Sevita Ridwan

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Dongeng Siwalan

Dongeng Siwalan

A. Kerajaan di Hulu Sungai Bengawan Solo

Dahulu kala, di hulu sungai Bengawan Solo, konon terdapat sebuah kerajaan kecil yang semula hanya merupakan tanah yang kering dan tandus, serta sering mengalami kekeringan di musim kemarau. Sebagian besar wilayah dari kerajaan ini berupa perbukitan dan gunung kapur. Rakyat kala itu hidup sangat prihatin dan menderita. Lalu bertahta-lah seorang raja yang telah lama dinanti-nanti. Dia sangat baik hati dan seorang cendekiawan. Ketika raja melihat keadaan kerajaannya sangat memprihatinkan, raja pun tidak tinggal diam. Segala daya upaya dilakukan untuk memperbaiki keadaan di kerajaannya.

Dengan kesabaran dan bahu-membahu dari keluarga istana dan seluruh rakyat akhirnya kerajaan kecil tadi berubah menjadi negeri yang makmur dan sejahtera. Rakyat tidak lagi merasa kekurangan, semua terasa sangat cukup meskipun tidak berlebih seperti di daerah lain yang memang lebih subur dari kerajaan itu. Raja yang arif dan bijaksana itu sangat dicintai oleh rakyatnya. Sang raja memang sangat amanah dalam menyejahterakan rakyatnya, sehingga seluruh rakyat hidup gemah ripah loh jinawi. Segala doa-doa baik dari rakyatnya selalu dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa untuk kesehatan, kemuliaan, dan kesejahteraan sang raja dan kerajaan yang dipimpinnya.

Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun, terjadilah sebuah musibah kekeringan yang justru lebih parah dari keadaan semula. Akibatnya banyak ternak kehausan dan kepanasan, juga semua sawah jadi kering dan tidak bisa ditanami lagi, serta hutan yang mulai terbakar dengan sendirinya. Raja sangat terpukul dan berduka mendalam atas ujian yang maha dahsyat dari Tuhan. Raja pun merasa perlu langsung berada di tengah-tengah rakyatnya dalam keadaan krisis seperti itu. Segala persediaan pangan dan obat-obatan di gudang kerajaan semuanya dikeluarkan untuk menolong rakyatnya. Permaisuri pun langsung berperan sebagai tenaga medis untuk mendampingi suaminya dalam menyelematkan rakyatnya.

Tiba-tiba seorang gadis desa dengan langkah gontai berlari menghampiri raja dan permaisuri. Dengan suara terisak-isak dia meminta pertolongan segera terhadap kakek dan neneknya yang tinggal di gubug di tengah hutan yang mulai terbakar. “Baginda raja dan permaisuri, ampuni hamba lancang meminta sesuatu pada yang mulia. Hamba tidak mampu menolong kakek dan nenek hamba yang sedang terjebak dalam amarah api yang merajalela di hutan tempat tinggal kami. Hamba hanya memiliki kakek dan nenek hamba di dunia ini, tolonglah hamba yang mulia.”, Rintih gadis desa itu. Raja pun merasa tidak perlu berpikir panjang untuk segera menerjang api demi menyelamatkan kakek dan nenek tadi. Alhasil, kakek dan nenek tadi berhasil diselamatkan oleh raja. Tetapi mata sang raja akhirnya menjadi buta akibat terkena letupan api yang merusak kornea matanya ketika menerjang api tadi.

Kakek dan nenek yang diselamatkan tadi merasa sangat berdosa kepada sang raja. Raja yang sangat baik itu telah buta hanya demi nyawa mereka. Akhirnya, kakek dan nenek tadi bersumpah bahwa selama hidup kakek, nenek, dan cucunya hanya untuk melayani dan membahagiakan raja. Permaisuri melihat keadaan raja yang buta sangat terpukul. Dia tidak bisa menerima takdir, dia mencoba melampiaskan amarahnya dengan menyalahkan kakek, nenek, dan cucunya tadi. Maka dari itu, sang permaisuri berniat menjatuhi hukuman mati pada kakek, nenek, dan cucunya tadi. Menyadari istrinya sedang khilaf, sang raja mencoba meredam amarah istrinya. “Sabar dan bertawakal-lah istriku. Semua yang terjadi dan berlaku pada diriku terjadi atas izin dan kehendak Nya”, Ujar sang raja pada permaisuri dengan penuh kelembutan. Meskipun masih berat hati, karena permaisuri adalah istri yang sangat taat pada suaminya akhirnya dia mengurungkan niatnya dan mencoba berbesar hati untuk memaafkan kakek, nenek, dan cucunya.

