Sevita Ridwan

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
I'm Siti Azizah

I'm Siti Azizah

Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. — (QS.16:18), Al Quran.

“Cantik ya”…”Otaknya OK kagak low bro”…“Congrats Linda”…”Ini lah kebanggaan almamater kita”…”Hey, itu Linda sang penakluk”…”Wow, perfect bro”…”Wah, wah suit suit primadona kita lewat tuh ck, ck, ck, ehm, ehmm”…”Siapa ya, yang bisa dapatin Linda, itu baru namanya menang jack pot bro.” Yah begitulah kini aku makin terkubur dan telah mati suri. Suara-suara itu terus terngiang-ngiang memekakkan telingaku.

Kenapa semua itu bak mimpi di siang bolong aja buat ku, aku marah pada diriku sendiri, aku marah pada semua orang yang buatku begini, aku marah pada takdirku, aku tidak terima dengan semua ini, benar-benar menyakitkan. Ya Allah dimanakah Engkau? Kenapa Engkau biarkan semua ini berlaku pada diriku? Tampar terus aku, pukul terus aku, hempaskan aku sampai aku benar-benar tersungkur dan tidak bisa bangun lagi, jangan tanggung-tanggung, jangan buat aku sekarat, aku udah benar-benar mati rasa dengan hidup ini ya Allah.”

Dari jauh terdengar adzan shubuh, aku pun enggan beranjak dari tempat tidurku. Pikirku kenapa aku masih bernafas saat ini? Kenapa tidak ada yang mau mendengarku? Kenapa Tuhan juga terus-menerus mengabaikan keinginanku? Ku amati kamar kos ku yang ada di sekitar tempat pembuangan sampah, maklum aku cuman bisa bayar tempat kos yang sangat murah. Masih bagus nggak jadi gembel di jalanan. Ho..ho..ho..sang primadona semasa SMA seperti ini keadaannya sekarang. Mengenaskan dan memprihatinkan.

Aku udah lelah menangis. Aku nggak punya siapa-siapa. Aku cuman anak tunggal dari bokap yang akhirnya meninggal dunia setelah frustasi sebab semua usahanya bangkrut, hari-hari cuman dikejar utang dan terus sembunyi dalam ketakutan dari para debt collector dan para tukang pukulnya, juga aku ini adalah putri dari nyokap yang kini justru jadi pendamping hidup seorang bandar narkoba, mana udah tidak ingat lagi kalau masih punya anak gadis.

Aku benar-benar sendiri hidup di dunia ini. Boro-boro mikir kuliah. Ongkos hidup di kota aja udah mencekik leher, kok mau nambah ongkos kuliah. Ah…kepalaku udah pusing, aku mau ambil obat tidur, aku mau lanjutin tidurku dulu, biar aku nggak ingat semuanya, benar-benar bisa lepas beban hidup, aku mau hidup dalam mimpi-mimpi ketika aku masih jadi siswi di SMA favorit di kota Pahlawan ini. Aku nggak mau beranjak dari masa itu, aku ingin terus ada di masa itu. Ini adalah penolongku untuk bisa stay di sana, obat tidur ini.

“Miaow, miaow, miaow.” Suara kucing dari depan pintu kamar kosku membangunkanku dari tidur. Hah, obat tidurku kalah dengan suara kucing, hebat berarti nanti dosisnya musti kutambah nih. Aku coba buka pintu, wah mataku silau sekali lihat sinar matahari, perutku lapar, aku udah dipecat dari pabrik minggu lalu, ku lihat isi dompetku masih ada uang 100 ribu, lumayanlah bisa untuk menyambung hidup sebelum aku dapat kerjaan lagi. Namanya juga cuman lulusan SMA, kerja apa aja yang penting aku tidak jual diri.

Aku enggan mandi jadi cuman cuci muka, lalu aku pergi ke warung dekat tempat kos ku. “Mbak Narti, minta nasi bungkus 5000 an aja, lauknya terserah yang penting ada nasinya ya mbak”, mbak Narti tersenyum dengar ucapanku. Sebetulnya nasi bungkus di mbak Narti udah 8.000 an tapi kalau aku beli ya dilayani aja, sebab aku pake sambel sama timun aja juga uda bisa makan, mungkin mbak Narti juga kasian lihat aku, maklum dia udah jadi janda muda di usianya yang masih 23 tahun dan harus bertahan hidup seorang diri juga di kota Surabaya ini.

