya?” balik bertanya Melan kepada laki-laki tersebut.

“Maaf! sebelumnya, aku perkenalkan diri kepada Mbak, namaku Amran dan anak kecil ini anakku, namanya Andika!” jawab Amran kepada Melan dan Firda memperkenalkan diri.

“Maafkan aku juga, Mas! Aku Melan dan ini, Firda!” jawab Melan kepada Amran sambil mempersilahkan masuk.

“Aku Andika, Bu!” anak Amran mengulurkan tangan ikut memperkenalkan diri kepada Melan.

“Iya nak! Melan pun menyambut uluran tangan Andika.

“Mbak Melan, langsung saja pada pokok tujuanku ke salon ini, atas referensi Tanteku, aku bermaksud meminta Mbak Melan merias Mita, adik perempuanku disaat pesta syukuran wisudanya, bersediakah Mbak Melan?” tanya Amran kepada Melan serius.

“Kapan waktunya ya, Mas Amran?” balik bertanya Melan kepada Amran.

“Rabu malam Kamis, Mbak!” jawab Amran kepada Melan sambil mengusap rambut Andika.

“Sebentar ya, Mas Amran! Sahut Melan kepada Amran sambil membuka buku jadwal pekerjaannya.

“Sepertinya bisa, Mas! tolong Mas Amran menuliskan alamat rumah dan nomor telponnya, bila diperlukan aku dapat menghubungi Mas Amran.

“Bu, aku juga dirias seperti Tante, ya!” pinta Andika kepada Melan.

“Iya nak! Ibu akan merias kamu biar tambah ganteng seperti Ayahmu!” jawab Melan kepada Andika seraya menghibur tetapi

Melan langsung malu dan tanpa sengaja pandangan mata Melan dan Amran bertemu. Mereka berusaha mengalihkan pandangan mata masing-masing.

“Baiklah Mbak Melan, Aku menunggumu di rumah di hari Rabu sore! Usahakan untuk tidak datang terlambat!” pinta Amran kepada Melan menegaskan.

“Iya Mas! semoga saya datang tepat waktu, terima kasih sudah mempercayakan tata rias dan rambut kepada salon ini!” sahut Melan kepada Amran.

“Aku pamit, Mbak! Masih ada urusan pekerjaan yang harus diselesaikan!” kata Amran kepada Melan.

“Ayo, nak! kita bergegas ke kantor, Ayah akan ada tamu berkunjung ke kantor! Ajak Amran kepada Andika.

“Bu, datang ya, ke rumahku! Aku mengunggu Ibu di rumah!” pinta Andika kepada Melan seraya memegang tangan Melan penuh pengharapan.

Andika sosok anak periang dan cerdas tetapi dia pun membutuhkan kasih sayang seorang Ibu. Sejak Ibunya meninggal, Andika dirawat oleh seorang pengasuh yang dipercaya oleh Ayahnya. Andika berumur kurang dari empat tahun. Tanggal ulang tahunya, bertepatan dengan hari pesta syukuran wisuda Tantenya. Melan pun mempersiapkan segala sesuatu kelengkapan tata rias kecantikannya. Hari kesepakatan Melan dan Amran pun tiba, Melan sudah sampai di rumah Amran. Sore itu, dia tidak ditemani oleh Firda. Firda sedang mengikuti lomba tata rias kecantikan di satu mal di kotanya.

Melan merias adik Amran penuh ketelitian, hasil tata riasnya mengikuti tren dan kecocokan wajah maupun warna kulit adik perempuan Amran. Acara pun dimulai, tampak tamu undangan adik perempuan Amran sudah memenuhi ruang tamu dan halaman rumah Amran. Banyak tamu, laki-laki maupun perempuan berdecak kagum atas kecantikan paras Mita. Tidak hanya Mita, Andika pun tampil menarik, tangan ahli tata rias Melan telah memukau banyak orang. Andika pun begitu bahagia sore itu. Dia tidak mau lepas dan jauh dari sisi Melan. Andika merasa dan mendapatkan satu tempat yang dirasakannya nyaman, gembira, serta bahagia saat dekat Melan.

“Ibu jangan pergi jauh dari Andika, Bu!” pinta Andika kepada Melan merengek penuh berharap agar Melan mau menemaninya.