Langsung keesokan harinya, sungguh ajaib, hujan mulai turun membasahi kerajaan kecil itu. Seluruh rakyat bersuka cita. Musibah kekeringan telah berakhir, tanah-tanah yang kering mulai bisa ditanami kembali. Rakyat meyakini bahwa musibah kekeringan berakhir akibat raja telah mengorbankan penglihatannya dan mengajak sang permaisuri mengikhlaskan hal itu. Rakyat makin menyanjungnya.

B. Kemunculan Raden Semayuk

Waktu pun berjalan sangat cepat. Cucu kakek dan nenek tadi tumbuh menjadi wanita yang sangat anggun. Ya, gadis itu dikenal sebagai bunga desa dengan nama Dewi Sekar Arum. Banyak pria ingin mempersuntingnya, tapi kakek dan nenek selalu menolak semua pinangan mereka. Kakek dan nenek tadi telah bersumpah bahwa hidup mereka termasuk cucunya hanya untuk raja. Mengetahui hal itu sang raja menegur kakek dan nenek tadi untuk tidak melarang cucunya menikah. Tetapi kakek dan nenek tadi tidak mau melanggar sumpah yang telah dibuatnya. Sang raja mendiskusikan kejadian itu pada sang permaisuri. Akhirnya, tanpa diduga sang permaisuri memberi saran bahwa satu-satunya jalan, baginda raja yang harus mempersunting dan menikahinya agar kakek dan nenek tadi tidak melanggar sumpahnya dan cucunya juga bisa berkeluarga. Raja pun sangat bingung. Usia sang raja sudah tidak muda lagi dan dia juga dalam keadaan buta. Raja berkata pada sang permaisuri untuk melupakan hal yang baru saja didiskusikan tadi.

Tapi sang permaisuri tidak berpangku tangan. Sebagai seorang ibu milik rakyat di kerajaan itu, dia langsung datang menemui kakek dan nenek tadi untuk mengutarakan niatnya. Tak ayal lagi jantung kakek dan nenek tadi berdegup sangat kencang saking kaget dan tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Semuanya keluar dari mulut sang permaisuri sendiri bukan sang raja. Kakek dan nenek tadi terus berpesan pada cucunya bahwa meski telah diperistri raja, dia harus tau diri, dia harus selalu memuliakan dan menghormati sang raja dan permaisuri. Bukan tempatnya untuk adigang, adigung, adiguno. Hidupnya hanya untuk melayani tidak akan menuntut lebih dari itu.

Akhirnya, pernikahan itu pun terjadi. Putra sulung sang raja dan permaisuri yang sekian lama mengembara juga tidak ingin melewatkan peristiwa itu. Putra sulung sang raja yang bernama Raden Semayuk adalah pria muda yang sebaya dengan Dewi Sekar Arum, sebagai pria normal dia pun tidak mampu membuang rasa ketertarikan pada Dewi Sekar Arum yang sangat cantik itu. Ketika ritual pernikahan akan dimulai, Raden Semayuk menghentikan pernikahan sang raja dengan Dewi Sekar Arum. Raden Semayuk memohon pada raja dan permaisuri untuk menikahkan dia dengan Dewi Sekar Arum bukan ayahandanya. Seluruh tamu kaget dengan keinginan Raden Semayuk yang tiba-tiba. Terlebih ibundanya sang permaisuri sangat malu dengan sikap putra sulungnya tadi di depan umum. Sang raja mendudukkan putranya untuk meminta penjelasan atas niat dan tujuannya berkeinginan menikahi Dewi Sekar Arum. Baginda raja mencoba memahami keinginan dan suara hati putranya. Raden Semayuk berjanji pada ayahandanya untuk membahagiakan Dewi Sekar Arum dan melanjutkan pengembaraannya bersama-sama istrinya nanti.