Ketika bokap masih hidup aku memang sangat dimanjakan, jadi aku nggak tau gimana caranya masak, bokap cuman support aku jadi yang terbaik di sekolah-sekolah favorit. Aku malu menghubungi teman-temanku semasa SMA dulu. Aku malu jumpa guru-guruku dulu. Aku malu ketemu masa laluku. Mereka semua tidak ada yang tahu keadaanku sekarang. Ketika pengumuman kelulusan, aku udah bilang ke semua orang kalau mau lanjut studi di Australi. Waktu itu memang bokap udah janji. Ya memang benar bokap udah upayakan semua itu. Bokap udah datangi semua expo untuk info program studi ke luar negeri.

Bokap memang ingin aku benar-benar jadi orang istimewa. Tapi sebelum semua itu terlaksana, kawan bisnis bokap yang menusuk bokap dari belakang, dia menggunting dalam lipatan, dia kelabui bokapku, sampai bokap tertipu puluhan milyar. Bokap tidak bisa berkutik, semua pemakaian dana itu pake tanda tangan bokap. Bokap cuman percaya aja dengan kawan bisnisnya, yang tiba-tiba raib ketika bokap dikejar-kejar para debt collector dengan para tukang pukulnya.

Lalu bokap ajak aku tinggal di perkampungan kumuh untuk sembunyi, semua harta benda yang tersisa dijual murah, yang terpenting kita tidak dikenali lagi. Tapi memang bokap tidak terbiasa melarat, Hari-harinya makin buat rasa frustasinya menjadi-jadi. Bokap sakit komplikasi nggak karuan, kata dokter puskesmas akibat bokap mikir kenceng. Untung bokap tidak gila. Mungkin bokap masih nggak tega dengan aku, makanya sebisa mungkin dia berusaha tetap waras menemaniku di rumah kumuh di pinggiran kota. Sampai akhirnya nyawa bokap tidak bisa tertolong lagi.

Ibuku udah pacaran dengan bandar narkoba yang bisa beri dia kemewahan seperti semasa bokap masih jaya. Nyokap udah hampir setahun meninggalkan bokap dan aku demi pacarnya. Mungkin itu juga yang menambah beban pikiran bokap sampai tidak kuat lagi bertahan hidup. Bokap berpesan aku tidak boleh menghubungi keluarga yang lain jika dia meninggal. Bokap malu dengan keadaannya, ekonominya, juga istrinya. Bokap mau aku simpan rapat-rapat keberadaan kita. Biarlah semua orang menganggap kita hilang ditelan bumi atau mungkin udah hijrah ke luar negeri.

Waktu itu cuman tetangga sekitar rumah kumuh itu yang membantu pemakaman bokap. Lalu aku jual rumah petak itu untuk pindah ke kamar kos yang jauh lebih murah. Paling nggak aku masih punya uang saku peninggalan bokap dari hasil penjualan rumah petak tadi. “Nyokap”..udahlah aku nggak mau bahas nyokapku, dia udah nikah atau cuman pacaran aja dengan bandar narkoba itu aku udah nggak mau tau. Aku cuman mikir hidupku sendiri.

Aku terus terbayang-bayang gimana bokapku muntah-muntah darah di pelukanku di detik-detik terakhir hidupnya. Bokap memang perlu perawatan medis khusus saat itu, tapi udah lah aku benci mengingatnya, Tuhan memang tidak adil. Aku benar-benar marah. Aku mau akhiri hidupku saat itu juga, tapi aku masih belum cukup keberanian untuk itu. Aku udah tidak percaya lagi didikan agama yang pernah aku dapat, semua nggak ada gunanya. Aku tidak mau lagi sholat, kenapa capek-capek sholat kalau semua tidak punya hati. Aku berdoa juga tetap tidak ada yang mendengar, buktinya aku dibiarkan menderita sendiri seperti ini.