Melan tertegun bingung, dia merasa bukan siapa-siapa bagi anak tersebut dan pekerjaannya pun sudah selesai ditunaikan. Andika pun memaksa Ayahnya untuk menahan Melan untuk tidak meninggalkan rumah mereka. Amran pun ikut bingung, satu sisi, Melan tidak ada hubungan apa pun dengan diri dan keluarganya. Melan hanya seorang penata rias kecantikan. Tetapi, di lain sisi, dia pun tidak ingin mengecewakan Andika, anak semata wayang belahan jiwanya. Kemudian, dia pun kikuk dan gugup, Melan tampil beda, Melan berhijab dan berbeda sat kali pertama dia bertemu di salon beberapa hari yang lalu. Penampilan Melan yang berhijab, lebih menambah kecantikannya. Amran pun, sementara ini menyimpan perasaan yang menghujam dirinya. Semua itu, karena penampilan Melan yang berhijab.

“Mbak Melan, aku minta kepada Mbak untuk tetap di tempat ini, aku mohon ketulusan hati Mbak!” pinta Amran memelas kepada Melan.

Melan masih tertegun diam, hatinya bergetar, merasakan perasaan Andika anak satu-satunya Amran. Dia pun langsung teringat kenangan masa lalu penuh kebahagiaan bersama anaknya, Hildan. Anak kesayangan buah hatinya, telah meninggal dan pergi dari kehidupannya bertemu untuk menyusul Ayahnya, suami tercintanya. Tanpa disadarinya, air matanya pun menetes membasahi pipinya.

“Ibu …, kenapa menangis?” tanya Andika kepada Melan, dia turut sedih memegang kedua tangan Melan.

“Ho, … tidak nak, aku tidak nangis!” sahut Melan menegaskan Andika seraya menyembunyikan kesedihannya.

“Iya, Ibu akan menemanimu nak! kata Melan kepada Andika, dia tak sanggup menolak permintaan Andika, dia tak ingin anak kecil itu sedih dan hancur hatinya bila dia menolak menemaninya.

Acara pesta terus berlangsung, tanpa disadari Amran, sepasang mata memperhatikan gerak-gerik Amran sedari tadi. Perempuan setengah baya memandang penuh kesal dan dengki terhadap Amran apalagi Melan. Perempuan itu, disebut banyak orang Tante Okta. Dia orang kaya dan seorang pengusaha sukses. Dia perempuan terpandang dan banyak orang takut serta segan berurusan dengannya. Itu disebabkan, karena Tante Okta sering berbuat kekerasan apabila ada seseorang yang menyinggung apalagi bersalah kepadanya. Kaki tangannya banyak dan beringas. Dia sering menyuruh orang-orang kepercayaannya untuk bertindak. Tante Okta berusaha menjodohkan anak perempuannya dengan Amran. Dia tidak menginginkan ada perempuan lain mendekati apalagi akrab kepada Amran maupun anaknya.

“Jaman, ke sini!” pinta Tante Okta kepada orang suruhannya.

“Iya, Nya! Ada yang bisa saya kerjakan?” jawab Jaman kepada Tante Okta seraya bertanya menegaskan apa sesungguh perintah majikannya.

“Tolong kamu awasi perempuan berhijab itu, kalau perlu, buat dirinya menjauhkan dirinya untuk berhubungan serius dengan Amran serta anaknya.

“Baik, Nya!” jawab Jaman kepada Tante Okta meyakinkan.

Pesta berlangsung meriah, Amran dan Andika merasakan kegembiraan yang sangat. Setelah merapikan perlengkapan tata riasnya, Melan berpamitan untuk pulang. Andika berusaha mencegah agar Melan tidak meninggalkan kelangsungan hubungan mereka.

“Ibu, jangan pulang, Ibu tinggal saja Bersama kami!” pinta Andika merengek kepada Melan.

Melan dan Amran saling bertatapan, pandangan mata mereka beradu tajam, mereka merasakan makna kebutuhan kasih sayang sosok Ibu yang terpendam dalam diri Andika. Mereka berdua tertegun bingun.