Sang raja memanggil kakek dan nenek Dewi Sekar Arum untuk meminta pendapatnya, sekali lagi kakek dan nenek tadi tidak berani melanggar sumpahnya lagi, bahwa hidup mereka hanya untuk melayani raja. Mendengar kakek dan nenek tadi berat hati menerima dia sebagai menantunya, Raden Semayuk sangat tersinggung. Raden Semayuk berkata,”Apa pun yang aku mau akan aku dapatkan tidak ada yang bisa menghadang jalanku.” Lalu Raden Semayuk menghunuskan pedangnya di hadapan kakek dan nenek tadi tujuannya hanya untuk menakut-nakuti saja. Kakek dan nenek tadi tidak kuasa menahan amarah Raden Semayuk. Kakek dan nenek yang telah tua renta tadi terkena serangan jantung yang akhirnya merenggut nyawanya. Permaisuri makin kecewa dengan tabiat Raden Semayuk, dengan berat hati dia berkata bahwa bagi ibundanya, Raden Semayuk telah meninggal.

Akhirnya, sang raja membuat keputusan untuk menikahkan putra sulungnya dengan Dewi Sekar Arum, tapi setelah itu Raden Semayuk harus keluar dari kerajaan yang makmur tadi untuk memenuhi sumpahnya sendiri sanggup membahagiakan Dewi Sekar Arum dengan upayanya sendiri. Raja berpesan agar Raden Semayuk memenuhi sumpahnya, jangan sampai menyakiti dan menyia-nyiakan Dewi Sekar Arum. Sang raja hanya memberikan segenggam tanah merah dari kerajaannya untuk dibawa oleh Raden Semayuk dalam pengembaraannya. Sang raja hanya memberi petunjuk kepada Raden Semayuk untuk terus berjalan ke arah timur dari kerajaannya sampai dia nanti akan menjumpai tanah yang sama persis dan sewarna dengan tanah dari kerajaannya, maka di sanalah tempat pengembaraan Raden Semayuk berakhir. Kelak di sana Raden Semayuk harus mengabdikan dirinya seperti yang seharusnya dia abdikan pada kerajaannya sendiri, karena di sana-lah Raden Semayuk dan Dewi Sekar Arum harus menghabiskan sisa hidupnya sampai ajal menjemput.

C. Awal Pengembaraan Raden Semayuk dan Dewi Sekar Arum

Perjalanan yang sangat panjang telah dimulai. Di tengah perjalanan, banyak aral-melintang yang mencoba menghentikan perjalanan sampai tujuan. Ketika bertemu dengan segerombolan perampok yang mencoba menawan istrinya, Raden Semayuk bertarung bagaikan pendekar yang sedang mempertahankan kehormatannya meski nyawa jadi taruhannya. Satu per satu anggota perampok tadi bergeletakan terkena sabetan pedang Raden Semayuk. Akhirnya, Dewi Sekar Arum selamat dan mereka melanjutkan perjalanannya kembali.