Rasa sakit hatiku terhadap takdir yang aku terima teramat sangat dalam. Tuhan telah merenggut semua kebahagiaanku dalam sekejap. Benar-benar kejam. Ayo, semua salahkan aku! Kalian bisa bicara manis sebab tidak tahu apa yang ku alami dan rasakan dalam hidup yang keras ini. Aku masih shock, tapi terus saja diterpa badai, kenapa tidak bunuh aku sekalian jangan setengah-setengah menyiksaku. Aku tidak akan melawan, ayo bunuh aku! Aku makin geram dengan keadaan ini.

Aku masih pegang pesan almarhum bokap kalau aku tidak boleh dikenali sebagai Linda putri dari pengusaha bpk. Frans. Maka dari itu, ku ganti namaku sekarang sebagai Siti, ya aku cocok-cocokkan dengan nama-nama tetanggaku di sini. Aku tidak bisa melamar pekerjaan yang meminta kertas ijazah SMA ku, sebab nanti pasti masih ada yang bisa mengenali bpk. Frans, ya namanya juga masih dalam satu kota.

Aku kemarin dipecat dari pabrik sebab diminta melampirkan foto copy ijazah, aku menolak sebab dulu katanya nggak perlu kenapa sekarang diminta, kata personalianya ada penataan ulang administrasi, jadi musti ikuti prosedur. Aku kekeh tidak memberikan, langsung kena SP, aku dipecat dah. Udah sebatang kara, pangangguran lagi, benar-benar lengkap predikatku sekarang.

Tiba-tiba terbesit di pikiranku untuk pergi ke rumah mbak Narti. Siapa tahu mbak Narti bisa beri aku pekerjaan. Tanpa berpikir panjang, malam itu aku langsung datangi rumah mbak Narti. Aku beranikan diri untuk bertanya apa aku bisa bantu-bantu di warungnya, tapi aku bilang kalau aku tidak bisa masak, jadi aku bantu-bantu yang lain. Mbak Narti bingung dengan permintaanku, dia ajak aku lihat ke dalam rumahnya yang nggak jauh beda dengan kamar kos ku. Mbak Narti beritahu aku kalau dia juga miskin, hasil jualannya cuman cukup untuk menyambung hidup, gimana bisa dia kasih bayaran aku.

Aku terdiam, aku tidak tahu lagi harus gimana. Isi dompetku tinggal 95.000 rupiah. Untuk bayar kos bulan depan udah tidak bisa lagi. Aku cuman punya kalung emas sisa hasil penjualan rumah petak dulu. Kalung emas ini nyawa terakhir yang nggak mungkin aku apa-apakan, sebab aku tidak punya siapa-siapa. Jadi uang 95.000 rupiah ini aja tumpuanku bertahan hidup. Buat makan besok sekali sehari aja 5.000, makin habis dah uangku.

Lalu kuberanikan diri bilang,”Mbak, aku bantu nyuci piring, bersih-bersih warung, melayani pembeli juga bisa, nggak usah dibayar duit cukup dibolehkan tidur di lantai rumah mbak Narti dan diberi makan sekali sehari aja uda bisa terima kok mbak. Gimana mbak, boleh ya mbak, boleh ya mbak”, sambil aku terus memohon. Mbak Narti menangis terharu lalu dia mengelus kepalaku tanpa berkata-kata. Ya Allah, semasa aku masih anak-anak dulu nyokapku juga sering mengelus kepalaku jika aku menggodanya dengan kejahilanku.

Tidak pernah juga nyokap menyakiti tubuhku jika dia marah, mungkin takut sama bokap yang jadikan aku putri kesayangan keluarga yang tidak boleh disakiti meski cuman dicubit. Lalu suara lirih terdengar dari mulut mbak Narti,”Dik Siti, saya di sini juga tidak punya siapa-siapa, saya justru orang rantau, keluarga saya ada di Lombok, kita udah lama terputus komunikasi sebab saya udah lama kehilangan jejak mereka.”