‘Nak, Ibu Melan harus pulang, Mamanya menunggu di rumah, Mamanya Ibu Melan sedang sakit, beliau butuh perawatan Ibu Melan!” bujuk Amran kepada Andika,

“Iya, Ayah!” jawab Andika kepada Ayahnya, dia menerima walaupun tetap menampakkan raut kecewa.

“Ibu, besok ke rumah ini ya, bermain bersama Andika?” pinta Andika kepada Melan penuh pengharapan.

“Iya nak, suatu hari nanti, Ibu akan mengunjungimu!” jawab Melan sedikit menundukkan tubuhnya meyakinkan Andika.

Andika menangis sambil memeluk Melan, dia menangis tersedu-sedu, dia tidak ingin berpisah dari Melan. Andika merasakan sosok pengganti Ibunya ada di diri Melan. Amran berusaha melepaskan pelukan Andika kepada Melan, tetapi anaknya semakin erat memeluk tubuh Melan. Amran terus membujuk anak kesayangannya.

“Ho iya nak, sebaiknya, mari kita mengantarkan Ibu Melan pulang!” ajak Arman kepada buah hatinya.

Amran berhasrat ingin mengantarkan Melan sampai rumahnya, tetapi keadaan yang memaksanya untuk menundanya. Amran, Andika, dan Melan berjalan menuju jalan raya. Letak jalan raya di depan rumah Amran. Melan berencana menggunakan jasa taksi untuk pulang. Setibanya di pinggir jalan raya, sebuah sepeda motor melaju kencang dan berusaha menabrak Melan.

“Awas, Melan! Teriak Amran sambil mendorong tubuh Melan dan pengendara sepeda motor melarikan diri.

Melan dan Andika terjatuh, Amran terpental dan jatuh, dia berusaha bangun namun tak kuasa berdiri, dia pingsan. Melan dan Andika jatuh berpelukan. Tampak darah segar keluar dari kepala Andika. Saat jatuh, kepala Andika membentur batu. Melan berteriak sekuat tenaga meminta pertolongan.

“Tolong, tolong, tolong …, tolong kami!” Melan terus menerus meneriakkan minta tolong sambil memeluk tubuh Andika.

Banyak orang berdatangan, baik sanak keluarga Amran maupun masyarakat sekitar. Berbondong-bondong mereka berusaha memberi pertolongan kepada Melan, Andika, dan Amran.

“Tolong, selamatkan kami, tolong Mas Amran, tolong anak yang tak berdosa ini!” teriak Melan sambil menangis meminta pertolongan kepada orang-orang di dekatnya.

Sebagian orang menggotong tubuh Amran yang tergeletak di jalan, sebagian lainnya memberhentikan mobil untuk membawa mereka ke rumah sakit. Pertolongan berjalan cepat, Melan, Andika, dan Amran tiba di rumah sakit. Mereka langsung diberikan pertolongan pertama di UGD. Dokter dan perawat berusaha menyelamatkan para korban.

Kecelakaan itu baru saja terjadi, Melan masih ingat betul bagaimana pengendara sepeda motor yang berusaha menabraknya Amran dan anaknya? Di unit gawat darurat, Melan sedih, dia mengunggu Amran dan anaknya di ruang tunggu, bersebelahan dengan tempat pertolongan kepada Andika oleh Dokter. Amran mendapatkan pertolongan dari Dokter. Dia pingsan, lukasnya cukup serius. Setelah beberapa jam, Amran sadar, dia melihat-lihat keadaan di sekelilingnya. Matanya menerawang jauh, mengingat kejadian yang dialami saat bersama Melan dan Andika. Sedangkan Andika mendapatkan pertolongan pada kepalanya. Beberapa jahitan menutup aliran darah yang keluar. Kepalanya diperban, dia sesekali menangis dan berteriak-teriak kesakitan. Melan mendekati Amran dan menenangkan agar Amran tidak bangun dari posisi tubuhnya.

“Mas, tolong tidak bangun dari posisimu!” pinta Melan kepada Amran seraya memegang bahu Amran. Amran pun mengikuti permintaan Melan kepadanya.

“Di mana, Andika?” sesekali Amran memegangi kepalanya. Dia masih merasakan sakit di kepala dan rasa nyeri juga perih dari luka di tangan dan kakinya.