Rintangan berikutnya menghadang, ada anak kecil yang memanggilnya dengan panggilan romo dan biyung. Rupanya anak itu tinggal di rumah sendiri yang mungkin orang tuanya telah pergi dan belum pulang kembali. Raden Semayuk dan Dewi Sekar Arum memutuskan untuk bermalam di rumah anak tadi. Tetapi Raden Semayuk ingat pesan dari ayahnya, lalu dia berjalan ke luar rumah untuk mencocokkan jenis dan warna tanah di sekitar rumah tadi, Raden Semayuk mengamati bahwa itu adalah tanah yang berbeda, berarti di tempat ini bukanlah tujuan akhir dari pengembaraannya. Anak kecil tadi sangat manja pada Dewi Sekar Arum, dan Dewi Sekar Arum sangat menyayanginya. Melihat kebahagiaan istrinya, Raden Semayuk masih sangat berat untuk mengutarakan niatnya pada istrinya bahwa mereka harus melanjutkan perjalanan. Raden Semayuk tidak hilang akal, dia mencoba mencari tahu tentang keberadaan orang tua anak tadi dari masyarakat di sekitarnya. Rupanya perkampungan penduduk masih sangat jauh dari rumah anak tadi. Raden Semayuk menyapa orang-orang di sana dan mulai bertanya tentang anak kecil yang tinggal di rumah sendiri, lalu siapa dan dimana orang tuanya. Penduduk desa hanya diam dan saling memandang. Raden Semayuk menjelaskan kembali dengan isyarat tangan arah tempat tinggal anak tadi. Akhirnya bapak tetua di masayarakat itu mulai angkat bicara,“Nak, di sana tidak pernah ditinggali orang, karena sudah beratus-ratus tahun kami ada pantangan untuk masuk ke hutan yang angker itu. Jadi, tidak mungkin ada anak kecil berani tinggal sendirian di sana. Terlebih kami saja melangkahkan kaki ke area hutan tadi tidak berani. Karena memang di sana adalah kerajaan dari bangsa jin.” Lalu bapak tetua tadi memberikan bacaan doa kepada Raden Semayuk supaya matanya bisa melihat yang sebenarnya sehingga tidak tertutupi oleh halusinasi dari bangsa jin. Raden Semayuk mulai khawatir dengan istrinya yang tinggal bersama anak itu di tengah hutan yang angker. Setiba di depan rumah anak itu, Raden Semayuk membacakan doa dari bapak tetua tadi, tiba-tiba rumah tadi menghilang, yang tampak adalah hutan lebat yang menyeramkan dan tidak ada pelita sama sekali. Raden Semayuk memanggil istrinya, rupanya dia sedang tidur pulas di atas batu sambil memeluk seekor ular yang sangat berbisa. Pelan-pelan, Raden Semayuk membangunkan istrinya. Istrinya menyuruh suaminya tidur di sampingnya sambil menemani anak itu. Dengan lembut, Raden Semayuk meminta istrinya membaca doa yang sama seperti yang telah dia baca. Betapa kaget dan takutnya Dewi Sekar Arum melihat yang dipeluknya adalah seekor ular. Lalu ular tadi pun mengetahui bahwa Raden Semayuk dan Dewi Sekar Arum bisa melihat kenyataan yang sebenarnya. Lalu ular tadi berubah bertambah makin besar dan panjang, lalu badannya mengelilingi Raden Semayuk dan Dewi Sekar Arum supaya tidak meninggalkan tempat itu. Ular itu pun mendesis kencang dan berkata, “Di sini lah tempat kalian, di kerajaan ku lah kalian harus mengabdikan diri kalian seumur hidup kalian. Kerajaanku harus sesejahtera kerajaan ayahandamu, kalian tidak akan bisa pergi dari sini.” Lalu Raden Semayuk dan Dewi Sekar Arum mencoba diam seperti patung dan tidak ada perlawanan sedikit pun. Akhirnya, ular tadi membuka lilitannya dan berubah mengecil kembali, ketika ular tadi lengah Raden Semayuk langsung menghunjamkan kerisnya pada kepala ular tadi, lalu ular tadi pun menghilang dari pandangan. Kemudian Raden Semayuk dan Dewi Sekar Arum melanjutkan perjalanannya.

D. Pertemuan dengan Seekor Ikan Besar

Suara gemuruh air begitu dahsyatnya. Rupanya mereka berada di aliran sungai Bengawan Solo yang mengalir dengan derasnya. Raden Semayuk mempunyai ide untuk membuat rakit yang digunakan untuk melanjutkan perjalanannya ke arah timur. Dengan sabar dan telaten, Dewi Sekar Arum mendampingi Raden Semayuk membuat rakit. Dewi Sekar Arum menangkap ikan besar di aliran sungai untuk dibakar sebagai makan siang mereka. Rupanya itu bukan ikan biasa, dia bisa berbicara. Dewi Sekar Arum urung melanjutkan niatnya memasak. Ikan tadi berkata, “Aliran sungai ini sangat deras, akan sangat berbahaya menggunakan rakit di sini tanpa pemandu, tapi aku akan membantu kalian nak. Kalian hanya boleh melihatku sebagai pemandu ketika mengarungi sungai Bengawan Solo ini. Ingat, jangan pernah mengalihkan pandangan ke kanan, ke kiri, atau pun ke belakang. Jika kalian melanggarnya, maka selamanya tujuan kalian menemukan tanah rantau yang serupa dengan kerajaanmu tidak akan pernah tercapai.”

Raden Semayuk dan Dewi Sekar Arum saling menatap dan bergandengan tangan. Apakah harus percaya dengan seekor ikan tadi atau ikan tadi hanya akan mengelabuhi niat mereka menuju tempat yang dimaksud. Dewi Sekar Arum lalu menaburkan sesuatu ke dalam sungai. Rupanya ikan-ikan kecil saling berebut memakannya. Ternyata Dewi Sekar Arum bersedekah makanan pada ikan-ikan kecil tadi. Hal itu diyakini oleh Dewi Sekar Arum akan mampu menolak balak dan bahaya yang mungkin akan ditemui. Perbuatan itu merupakan ajaran dari kakek neneknya. Lalu Raden Semayuk pun berdoa dan juga meminta ampun dan restu pada ayahanda dan ibundanya, juga kakek nenek Dewi Sekar Arum. Setelah merasa siap, mereka pun setuju untuk mengikuti petunjuk dari ikan besar tadi.