Mbak Narti menunjukkan foto keluarganya yang terpajang di dinding,” Itu suami saya dik udah delapan tahun meninggal dunia ketika kerja di proyek, ya mengalami kecelakaan kerja, saya memang nikah muda ketika umur masih 15 tahun, anak mbak cuman satu tapi udah meninggal terkena leukemia tahun lalu. Rahim saya juga udah di angkat dua tahun lalu ketika divonis dokter terkena kanker rahim stadium lanjut. Dik Siti juga bisa lihat fisik saya, orang menyebutnya cebol, jadi ini memang keadaan yang harus saya terima.

Alhamdulillah almarhum suami saya bisa menerima saya sebagai istrinya. Itu udah anugrah Allah buat saya. Saya nggak berpikir mencari pengganti almarhum. Jadi saya jualan di warung untuk menyambung hidup sebab saya berkewajiban menjaga kehormatan almarhum suami saya.” Aku turut terharu dengan yang di alami mbak Narti, malah mbak Narti dan keluarganya tidak pernah tau gimana hidup enak itu, meski aku sekarang terlunta-lunta tapi aku masih pernah tau gimana rasanya hidup enak.

Tapi aku masih penasaran dengan jawaban mbak Narti. “Lalu mbak, gimana apa diizinkan”, Suaraku terus memohon. Kemudian mbak Narti menganggukkan kepala. Aku lompat kegirangan,”Makasih ya mbak Narti, mulai besok aku kerja dan tinggal di sini ya mbak..ya..ya..ya..YESS.” Mbak Narti cuman tersenyum melihat expresiku dan menganggukkan kepala. Kemudian aku pulang menuju kamar kos ku. Aku bereskan semua barang-barangku. Besok aku akan pindahan ke rumah mbak Narti. Setelah kelelahan, tiba-tiba kantuk menyerang. “Hah…hari ini aku tidak perlu minum obat tidur.” Lalu aku pergi tidur.

Nggak tau kenapa aku bisa terbangun shubuh-shubuh buta, pikirku mbak Narti pasti sibuk-sibuknya di dapur menyiapkan masakan jualannya untuk di warung. Aku pun bergegas dengan barang-barang bawaanku ke rumah mbak Narti. “Mbak, mbak, mbak…tolong buka pintu mbak, ini aku Siti.” Dari dalam mbak Narti menyahut,”Assalamu’alaikum dik, silahkan masuk.”

Dalam hatiku berkata,”Wah, kayaknya terbalik tuh, mustinya aku tadi yang bilang assalamu’alaikum, kenapa malah yang empunya rumah, walah nggak ngurusi…gitu aja repot.” Pintu pun terbuka, aku langsung masuk ke dalam rumah. “Aku bantu apa mbak?” Sayup-sayup terdengar suara adzan shubuh. Lalu mbak Narti bergegas ke kamar mandi, rupanya dia ambil air wudlu,”Ayo dik Siti kita sholat berjamaah dulu.” Kujawab,”Sedang berhalangan mbak.” Padahal aku tidak sedang kedatangan tamu bulanan, tapi aku udah tidak semangat lagi untuk sholat. “Oh maaf, kalau gitu saya sholat dulu ya”, sahutnya.

Aku tunggu mbak Narti selesai sholat,”Wah, kenapa lama banget sholatnya.” Aku penasaran, aku intip mbak Narti dari tirai pintu yang terbuat dari kain bekas banner kampanye caleg tahun lalu. Hah, mbak Narti masih berdoa, lalu kulihat dia ambil buku kecil…ah rupanya Al Quran, masih mau ngaji lagi, maklumlah dia kan udah nggak punya cita-cita, jadi cuman cari bekal banyak-banyak buat di akherat nanti, pikirku. Terus kapan masaknya, padahal jam enam nanti warungnya udah ramai pembeli.

Aku bergegas pergi ke dapur, alamak udah matang semua, apa nggak tidur tuh mbak Narti. Ya tugasku kan bersih-bersih, aku mau cuci piring dan alat-alat penggorengan pasti banyak yang kotor. Alamak udah bersih semua. Bukannya mbak Narti posturnya kecil begitu, kenapa tenaganya dan tangannya super begini. Lalu mbak Narti menghampiriku di dapur,”Sarapan dulu dik Siti.”

