Pentigraf#4

Pagi itu, matahari belum meninggi. Baru pukul setengah enam pagi. Kabut tebal menyelimuti pandangan. Hawa dinginnya begitu terasa. Sampan yang kunaiki berjalan pelan namun pasti. Deburan air Sungai Kapuas terdengar bak ombak di lautan saat bertabrakan bagian depan perahu. Pengemudi begitu lincah memutar kemudi mesin ke kanan dan kiri, terkadang diangkat untuk menghindari sampah kayu yang mengapung di sungai. Jika tertabrak dan terkena kipas mesin, hal itu akan menjadi masalah besar. Kipas mesin bisa patah. Wajar saja, sehabis hujan deras akan banyak sampah kayu yang mengapung saat air sungai sedang pasang.

Gadis kecil berseragam biru putih dengan kerudung putih itu terus mengemudikan sampan. Matanya begitu awas melihat sekeliling, takut ada sampan lain atau sampah kayu.

Aku memberanikan bertanya pada gadis itu untuk menjawab semua rasa penasaranku. "Kamu mau ke sekolah Dek?", tanyaku. "Iya, Bang." jawab gadis itu. Sepenggal kisah kudengarkan pagi itu. Penuh dengan perjuangan dan kepiluan. Seorang gadis kecil, berjuang hidup sendiri. Rupanya sungai tempatnya bersandar hidup telah merenggut ayah dan ibunya.