Di tengah perjalanan, mereka melihat negeri di awan ibarat khayangan yang sangat indah. Karena ikan tadi hanya meminta tidak melihat ke kanan, ke kiri, dan ke belakang. Tapi tidak melarangnya melihat ke atas. Hampir saja, Dewi Sekar Arum merajuk pada Raden Semayuk untuk singgah di istana angin itu. Rona wajah bahagia Dewi Sekar Arum tidak bisa ditutupi melihat keindahan yang tidak pernah dilihatnya itu. Raden Semayuk langsung memeluk Dewi Sekar Arum sembari menutup matanya. Dewi Sekar Arum sadar akan tujuan awalnya, mungkin itu memang godaan yang akan menghancurkan tujuannya.

Di perjalanan berikutnya, Raden Semayuk mendengar suara ayahanda dan ibundanya memanggil dari arah belakang. Secara spontan, kepala Raden Semayuk langsung menoleh ke belakang. Untung terhadang oleh kepala Dewi Sekar Arum, ya..rasa sakit di kepala akibat berbenturan tadi yang menyebabkan Raden Semayuk sadar akan godaan itu karena ternyata Dewi Sekar Arum tidak mendengar suara itu. Rupanya, mereka lagi-lagi mampu lolos dari godaan yang menghadang.

E. Pengembaraan di Daerah Hilir Sungai Bengawan Solo

Akhirnya, ikan besar tadi menepi yang diikuti rakit Raden Semayuk dan Dewi Sekar Arum yang menepi. Ikan tadi berkata, “Di sini lah awal perjalanan darat kalian akan dimulai kembali untuk menemukan tanah rantau yang dituju. Semoga berhasil nak.” Ikan besar tadi langsung masuk berenang ke arus sungai Bengawan Solo sebelum sempat Raden Semayuk dan Dewi Sekar Arum mengucapkan terima kasih. Raden Semayuk dan Dewi Sekar Arum merasa heran telah berada di daerah mana, sepanjang kaki berjalan, yang ditemui masih hutan belukar. Rupanya mereka telah sampai pada hilir aliran sungai Bengawan Solo. Sampai akhirnya, Dewi Sekar Arum tidak kuat lagi berjalan sehingga mereka berhenti di sebuah tempat. Kini tempat pengembaraan Raden Semayuk bersama istrinya dikenal dengan nama Selodingin sebagai penanda tempat pemberhentian mereka yang pertama. Solo berarti pertama, sedangkan dingin berarti tempat pemberhentian. Ternyata di daerah tersebut telah dihuni beberapa orang penduduk yang masih sangat tertutup oleh pendatang. Untuk menghindari kesalahpahaman, Raden Semayuk menyamar sebagai seorang wanita dengan nama baru Ayu Sekar Kuning. Raden Semayuk atau Ayu Sekar Kuning dengan Dewi Sekar Arum ibarat dua orang saudari kembar. Mereka pun langsung membaur dengan masyarakat setempat dan selalu ringan tangan membantu apa saja yang penduduk perlukan. Kebaikan hati dan kecakapan dalam banyak hal yang Ayu Sekar Kuning miliki telah dikenal oleh masyarakat setempat. Sehingga apa pun hasil kebun yang penduduk miliki selalu dibagikan kepada Ayu Sekar Kuning dan Dewi Sekar Arum sebagai pendatang yang tidak mempunyai apa-apa.

