Shinta Labdhawara, S.Pd

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Ibu Pekerja, Padamu Kuangkat Topiku

Ibu pekerja, mungkin kita pernah mendengar istilah tersebut, atau bahkan langsung menyadari bahwa kita adalah bagian didalamnya. Kamus Besar Bahasa Indonesia memaknai kata “pekerja” sebagai orang yang bekerja atau orang yang menerima upah atas hasil kerjanya.

Jika anda merasa bahwa anda adalah sebagian orang yang dimaksud dalam definisi diatas, maka sediakanlah waktu sejenak untuk membaca tulisan ini. Ya, tulisan ini dipersembahkan bagi kaum Ibu Pekerja dan mereka yang hidup bersamanya. Ya, anda, sang Ibu Pekerja, para kartini masa kini, yang setiap hari harus bergumul dengan pilihan: mencukupi kebutuhan (kerja) atau mengikuti keinginan (menemani anak). Anda, perempuan – perempuan tangguh anti mengeluh yang dengan penuh kesadaran diri, telah meniadakan kata "lelah" dan "sakit" dalam perjuangan mengais rejeki.

Namun, baiklah saat ini anda bersiap untuk tersenyum lega karena ternyata, dibalik segala kerepotan rumah tangga dan pengorbanan pribadi yang harus kita bayar, ada karakter – karakter indah yang sedang terpintal secara otodidak bagi anak – anak kita. Karakter – karakter penting yang diperlukan bagi masa depan Indonesia tercinta.

Sebagaimana kita ketahui, Indonesia sedang bersiap menyambut hadirnya suatu generasi istimewa. Generasi yang mencerminkan wajah nusantara dalam momentum kebangkitan nasional kedua di usia 100 tahun mendatang, tepatnya di tahun 2045. Generasi Emas, demikian Bp.Muhammad Nuh, mantan Menteri Pendidikan menyebutnya. Generasi yang tak hanya dituntut unggul dalam ilmu dan teknologi, namun juga cerdas dan berkarakter. Generasi itu adalah anak – anak kita saat ini. Kehadiran Ibu pekerja, ternyata membantu proses penyiapan karakter sang Generasi Emas.

Karakter pertama adalah kemandirian, dimana seiring berjalannya waktu, juga menghasilkan kreatifitas dan tanggung jawab. Secara alamiah, kehadiran Ibu membuat anak enggan menolong dirinya sendiri karena ia tahu, ada figur yang akan selalu rela membantu. Bahkan untuk hal yang sebenarnya bisa ia kerjakan sendiri seperti menyiapkan, mengambil dan menyuap makanan, menyiapkan perlengkapan sekolah, membereskan mainan dan lain sebagainya. Kemandirian anak justru akan muncul dalam keadaan terdesak. Misal, ketika tidak ada makanan sementara Ibu belum pulang, ia tergerak untuk membeli atau memasak sendiri. Dengan pembiasaan, arahan dan dorongan positif orang tua, ketidakhadiran Ibu menciptakan kemandirian dan tanggung jawab anak khususnya untuk hal-hal yang memang sesuai porsinya, dapat ia kerjakan sendiri.

Karakter kedua adalah kemauan dan kemampuan mengaktualisasikan diri. Abraham Maslow, pelopor aliran Pskilologi Humanistik, menyatakan bahwa syarat dasar yang harus dimiliki seseorang untuk bisa berekspresi adalah rasa percaya diri. Faktanya, kepercayaan diri seseorang dipengaruhi oleh konsep diri serta terpenuhinya kebutuhan dasar yakni pangan, sadang dan papan. Ibu yang bekerja membantu memperkuat perekonomian dan mencukupkan kebutuhan dasar keluarga. Dengan demikian, konsep diri positif akan melekat pada anak, memberinya rasa “aman” serta percaya diri yang cukup untuk berekspresi.

Selanjutnya, karakter ketiga adalah penghargaan atas waktu dan uang. Orang tua yang bekerja mengenal konsep Quality Time. Anak dengan orang tua yang berkerja, khususnya Ibu, belajar tentang manajemen waktu dan uang. Anak akan melihat sepak terjang Ibunya dalam mempersiapkan segala sesuatu di pagi hari sebelum ia berangkat bekerja seperti bangun dini hari untuk membersihkan rumah, menyiapkan sarapan, bekal dan segala sesuatunya. Tidak berhenti disitu, sepulang bekerja, Ibu akan menyiapkan makan malam, mendampingi anak belajar, bermain atau refreshing keluar rumah. Tak jarang, anakpun dilibatkan dalam tugas rumah tangga seperti mencuci, menyapu dan mengepel.