Pikirku, aku kan belum kerja malu donk dapat makan lebih dulu, kujawab,”Nanti aja mbak, tadi sebelum ke sini aku udah makan dulu sebab kan mau kerja jadi biar ada tenaga gitu,he” Lalu mbak Narti tersenyum,”Ya udah kalau gitu, nanti kalau mau makan jangan sungkan-sungkan ya dik Siti. Anggap saya ini sodara dik Siti sendiri.” Kemudian mbak Narti mengambil masakan-masakan dari dapur untuk ditata di warungnya. Aku langsung tanggap untuk bantu membawakan meski tidak disuruh. Ya kerja…kerja…kerja…kerja di warung mbak Narti.

Hari pertamaku tinggal di rumah mbak Narti terasa begitu berbeda dari hari-hariku sebelumnya. Rupanya mbak Narti udah bersihkan ruangan tempat menyimpan barang-barangnya yang tidak terpakai alias gudang menjadi kamar yang nyaman untuk ditempati. Itulah kamar baruku, mbak Narti udah beri tikar di atas lantai itu sebagai alas tidurku. Sama, mbak Narti juga tidur beralaskan tikar di kamarnya. Hari ini cukup lumayan pembelinya.

Aku tanya,”Hari-hari selalu ramai begini ya mbak.” “Nggak selalu dik, namanya warung juga banyak, dimana-mana ada, orang juga nggak selalu beli masakan kan lebih hemat masak sendiri, kalau pas sepi ya saya merugi dik, ini resiko jual masakan matang, nggak bisa dijual lagi.” Aku mulai memutar otak, gimana caranya jualan mbak Narti nggak merugi. Aku bukan penggoda, jadi aku nggak mau cuman jadi pemanis warung mbak Narti supaya laku. “Ide apa ya”,

Aku terus memikirkan cara melariskan jualan mbak Narti. Aku belum dapat ide cemerlang, lalu aku terpikir untuk menjual nasi bungkus mbak Narti ke pabrik bekas tempat kerjaku dulu, di sana kan ratusan karyawannya. Warung di sekitar pabrik kadang kewalahan ketika jam makan siang.

Andai aku jual nasi bungkus di luar pabrik kemungkinan laku pasti besar, sebab selain OK masakannya, dan terjangkau harganya, juga karyawan-karyawan pabrik pasti nggak perlu antri untuk bisa makan siang. Terlebih aku kan pernah jadi bagian dari mereka, pastinya dari mereka ada yang masih kenal aku. Lumayan kan kalau mbak Narti tidak merugi, paling nggak aku tidak jadi parasit buat hidup mbak Narti.

Dengan adanya aku di sini, paling nggak ada hal menguntungkan juga buat mbak Narti. Maklum lah, itu memang mental tempaan bokap semasa aku masih sekolah. Bokap jadi orang juga tegar dan kuat, pantang buat bokap menengadahkan tangan dan minta dikasihani orang. Meski kebangkrutan dan kemiskinan menerpa keluarga kita, bokap justru menghindar dari keluarga besarnya yang selama ini justru lebih banyak ditopang ekonominya oleh bokap.

Bokap merasa tidak patut kita menghitung-hitung apa yang udah kita kasih ke orang. Selama kita masih punya sisa-sisa kemampuan untuk bertahan hidup, ya kita musti berdiri di atas kaki sendiri, apapun ikhtiarnya, lebih baik begitu daripada jadi parasit ato pengemis dalam kehidupan orang lain. Itu juga yang membuat aku masih punya rasa malu jika harus menerima sesuatu dari orang lain tanpa aku harus mengeluarkan jerih payahku terlebih dahulu.

Aku utarakan keinginanku untuk menjual nasi bungkus mbak Narti ke pabrik bekas tempat kerjaku dulu. Aku jelaskan alasanku berjualan ke sana. Lalu mbak Narti terdiam sejenak, dan kemudian menganggukkan kepala. “Kalau gitu, saya siapkan juga masakan baru untuk makan siang karyawan-karyawan pabrik nanti. Nggak apa-apa daripada masakan pagi buat siang, nanti mereka malah tidak merasakan nikmat padahal kan perlu energi cukup untuk kerja berat di pabrik.” Namanya juga aku nggak bisa masak, jadi aku nggak bisa membedakan mana masakan baru atau lama, yang penting kan makan, walah baru ngerti aku.