“Andika masih dalam penangan Dokter, Mas!” jawab Melan, memegangi baju Amran dan merapihkannya.

“Bagaimana keadaan anakku?” matanya memandangi Melan dengan harapan agar anaknya tidak mengalami luka serius.

“Andika, mengalami luka di kepalanya, tapi saat ini, dia tampak sudah tenang!” Melan menatap mata Amran penuh meyakinkan.

Amran dan Andika berangsur-angsur mengalami perubahan, luka-luka mereka telah tertangani dan tidak perlu perawatan khusus di rumah sakit, Dokter mempersilahkan kepada mereka boleh pulang. Melan mengurus adminitrasi keperluan untuk kepulangan Amran dan Andika. Melan dan kerabat Amran mengantar pulang, kemudian Melan pun pulang ke rumahnya.

Melan bangun kesiangan, hampir subuh, dia tidur, dia bergegas mandi dan menyiapkan makanan untuk sarapan pagi Mamanya. Dia berubah dratis, kini menjelma sebagai perempuan tangguh dan cerdas, dia mampu menyikapi permasalahan hidup secara arif dan bijak. Makanan untuk sarapan pagi Mamanya, sudah tersaji dengan baik di meja makan.

“Melan, kenapa kamu pulang hingga larut malam, ada apa dengan pekerjaanmu?” tanya Ibu Astuti kepada anaknya yang sedang membereskan perabot dapur bekas pakainya.

“Tidak ada apa-apa, Ma!” membalikkan tubuhnya, Melan menjawab pertanyaan Mamanya lalu segera memegang kedua tangan Mamanya kemudian menciumnya.

“Nak, terus meneruslah memohon pertolongan dan perlindungan dari Allah SWT, dengan bimbingan dan petunjukknya, semoga kamu senantiasa mendapat rahmat-Nya!” Ibu Astuti mengingatkan lalu memeluk tubuh dan mengusap-usap kepala anaknya.

“Iya, Ma!” Melan menjawab nasehat dan memeluk erat tubuh Mamanya.

“Ma, segera sarapan pagi ya, lalu minum obatnya!” Melan mengajak dan mempersilahkan Mamanya untuk duduk di meja makan.

Melan dan Mamanya sarapan pagi, mereka gentian berbicara, suasana hangat hubungan Ibu dan anak terjalin baik. Setelah selesai, Melan melanjutkan pekerjaannya di ruang kerjanya. Dia membersihkan dan merapihkan peralatan kecantikan di salonnya. Ponselnya berdering, dilihatnya, nama Amran memanggil. Melan menerima panggilan Amran.

“Assalamulaikum, apa kabarmu mbak Melan, sebelumnya, aku ucapkan terima kasih atas bantuanmu semalam?” Amran mengawali pembicaraannya kepada Melan.

“Waalaikumsalam, keadaanku baik-baik Mas, sudahlah, tak perlu berterima kasih kepadaku, aku sudah sepatutnya melakukan hal tersebut kepada siapapun!” jawab Melan kepada Amran sambil merapihkan hijab di meja hiasnya.

“Aku kagum kepadamu Mbak, tanpamu, mungkin saja bahaya lebih besar akan menimpaku dan anak kesayanganku!” lanjut pembicaraan Amran kepada Melan.

“Sudahlah Mas, jangan berlebihan menilaiku, bagaimana keadaanmu dan Andika saat ini, Mas?” Melan balik bertanya kepada Amran.

“Aku sudah mulai membaik, demikian juga anakku, tetapi anakku sering memanggil namamu saat tidurnya, Mbak!” jawab Amran terdengar jelas di ponsel Melan.

“hm…hm…, syukurlah kalau sudah membaik lukamu, sebaiknya kamu beristirahat agar kesehatanmu segera pulih, Mas!” sahut Melan berusaha untuk tidak menanggapi keadaan Andika.

“Maaf Mas, aku harus ke dalam dahulu untuk mengurusi Mamaku!” lanjut pembicaraan Melan kepada Amran seraya mengalihkan pembicaraan yang disampaikan Amran kepadanya.