Melalui pengamatan dan pengalamannya, secara perlahan, anak mampu membedakan arti kata “sibuk”, “kerja”, “libur”, “malas”, “rajin”, “disiplin”, “tertib” dan lain sebagainya. Mereka belajar membentuk konsep diri positif. Misal: “aku anak yang rajin”, “aku bukan pemalas” dan lain sebagainya. Bagaimana dengan uang? Umumnya, sedari kecil anak telah memperoleh pemahaman bahwa orang tua bekerja untuk mendapatkan uang. Anak belajar bahwa uang adalah hasil kerja keras yang harus digunakan dengan bijaksana. Kebiasaan menabung dan penerapan prinsip skala prioritas dalam berbelanja merupakan edukasi finansial dasar positif yang bisa dibentuk oleh orang tua sejak dini.

Karakter keempat adalah berwawasan luas. Tidak semua memang, namun sebagian Ibu, khususnya di ranah domestik cenderung kurang mengupgrade diri. Hal ini menyebabkan terciptanya gap antara kebutuhan anak akan informasi terkini dengan tidak terpenuhinya kebutuhan tersebut secara mumpuni. Sebaliknya, Ibu pekerja, cenderung berwawasan lebih luas dan mengikuti perkembangan teknologi sehingga mampu mencukupi kebutuhan informasi dan teknologi secara berimbang dan tepat.

Karakter kelima adalah berdaya juang kuat. Menurut hasil penelitian yang dilakuikan oleh Harvard Business School sebagaimana dikutip dalam www.theasianparent.com, anak perempuan dari Ibu yang bekerja diluar rumah akan mempunyai penghasilan lebih besar dibanding anak perempuan dari Ibu tinggal di rumah. Dengan kata lain, keberadaan Ibu pekerja “setting the standard” bagi anak-anak mereka. Kenapa demikian? Karena anak memiliki kecenderungan meniru pola hidup dan pola kerja orang tuanya. Kathleen McGinn, kepala peneliti riset tersebut menyatakan bahwa ketika seorang Ibu berangkat bekerja, ia sedang membantu anak-anaknya untuk memahami bahwa ada banyak kesempatan untuk mereka diluar sana. Ibu yang bekerja, mewariskan daya juang.

Karakter terakhir adalah akhlak mulia. Setali tiga uang dengan karakter-karakter yang lain, akhlak yang baik adalah modal utama keberhasilan. Anak-anak membutuhkan figur yang mampu memberi teladan atas kebenaran pernyataan ini dalam terapan kehidupan sehari-hari. Orang tua menjadi barometer utama karena dari merekalah anak belajar mengenai integritas, pengutamaan ibadah disela-sela kesibukan, keikhlasan memberi dan berbagi dengan sesamanya. Meskipun anak bisa saja belajar melalui You Tube atau membaca berbagai artikel dan e-book di internet, orang tua tetaplah kiblat utama mereka.

Pada akhirnya, kita bisa menyimpulkan bahwa dedikasi Ibu pekerja, memperkuat pembentukan karakter Generasi Emas Indonesia. Ibu Pekerja (baca: anda) adalah kartini – kartini modern penghasil generasi mandiri, kreatif, bertanggung jawab, mau mengaktualisasikan diri, menghargai waktu dan uang, berwawasan luas, berdaya juang kuat serta berakhlak mulia. Generasi yang dipersembahkan bagi Indonesia di tahun 2045. Jadi, mulai saat ini, tak perlu lagi ada rasa galau dihati ketika bersiap menyongsong hari. Wahai anda para Ibu Pekerja, selamat hari Kartini. Terima kasih, padamu kuangkat topiku.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantap...Salam literasi dan salam kenal Bu...

23 Apr
Balas

Maaf Ibu, baru buka lagi dan bisa membalas. Terima kasih Bu telah berkenan membaca dan memberi komentar. Salam kenal juga. Semangat literasi :)

23 May



search

New Post