F. Meninggalnya Dewi Sekar Arum

Kabut gelap pun menyelimuti kehidupan Raden Semayuk atau Ayu Sekar Kuning. Rupanya kondisi kesehatan Dewi Sekar Arum telah sangat menurun. Berbagai cara telah diupayakan oleh Ayu Sekar Kuning untuk menyelamatkan nyawa Dewi Sekar Arum, namun rupanya Tuhan lebih sayang pada Dewi Sekar Arum. Akhirnya, Dewi Sekar Arum pun meninggal di daerah itu sebelum Raden Semayuk mencapai tanah tujuannya. Betapa terpukulnya Raden Semayuk. Betapa menyesalnya Raden Semayuk. Andaikan dia tidak egois, pasti wanita yang dicintai dan dikaguminya bisa hidup lebih bahagia di istana ayahnya tanpa harus mengalami penderitaan sepanjang perjalanan bersama dirinya, dan mungkin saat ini Dewi Sekar Arum tidak perlu menjemput ajal dengan cara seperti ini. Dewi Sekar Arum menutup matanya untuk selama-lamanya dengan senyuman yang tersungging di wajahnya yang telah mulai dingin dan kaku. Masyarakat pun membantu Ayu Sekar Kuning memakamkan Dewi Sekar Arum. Hari-hari berikutnya dilalui Ayu Sekar Kuning dengan sangat berat. Hidupnya menjadi hampa tanpa kekuatan. Akhirnya, Raden Semayuk atau Ayu Sekar Kuning sadar untuk bangkit dari kesedihan sangat mendalam yang baru dialaminya. Agar kesedihan tidak berlarut-larut, Raden Semayuk memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya.

G. Akhir Pengembaraan Raden Semayuk di Tanah Rantau

Raden Semayuk tetap menyamar sebagai seorang wanita dalam perjalanannya. Tiba lah Raden Semayuk di suatu tempat yang benar-benar seperti petunjuk ayahnya, tanah di tempat itu sama persis dengan tanah di kerajaannya dan memiliki warna yang sama pula. Daerah di sekitarnya juga banyak bukit dan pegunungan kapur. Maka makin yakin lah Raden Semayuk bahwa di sini adalah tempat berakhirnya pengembaraan panjangnya untuk mengabdikan diri di daerah itu sebagai amanah dari sang raja yaitu ayahandanya sendiri. Nama tempat ini adalah Kebun Pomahan.

Raden Semayuk pun mulai membuka lahan untuk tempat tinggal dan aktivitasnya. Awalnya, tidak ada penduduk yang mau bertempat tinggal di tempat itu karena termasuk daerah yang kering dan tandus. Tapi dengan kerja keras Raden Semayuk untuk menyuburkan kembali lahan itu berdasarkan ilmu dari ayahandanya, akhirnya lahan yang kering dan tandus tadi mulai bisa ditanami. Raden Semayuk menanami lahan dengan tanaman-tanaman pangan yang produktif. Orang-orang pun berduyun-duyun menuju tempat itu. Dengan senang hati, Raden Semayuk mempersilakan mereka membuat ruamah-rumah kayu untuk keluarga mereka, dan memanfaatkan lahan secara bersama-sama. Suasana gotong-royong dan kekeluargaan sangat kental di tempat itu.

Rambut Raden Semayuk tampak beruban sangat cepat karena penderitaan psikis dan batin akibat meninggalnya Dewi Sekar Arum. Orang-orang melihatnya seperti nenek tua yang punya tenaga kuda. Karena orang-orang menganggap nenek tua tadi telah ditinggal mati suaminya, sehingga mereka semua memanggil Raden Semayuk dengan sebutan Mbok Rondo. Memang karena yang dipanggil Mbok Rondo pada dasarnya adalah lelaki sehingga ketika beraktivitas dia lebih sering memakai celana pendek ketika bekerja. Dalam bahasa setempat, celana pendek berarti suwal. Hal yang sangat tabu sebetulnya wanita memakai celana pendek bagi penduduk setempat. Menyadari hal itu Mbok Rondo selalu menutupi celana pendeknya dengan kain. Tapi orang-orang di sana makin bangga dengan Mbok Rondo yang selalu bekerja keras untuk memakmurkan tempat itu. Orang-orang memanggilnya dengan sebutan “Mbok Rondo Suwalan”.

Ada tanaman khas yang mulai dibudidayakan oleh Mbok Rondo Suwalan. Pohon itu sangat besar dan berbuah manis. Di dalam buahnya juga terdapat air yang menyegarkan. Orang-orang makin bersyukur dengan keberadaan Mbok Rondo Suwalan. Dengan kreativitasnya, akhirnya Mbok Rondo Suwalan mencoba mengolah air dari buah tadi bersama ibu-ibu yang lain, tercipta lah gula yang sangat bermanfaat bagi kehidupan mereka. Daunnya yang besar dimanfaatkan untuk atap rumah dan sebagai perkakas rumah tangga bahkan digunakan juga sebagai media penulisan naskah lontar bagi mereka.