“Ho iya Mbak Melan, silahkan dan mohon maaf saya telah menggangu aktivitas pagimu!” Amran menjawab perkataan Melan dan segera memohon diri untuk menutup pembicaraan.

Pembicaraan Melan dan Amran melalui telepon telah selesai, Melan masih memegang ponselnya. Dia menatap wajahnya pada cermin. Ada sesuatu yang masih terbayang dan membekas atas kejadian bersama mereka semalam. Melan melanjutkan pekerjaannya. Tidak berselang lama, ada pelanggannya yang datang ke salonnya. Melan memberikan jasa kecantikan dan tata rias rambut kepada pelangannya. Dia berusaha bekerja maksimal melayani permintaan pelanggannya. Melan memiliki keterampilan mumpuni dalam tren tata rias dan rambut. Sehingga, banyak orang berkeinginan mendapat pelayanan tren kecantikan. Salonnya tidak pernah sepi pengunjung. Gadis muda maupun tua sampai antri di salonnya. Ketika hari mulai sore, datang dua orang pengunjung berikutnya. Dia Amran dan putranya. Andika turun dari mobil langsung berlari menuju salon milik Melan.

“Assalamulaikum, Ibu Melan, aku ingin bertemu!” suara Andika parau lagi tersengal-sengal mengucapkan salam penuh kangen kepada Melan.

“Waalaikumsalam, hei kamu Andika! bersama siapa kamu datang ke sini, bukankah kamu masih sakit, nak?” jawab Melan kepada Andika penuh keheranan.

“Aku bersama Ayah, Itu Ayah di mobil, Bu!” sahut Andika sambil memegangi kepalanya yang masih terbungkus perban.

“Ibu, aku kangen kepadamu, aku bahagia sekali, bila dekat dengan Ibu.” Kata-kata anak piatu penuh harapan dan kesedihan mendalam, air matanya pun membasahi kedua pipinya.

“Iya nak, Ibu mengerti perasaanmu, Ibu mendoakan agar kamu segera sembuh.” Melan menguatkan perasaan haru anak tak beribu seraya memegang kedua tanganya.

“Maaf Mbak Melan, tujuan kami sebenarnya pergi ke rumah sakit, jadwal kami melakukan perawatan atas luka kami.” Amran mendekati Melan dan Andika, dia menerangkan kenapa Andika bisa ada di salonnya.

“Anakku meminta untuk mampir ke salonmu Mbak Melan, dia rindu berat atas dirimu dan ingin bertemu!” kembali Amran meyakinkan kepada Melan.

“Iya tidak apa-apa, aku memahami perasaannya!” Melan menyahuti perkataan Amran, tangannya tidak henti mengelus bahu Andika.

“Mohon maaf nak, Ibu belum sempat menjengukmu setelah dari rumah sakit, Ibu banyak kedatangan pengunjung salon!” Melan memohon maaf kepada Andika, hatinya pun sedih dan terpukul melihat penderitaan berat anak laki-laki tak beribu di hadapannya. Melan

“Maukah Ibu mendampingi aku ke rumah sakit?” tanya Andika kepada Melan dengan rengekan khas anak kecilnya.

Hati melan jadi tak karuan, rasa iba dan sayang datang semakin memuncak, ingatannya kepada anaknya tiba-tiba hadir dalam benaknya. Keputusan pun dia ambil untuk mendampingi bocah tampan dan menggemaskan.

“Iya nak, Ibu akan mendampingimu ke rumah sakit!” jawab Melan meyakinkan Andika.

Spontan saja Andika berteriak bahagia, sosok Ibu yang diimpikan hadir di depannya dan mau mendampingi ke rumah sakit. Andika memeluk erat tubuh Melan. Melan merasakan getaran hati dan jantung Andika yang mendambakan sosok Ibu di dirinya. Melan bergegas merapihkan diri dan sedikit memoles wajahnya dengan make up. Melan tampil menjadi sosok ibu bagi Andika, perempuan cantik berkerudung ini telah menjadi idola anak semata wayang Amran. Setelah semuanya beres, Melan, Amran, dan Andika melangkah menuju mobil. Andika memegangi tangan Melan, suasana penuh haru dan kagum. Andika bahagia, pelipur laranya ada di sampingnya, memberikan kesembuhan dari sakit yang sedang diderita. Tiba di rumah sakit, Amran dan Andika mendapatkan perawatan oleh Dokter. Lukanya sudah mulai kering, menurut Dokter, dipastikan beberapa hari ke depan akan sembuh.