Hari kedua di rumah mbak Narti, aku mulai bersiap membawa jualan nasi bungkus ke lingkungan pabrik. Tiap waktu sholat mbak Narti selalu ajak aku berjamaah, tapi aku tetap jawab kalau sedang berhalangan. Hmm lumayan lah semua jualan selalu diserbu karyawan-karyawan pabrik. Buat aku makin semangat jualan. Sampai hari ke-tujuh ada di rumah mbak Narti, aku sungkan selalu menjawab sedang berhalangan.

Lalu terpaksa aku ambil mukenaku yang udah lama nggak pernak kupakai semenjak bokap meninggal. Aku turuti aja permintaan mbak Narti untuk sholat berjamaah. Sebetulnya aku separuh hati sih untuk mulai sholat lagi, aku cuman merasa terpaksa aja sebab tinggal di rumah mbak Narti. Nggak tahu kenapa sejak rakaat pertama sholat berjamaah dengan mbak Narti, dadaku berdetak kencang, aku seperti orang yang gugup akan bertemu pejabat, perasaan itu tidak bisa aku kendalikan sampai selesai salam.

Nggak tahu kenapa juga, tiba-tiba melintas bayangan almarhum bokap tersenyum kepadaku. Air mataku pun nggak mampu kubendung lagi. Aku rindu sama bokap, udah lama aku tidak mimpi ketemu bokap. Selama ini bokap tidak mau hadir di mimpiku, apa sebab aku udah tidak pernah sholat lagi, boro-boro mendoakan almarhum, padahal aku kan anak satu-satunya.

Siapa lagi yang mendoakan bokap di alam kubur, nyokap mungkin juga nggak tahu kalau bokap udah meninggal, dan nggak mungkin lagi nyokap masih ingat untuk mendoakan bokap. Air mataku pun makin menjadi-jadi. Mbak Narti mengambilkan saputangan untukku. Dia coba ambil beberapa hadist Rasulullah untuk menenangkanku.

Barangsiapa mengutamakan kecintaan Allah atas kecintaan manusia maka Allah akan melindunginya dari beban gangguan manusia. — (HR. Ad-Dailami), Hadist. Apabila hamba itu meninggalkan berdoa kepada kedua orang tuanya, niscaya terputuslah rezeki daripadanya. — (HR. Al-Hakim dan ad-Dailami), Hadist.

Lalu dia memintaku membaca Al Quran setiap hari meski cuman satu lembar. Mbak Narti mengingatkanku untuk terus mendoakan almarhum bokap, salah satu amalan yang tidak akan terputus pada saat telah meninggal dunia adalah doa anak yang sholeh. Hari itu benar-benar aku melihat ada setitik cahaya terang dalam hidupku yang terasa semakin suram.

Nggak seperti biasanya mbak Narti tidak sibuk di dapur, cuman masak seperlunya saja. Dia seperti orang yang bergegas sebab udah ada janji dengan orang. Ya kayak orang kantoran yang dikejar check-lock. Ada-ada aja sih mbak Narti ini, padahal hari Minggu terkadang warung kan ramai-ramainya malah tutup nggak jualan. Katanya nggak punya siapa-siapa di sini. Rasa ragu ku menyerang dan rasa simpatiku mulai memudar. “Namanya juga janda, mana mungkin kuat tidak punya teman lelaki, kan udah pernah menikah, pasti ini sedang janjian dengan pacar gelapnya, katanya mau menjaga kehormatan almarhum suaminya, mana buktinya, cuman omdo.” Aku pun penasaran, setelah dia pamit pergi.

Aku kunci rumah mbak Narti dan aku ikuti terus kemana mbak Narti pergi, meski harus oper-oper angkot, aku bela-belain ngikuti dia dengan uangku yang terbatas. Rupanya dia berhenti di sebuah kampus kecil. “Mau apa dia ke sini? Pacarnya mahasiswa sini ya?”, Aku terus mencari jawaban itu. Aku lihat dari kejauhan dia masuk ke dalam kelas. Aku pun mendekat ke ruang kelas tadi, aku lihat mbak Narti sedang konsen mengikuti kuliah. “Gila, rupanya dia jadi mahasiswi di kampus ini. Wow, ternyata dia masih punya cita-cita. Kenapa dia nggak pernah ceritakan hal ini kepadaku. Hebat benar mbak Narti ini”, Aku jadi malu sendiri telah berburuk sangka terhadap mbak Narti.