Buahnya mirip dengan buah kolang-kaling yaitu berwarna putih bening dan dagingnya seperti rasa kelapa muda. Biji yang masih muda sangat lunak demikian juga batoknya. Sehingga sangat nikmat dimakan begitu saja atau pun sebagai campuran minuman segar. Daging buah yang tua, yang kekuningan dan berserat juga bisa dimasak terlebih dahulu. Cairan kuning dari buahnya dapat diolah menjadi selai dan jenis panganan lainnya. Pohonnya sejenis pohon palm yang menjulang tinggi kira-kira 15-30 meter. Pohonnya bisa hidup hingga umur seratus tahun, dan akan mulai berbuah ketika berumur 20 tahun.

Kabar kesejahteraan desa itu terdengar di desa-desa yang lain di sekitarnya. Mereka datang berduyun-duyun ke Mbok Rondo Suwalan untuk mendapatkan ilmu tentang cara menanam dan mengolah tanaman tadi. Mbok Rondo Suwalan dengan senang hati membagikan ilmunya kepada mereka. Kemudian tanaman itu makin berkembang karena dibudidayakan oleh penduduk di desa-desa sekitarnya.

H. Meninggalnya Raden Semayuk

Usia Mbok Rondo Suwalan makin senja. Kekuatan di badan tidak sebesar ketika masih muda. Tetapi dengan sisa-sisa kekuatan yang dimiliki, Mbok Rondo Suwalan mencoba tetap berjuang untuk memakmurkan tempat itu. Usia manusia pasti ada batasnya. Akhir pengabdian Raden Semayuk pun tiba. Mbok Rondo Suwalan telah melemah kondisinya dan hanya terbaring di ranjang tidurnya. Orang-orang datang berduyun-duyun untuk bergantian merawat Mbok Rondo Suwalan. Akhirnya, maut pun datang. Mbok Rondo Suwalan telah ikhlas dan siap jika nyawanya diambil oleh Sang Pencipta. Mbok Rondo Suwalan makin tidak kuat membuka matanya sampai akhirnya matanya tertutup untuk selama-lamanya. Nafasnya pun telah terhenti. Orang-orang pun histeris menangisi kepergian Mbok Rondo Suwalan. Tetapi betapa terkejutnya penduduk setempat setelah memandikan jenasah mengetahui bahwa Mbok Rondo Suwalan adalah seorang lelaki. Kemudian, orang-orang menganggap penyamaran Mbok Rondo Suwalan adalah tugas suci yang terjaga sampai akhir hayatnya hanya demi memakmurkan tempat itu dan sekitarnya.

Untuk menghormati jasa dan pengabdian Mbok Rondo Suwalan atau Raden Semayuk. Akhirnya, tempat itu diberi nama “Desa Siwalan” yang berasal dari kata “suwalan”. Kemudian pohon, buah, air, dan gula yang diperkenalkan dan dibudidayakan oleh Raden Semayuk diberi nama “pohon siwalan”, “buah siwalan”, “legen siwalan”, dan “gula merah siwalan”. Sampai saat ini, desa itu pun masih ada, kemudian pohon siwalan, buah siwalan, legen siwalan, dan gula merah siwalan menjadi ciri khas yang menjadi komoditi unggulan dari hasil pertanian masyarakat penduduk daerah pesisir pantai utara Gresik yang merupakan desa-desa di sekitar Desa Siwalan.

Desa Siwalan termasuk di dalam kecamatan Panceng di kabupaten Gresik yaitu sekitar 8 km ke selatan dari kantor kecamatan Panceng. Lokasi tepatnya, di sebelah utara berbatasan dengan desa Ketanen dan desa Pantenan, di sebelah selatan berbatasan dengan desa Sumurber, di sebelah timur berbatasan dengan desa Surowiti, dan di sebelah barat berbatasan dengan desa Banyubang.

Berdasarkan wawancara dengan beberapa narasumber tokoh masyarakat setempat dan narasi dikembangkan oleh Penulis untuk menyisipkan pesan-pesan moral bagi peserta didik (pembaca).

#Penulis: Sevita DH

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

dongeng yang luar biasa. bagus bangeeeet. Mempesona

26 Mar
Balas

Terima kasih oom, eh ngapunten maturswun pak lek

26 Mar

Keren mba tulisannya bersejarah banget,menginspirasikan, banyak pesan moral tersampaikan.

26 Mar
Balas

Terima kasih byk ut apresiasinya mb Dati,,

26 Mar



search

New Post