Selesai memeriksa dan mendapat perawatan Dokter, Andika mengajak Melan dan Ayahnya untuk makan malam di sebuah restoran favorit Andika. Melan menuruti kemauan anak tampan tersebut. Di restoran, Andika tampak lincah memesan tempat duduk untuk mereka. Selanjutnya, pelayan datang dengan daftar menu di tangan. Selang beberapa saat, makanan tersaji di meja, mereka langsung menyantap makanan, Andika makan lahap sekali. Amran dan Melan memperhatikan sikap anak piatu nan tampan lagi cerdas. Hati Melan bergetar kuat, ingatan akan anak kesayangan yang telah pergi bersama Ayahnya semakin menjadi dalam benaknya, ingin rasanya dia menangis kuat menyaksikan pemandangan di hadapannya. Melan semakin haru dan iba dengan Andika. Melan berusaha mengendalikan perasaannya, sikap dewasa dan keibuannya menjadi satu. Selesai makan, mereka tampak asyik membicarakan sesuatu, tetapi, tiba-tiba Andika mengucapkan kata-kata yang membuat hati Melan sontak berguncang hebat.

“Bu Melan, maukah Ibu menjadi pengganti Ibuku?” tanya Andika kepada Melan, Amran menjadi kikuk, pertanyaan Andika membuat dirinya kaget bukan kepalang. Matanya menatap Melan, mereka beradu tatapan mata.

“Mbak Melan, maaf …, maafkan perkataan anakku, dia belum memahami banyak hal, tolong maklumi dia!” sahut Amran kepada Melan agar tidak menghiraukan perkataan Andika.

“Bu Melan, maukah Ibu menjadi pengganti Ibuku?” Andika turun dari kursi dan menghampiri Melan lalu memegangi tangannya.

Melan dibuatnya menjadi bingung, perasaannya menjadi tak menentu. Amran juga tak enak hati kepada Melan, Dia mendekati Andika agar kembali ke tempatnya duduk. Amran memberikan nasehat kepada Andika, agar tidak mendesak Ibu Melan dengan pertanyaan seperti itu.

“Mbak Melan, mohon maaf sekali lagi, Andika belum memahami banyak hal, dia hanya larut dalam perasaannya, dia memang … tolong maklumi persaaannya, Mbak!” pinta Amran gugup kepada Melan.

“Sudahlah Andika, kamu kan masih punya Ayah, Ayah sayang sekali kepadamu, nak!” kata Amran kepada anaknya agar tidak mendesak Melan untuk menjawab pertanyaannya.

“Tidak apa-apa, Mas! aku memaklumi perasaan anakmu, anakmu mendambakan sosok ibu dalam kehidupannya.” sahut Melan kepada Amran.

“Andika, Ibu memaklumi pertanyaanmu kepada Ibu …, kapan saja kamu butuh Ibu, silahkan kamu hubungi Ibu, bisa lewat telpon atau datang ke rumah Ibu!” jawab Melan memberikan kesejukkan hati kepada Andika seraya melihat jam di tangannya.

“Terima kasih Ibu Melan, Ibu baik sekali kepadaku, Ibu tidak marah kan kepadaku?” kata-kata Andika yang polos kemabli terucap dari bibir mungilnya.

“Hari sudah malam, Mas Amran juga Andika, sebaiknya istirahat, biar luka-luka di tubuh kalian segera sembuh, mari kita pulang!” pinta Melan kepada keduanya seraya beranjak dari duduknya.

Amran lalu memanggil pelayan lalu membayar makanan yang telah mereka santap. Mereka lalu berjalan menuju ke tempat parker, tangan Andika tidak mau lepas dari tangan Melan. Dia sangat berbahagia malam ini, mereka pun pulang.

Bagaimana sikap Melan terhadap Andika dan Amran menunggu cerita ini, sampai jumpa!

Salam pengembangan karakter dan literasi.

Seno, Guru SDN 06 Kota Jakarta Utara.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post