Aku pun pulang terlebih dahulu naik angkot. Kuatir mbak Narti mengetahui kalau aku udah mengikutinya sampai kampus. Bergegas aku masuk rumah. Lalu aku ingat kalau belum sholat dhuhur, aku wudlu dan sholat sendiri, aku tau kalau aku harus mendoakan almarhum bokap juga berdoa memohon kebaikan dalam hidupku sekarang ini, aku juga mendoakan kebahagiaan mbak Narti. Mendoakan nyokap, nanti dulu, itu perkara berbeda, aku masih malas menyebut nyokap meski cuman dalam doa.

Kemudian aku berebahan tidur menunggu mbak Narti pulang dari kampus. Ashar aku terbangun, lalu aku mandi dan sholat. Ternyata mbak Narti belum pulang dari kampusnya. Tiba-tiba aku dengar sapaan salam dari luar,”Assalamu’allaikum.” Oh rupanya mbak Narti udah sampai rumah.”Wa’alaikumsalam”, jawabku dari dalam. Lalu aku bukakan kunci pintu rumahnya. “Dik Siti udah makan belum”, tanyanya. Oh iya aku kan belum sempat makan dari tadi,”Maaf belum mbak, tadi aku ngantuk banget, jadi kubuat tiduran aja.” “Ya udah yuk kita makan bareng sekarang. Alhamdulillah ini rizki Allah hingga kita bisa makan seperti ini”, jelasnya. “Iya mbak, Alhamdulillah”, sahutku.

Mbak Narti mengeluarkan bungkusan dari dalam tasnya. “Apa itu mbak?” “Ini buku-buku Islami dik Siti, sengaja saya pinjam dari perpustakaan agar bisa buat bacaan untuk saya juga dik Siti, kita sangat perlu buku-buku seperti ini dik.” “Ini kok ada stempel perpustakaan kampus mbak.” “Maaf dik Siti kalau saya lupa memberi tahu. Saya memang ambil kuliah karyawan jadi biasanya hari Sabtu dan Minggu masuknya. Namanya masih ingin cari ilmu dik.” Lalu aku lihat-lihat judulnya, kayaknya yang satu ini nggak berat bacaannya, “Mbak, aku pinjam yang satu ini dulu ya.” “Iya dik Siti, mau mana dulu yang dibaca silahkan aja.”

Aku mulai membolak-balik buku itu tidak terasa malam pun telah larut. Aku mulai bisa mendapatkan intisari dari buku yang kubaca ini, meski masih tiga lembar halaman yang tersisa. Rasa kantukku udah tidak tertahankan lagi, aku tutup buku tadi dan mulailah bermimpi. Ups, suara berisik udah terdengar dari dapur, rupanya mbak Narti telah sibuk di dapur. Meski masih kantuk, aku coba bangun dan bergegas pergi ke dapur. Aku lihat kecekatan tangan mbak Narti mengolah masakan.

Hari demi hari berganti rasa-rasanya aku mulai paham gimana memasak itu. Aku terus perhatikan tahapan-tahapannya juga bumbu-bumbunya. Kayaknya hari ini aku udah mulai bisa bantu memasak, tidak jadi penonton lagi. “Mbak, aku bantu siapkan sayurnya ya mbak.” Mbak Narti kaget mendengarnya dan cuman tersenyum. Setelah melihat aku tahu apa yang harus dilakukan dalam memasak. Mbak Narti berucap,”Alhamdulillah dik Siti telah menguasai ilmu baru, ilmu memasak yang memang harus dikuasai oleh kita sebagai kaum hawa.”

“Ya Allah Engkau telah hantarkan aku ke orang yang tepat. Orang yang bisa mengajak aku menemukan cahayamu. Alhamdulillah Engkau tidak biarkan aku tersesat terlalu lama. Engkau masih selamatkan aku untuk tidak mengenal orang yang salah yang justru malah bisa membawa aku kepada kesesatan yang nyata.”

