Shilakhul Muzaddin

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
EKOLOGI

EKOLOGI

Ekologis Dalam obrolan Ngopi Yo seri14 tanggaln16 lalu, Prof Igp Suryadarma bertanya pada audien, “Apakah kita merasa bahwa pohon-pohon itu adalah bagian dari paru-paru kita?”. Saya agak terkejut dengan pertanyaan tidak bisa ini. Saya dan anda pasti juga mengerti bahwa bahwa pepohonanlah mahluk yang mampu menyerap sampah aktifitas pembakararan, yaitu gas CO2 yang dapat membuat masalah ketika jumlahnya terus meningkat di udara sehingga panas matahari terperangkap di atmosfer dan mengacaukan iklim. Paham. Pohon boleh dibilang penyaring zat berbahaya, ia pula satu-satunya mahluk yang menghasilkan oksigen, unsur udara yang memungkinkan tubuh kita dapat mengubah kalori menjadi energi. (Ngomong-ngomong soal oksigen ini, mengingatkan kita pada situasi kelangkaan oksigen saat angka penularan covid sangat tinggi sekita bulan Juni-Juli 2020. Persediaan oksigen di rumah sakit-rumah sakit habis. Bagi keluarga salah satu anggotanya positif terinveksi covid varian Delta kala itu, kelangkaan oksigen adalah horor memperjuangkan anggota keluarga tetap dapat bernafas). Begitulah keberadaan oksigen yang tiap siang dilimpahkan gratis oleh pepohonan memastikan lingkungan mendukung hidup manusia dan hewan. Tapi menganggap pohon bagian dari paru-paru kita ? ah jauh sekali. Bila direnungkan secara maknawi, antara paru-paru kita dan pepohonan memang sangat terhubung. Istilah ‘hutan sebagai paru-paru dunia’ bukanlah istilah yang dilebih-lebihkan, secara fungsi dan makna terhubung erat meski dari tampilan bentuk, (yaitu yang umumnya kita pikirkan), jauh sekali. Mungkin perasaan dan anggapan pikiran kita selama ini lebih mudah menangkap dan menampung bentuk-bentuk, sementara untuk makna dan fungsi-sungsi mungkin karena butuh kedalaman, sedikit dari kita yang mau keluar tenaga untuk mencermati. Atau mungkin saja kultur pendidikan kita lebih kuat menekankan pada bentuk/ forma bukan pada hal-hal yang melampauinya meski lebih subtantif. ? Pada bagian lain Prof. Putu kembali bertanya, tanah itu kotor atau tidak? Ini mengingatkan saya saat belajar antropologi, kami pernah berdiskusi tentang persepsi masyarakat kota dan desa tentang bersih dan kotor. Ya tentang persepsi yang dibentuk oleh perubahan cara hidup, pengetahuan dari informasi sepotong-sepotong tentang ‘kuman’, oleh iklan sabun maupun pelajaran PKK termasuk iklan yang berbunyi, ‘tidak kotor tidak belajar’.... padahal banyak saudara-saudara kita yang tinggal di wilayah pedalaman yang sangat akrab menggauli tanah, bekerja, bermain, bersantai dan hidup mereka berada dan dengan tanah, justru lebih sehat. Persepsi kotor tentang tanah sungguh telah membuat jarak emosi sangat jauh, meski masyarakat kita mungkin sering menyanyikan lagu ‘kulihat ibu pertiwi’, (ibu bumi), lagu itu tidak sampai menumbuhkan rasa sayang, bahkan tidak cukup daya daya mengubah peresepsi yang sangat kuat dalam benak tentang kotornya tanah hingga menempatkan ibu (bumi) sebagai obyek. Anak (manusia) meng-obyekkan ibu (bumi), tanpa merasa bersalah, mencabik untuk berbagai tambang dan meninggalkan luka menganga, memeras dengan sumur-sumur bor untuk bangunan tinggi, menggunduli, demi memenuhi keinginan tak terbatas dan untuk mendapatkan milik sebanyak-banyaknya. Benarkan itu semua demi kemajuan, perkembangan, kemakmuran? Bila untuk kemajuan dan perkembangan mengapa banyak yang tertinggal? Bila demi kemakmuran, yang memiliki banyak pun belum tentu hidup bahagia karena persaingan demi mendapatkan (banyak hal) selalu berarti ada yang dikorbankan. Initinya hubungan emosional yang telah kering menggambarkan kesadaran yang tak memberi ruang energi hidup berkelanjutan. Ibu bumi dapat memulihkan lukanya, Ibu bumi juga menyediakan cukup untuk kebutuhan hidup semua manusia, tapi tidak pernah pulih dan tidak pernah cukup untuk keserakahan. Rasanya tidak ada kata terlambat, saat ini saya sedang berusaha jadi orang baik, membangun kekompakkan dengan keluarga untuk sedapat mungkin mengurangi sampah, memilah, mengolah, tidak membuang jelantah ke pembuangan di tanah tapi mengupulkan pada pengepul untuk dijadikan minyak bio diesel, dan hal-hal kecil lain sebagai latihan menghidupkan kembali kesadaran keterhubungan dengan ibu bumi, dengan semesta. Saya juga ngaji membuat eco enzim lho pada bu Nyai Ninid Alfatih II yg sudah cukup lama mempraktikkan dan menginspirasi saya untuk memulai. Bukan hanya soal praktik membuat eco enzim, juga menimba spirit untuk menjinakan ingin, memanjangkan pikir, menghidupkan sadar.
DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post