Sevita Ridwan

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Paradigma Baru Rekrutmen Guru PNS, Resposnsif-kah?

Paradigma Baru Rekrutmen Guru PNS, Resposnsif-kah?

Ketika perubahan adalah sebuah keniscayaan, sehingga sebuah tindakan evaluatif terhadap segala hal yang memang perlu diperbaiki haruslah disikapi dengan sikap yang positif. Memang kita tidak bisa menyudutkan pihak yang satu dengan yang lain. Indonesia adalah negara besar dari segi wilayah dan jumlah penduduk. Dari faktor geografis dan demografi, antara daerah satu dengan yang lain juga memiliki kekompleksan masing-masing. Fokus pada persoalan pendidikan, memang yang menjadi dasar pertimbangan perekrutan guru pada zaman sekarang akan sangat berbeda jika dibandingkan sebelumnya. Mungkin beberapa dekade sebelumnya, orang memiliki keterampilan baca, tulis, berhitung, dan ditambah beberapa keterampilan lain sudah dianggap terpelajar dan siap menghadapi kehidupan pada zamannya. Tetapi hal yang terjadi sekarang bahkan esok akan sangat cepat berubah sehingga ketika pemerintah membuat terobosan baru dengan kebijakan baru dalam sistim rekrutmen PNS seyogyanya dipandang sebagai tindakan positif yang cukup responsif dalam membaca perubahan dan perkembangan yang terjadi.

Hal yang mungkin akan sangat berbeda jika seorang calon guru pernah mengabdi di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) dengan yang yang tidak pernah melaksanakannya adalah ketika calon guru tersebut baru saja menyelesaikan pendidikan di bangku kuliah, apa yang mereka peroleh akan lebih cepat terasah dan mungkin ilmu yang mereka dapatkan akan lebih cepat berkembang, bahkan mungkin akan muncul diversifikasi aplikasi keilmuannya yang disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan yang lebih kompleks. Karena apa yang mereka jumpai di lapangan tidak akan selalu bersifat linier, banyak hal yang muncul di luar kendali dan dugaan. Sehingga proses belajar dan pengalaman mengajarnya mengalami akselerasi daripada mereka yang tidak diberi kesempatan untuk menghadapi tantangan-tantangan di daerah 3T. Jika belum pernah teruji, maka siapa yang akan percaya mereka mampu dan handal.

Pemahaman terhadap sosial budaya setempat juga bukan hal yang mudah seperti kita membalikkan telapak tangan. Ketika mereka berada di tengah-tengah daerah 3T yang mungkin di antara mereka akan merasa menyerah dan memutuskan untuk kembali pulang tapi ternyata harus berpikir panjang mengingat itu tidak mudah dilakukan, maka mereka akan berupaya untuk belajar, belajar, dan terus belajar termasuk memahami sosial budaya masyarakat setempat. Bukan-kah orang akan mampu melompat lebih tinggi jika terdesak?

Bangsa Indonesia harus menjadi bangsa yang optimis bukannya apriori terhadap sesuatu yang berbeda dan baru. Jika esensinya memang atas dasar pertimbangan kebaikan bangsa dan negara Indonesia, sebagai warga negara yang cinta dan peduli terhadap kehormatan dan martabat bangsa dan negaranya sangat wajib untuk mendukung dan jika ada hal yang kurang sesuai kita bisa memberi masukan dan koreksi sebagai warga negara yang cerdas dan beretika yaitu dengan tidak meninggalkan budaya bangsa Indonesia yang bertata krama tinggi.

Ketika kebijakan ini dilaksanakan, maka standar yang digunakan pemerintah haruslah konsisten, terarah, dan terukur. Jangan justru alih-alih mereka sudah mengajar di daerah 3T sehingga sudah dianggap melakukan pengabdian luar biasa maka kontrol kualitas proses dan hasil justru lebih longgar. Jika hal ini terjadi, maka antara yang sangat selektif perekrutannya dengan yang tidak, akan sama saja dampaknya terhadap kualitas pendidikan di Indonesia. Lalu nanti muncul skema baru memandang cara ini kurang efektif lalu diganti lagi. Ini bukan soal mengganti dan seterusnya, tapi persoalan apakah segala sesuatunya telah berjalan sesuai sistim atau belum.

Yang tidak kalah penting adalah sikap saling mau menimba ilmu antara yang junior dengan yang senior, sehingga muncul iklim yang positif. Jangan juga, membela mati-matian keengganan untuk belajar dengan daftar alasan yang panjang seperti kereta api hanya dengan maksud mendapatkan pemakluman dan pembenaran atas ketidakmampuannya, padahal bukankah itu hal keliru dan menyesatkan. Jangan juga, karena merasa melalui perekrutan yang sangat selektif maka akan muncul “kelompok eksklusive” dalam sebuah sistim sehingga enggan untuk belajar dari yang telah banyak pengalaman mengajarnya. Oleh sebab itu, pendidikan bangsa ini adalah tanggung jawab kita bersama. Sehingga agar apa yang dituju menjadi lebih efektif diperlukan sinergi yang harmonis antara semua komponen dalam sebuah sistim pendidikan yang berkualitas dan berstandar tinggi demi bangsa dan negara Indonesia tercinta yang lebih baik dan lebih bermartabat.

#Isu 2015 (Arsip Pribadi)#

Masih relevan-kah?

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post