Aku pun mulai merasa kasihan dengan nyokap, dia telah menuju pada kesesatan yang nyata. Siapa lagi yang bisa menyelamatkan dia. Ya doa…benar doa…aku percaya kekuatan doa, sebagai anaknya aku tetap berkewajiban mendoakan nyokap. Semoga nyokap menyadari kekeliruannya dan mau bertaubat, sebelum nyawa di tenggorokan. Ya benar, masih ada kesempatan untuk nyokap menemukan cahaya Allah, entah di mana pun nyokap berada, doa anak kandungnya yang tulus insya Allah akan sampai juga di hati nurani orang yang telah melahirkannya. “Nyokapku, semoga segera diberi hidayah dan kesehatan selalu, amiiin.”

Aku pun mulai menuangkan apa pun suara hati dan yang menjadi perenunganku ke dalam bentuk tulisan. Mbak Narti pun juga mendukung hobi baruku ini. Dia bilang, akan ajak aku bergabung ke komunitas remaja muslim sebelum berangkat kuliah pada hari Sabtu dan Minggu. Dia akan biarkan aku bersosialisasi dan belajar banyak dari mereka. Ada buletin remaja muslim juga yang mereka buat.

Mungkin ini kesempatan aku mengasah kemampuanku yang lain yaitu menulis. Subhanallah, aku masuk lagi ke tempat yang makin mendekatkan aku pada Sang Khaliq, Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, Tuhan penguasa alam semesta ini. Aku kini telah tidak perlu obat tidur lagi. Aku mau buang obat itu jauh-jauh dari hidupku. Allah ternyata tidak tidur, Dia tau apa yang terbaik buat aku.

Hingga sekarang, aku masih dikenal sebagai “Siti Azizah” dalam setiap tulisanku. Alhamdulillah makin banyak orang yang telah mengenalku lewat coretan tanganku. “I’M SITI AZIZAH”..yes, you’re right sista. I’m Siti Azizah, that’s a name for me now. Kelak ketika nyokap telah kembali kepadaku dan benar-benar menjadi keluargaku yang saling mengasihi kembali, aku akan memberitahu kepada dunia jika aku adalah “Linda” putri dari pengusaha bpk. Frans. Semoga aku masih punya kesempatan itu. Aku akan tetap terus sabar dan tawakal menanti waktu itu tiba. “Nyonya Frans, dimana Anda sekarang? Aku LINDA putrimu yang telah sangat lama merindukanmu. Pulang lah dan peluk lah aku ibu, aku akan selalu jadi anakmu sampai kapan pun ibu.…ibu…ibu…ibu…ibu.”

Sahabat, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” — (QS.2:216), Al Quran

#Penulis: Sevita DH

********

54 Hari Menuju Gebyar Literasi Media Guru

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren bun....ceritanya

19 Mar
Balas

Terima kasih bunda...

19 Mar

Bagus banget ceritanya bu sevita

19 Mar
Balas

Terima kasih buk...

19 Mar

Subhanallah...Alhamdulillah atas apresiasi dr bunda,,terima kasih

18 Mar
Balas

Gerimis di pipi Mengais cerita Cerita siti Menyapa duka Peluh rindu Pada ibu Bapak tercinta Di ahir terbina Sang khaliq menyerta Cerpen hebat! Hingga tak sadarkan sebait puisi tlah jadi ibu penulis. He. He

18 Mar
Balas

Makasih Bu!

18 Mar

Terima kasih...bunda Mimin yg hebat,,

18 Mar

Sami2 Say!....

19 Mar

Keren tulisan panjang bikin penasaran hee..

26 Mar
Balas

Seorang teman penulis di Lombok pernah bilang "Setiap kita memiliki jejak dan langkah yg bermakna, catat dan tulislah agar inspirasinya dapat dibagi pada sesama" salut utk bu Guru Sevita dulu wkt SMP & SMA pendiam ga nyangka narasi nya bukan lewat ucapan tapi tulisan, keep spirit Bu Guru, terus berkarya, barakallahufik

19 Mar
Balas

Terima kasih ut supportnya pak Agung...bismillah laksanakan,,

19 Mar



search

New Post