silpanus

Menulis di blog & website [email protected] www.sman1danausembuluh.sch.id ...

Selengkapnya
Navigasi Web

"Inikah Rasanya Prajabatan Di Jogya"part.1

Chapter 1.

……..kemudian haitami membawa agus dan kalyudi…

Jumat pagi, jam saat itu menunjukkan pukul lima lewat tiga puluh menit, aku dan teman-teman sudah berkumpul di KP III pelabuhan kapal laut sampit, tempat yang sudah dijanjikan oleh salah seorang petugas pelabuhan agar kami sebelum pemberangkatan kapal sudah berada ditempat itu, aku dan istriku sudah berada disitu sejak pukul lima lewat lima belas menit, sementara kalyudi, musliah, agus dianto juga sudah lebih dulu datang ketempat itu dan ada kawan-kawan lain yang serombongan juga sudah datang.

“Dimana pak hai, kok tidak kelihatan dari tadi? Ujar Agus dianto, “Iya, padahal kita sudah janji, kumpulnya sama-sama ditempat ini? Balas Kalyudi, sesaat kemudian Kalyudi mengeluarkan ponselnya kemudian mencoba menghubungi haitami, karena waktu pemberangkatan tidak berapa lama lagi. “Hallo, pak hai? Dimana anda sekarang! “Ini, saya ada didalam!” “Didalam mana!” “Ini,di dalam!” “Lha, itu pak hai, kenapa dia ada didalam situ” ujar pak agus sembari menunjuk kearah haitami yang ketika itu sedang melambaikan tangannya di dalam ruangan tempat antrian penumpang. “Wah, aneh-aneh aja pak hai ini, kita sudah janji di KP III, eh malah dia ada didalam situ? Ujar musliah.

Tidak berapa lama, icha juga datang, diantar oleh kerabatnya. Kurang lebih setengah jam aku dan kawan-kawan menunggu pemberangkatan, sesaat kemudian datang petugas mengecek karcis masuk kami, “Nanti, setelah alat-alat berat masuk, kalian juga langsung masuk” Kata petugas itu pada kami. Kurang dari lima belas menit, semua alat berat masuk ke kapal, kemudian aku dan kawan-kawan beserta beberapa penumpang yang ada di KP III diperbolehkan masuk, sementara haitami masih bisa diperbolehkan masuk, karena dia berada di dalam ruang tunggu penumpang lainnya. Dengan menjinjing tas yang cukup besar aku melangkahkan kaki memasuki lorong-lorong kapal KIRANA III untuk pertama kali dalam hidupku melakukan pejalanan keluar pulau kalimantan dengan menggunakan kapal laut, cukup membuat berkeringat aku membawa barang ketempat ruangan untuk penumpang kelas ekonomi, dalam pikiranku didalam kelas ekonomi nanti yang ada hamparan ruangan los yang besar, ada televisi dengan bantal-bantal tersusun rapi, dan orang-orang tumpah ruah jadi satu ditempat itu, dan dari berbagai suku dan keperluan.

Ternyata pikaranku salah, ternyata yang namanya kelas ekonomi di kapal KIRANA III ini, yang ada bilik-bilik untuk ukuran bantal bagi kepala saja dan memiliki dua tingkat, itupun jika memilih tempat yang dibawah maka badan harus jongkok. Aku mulai memilih tempat untuk beristirahat tentunya tidak jauh dengan istriku, begitu juga musliah tidak jauh dari suaminya kalyudi, dan disamping kalyudi ada agus dianto. Aku sedikit terpaku melihat situasi ruang ekonomi seperti itu, begitu juga kawan-kawan yang lain sepertinya tidak percaya.

Sesaat kemudian muncul rombongan penumpang lainnya, sehingga dalam waktu lima menit ruangan itu dipenuhi oleh para penumpang, jadi lengkaplah suasana di ruangan ekonomi kala itu, panas, asap rokok, bau-bauan yang bermacam-macam. Icha mulai gelisah bersama ida istriku mereka mulai jalan-jalan mencari angin segar, tidak berapa lama muncul haitami dengan terengah-engah, kulihat badannya dipenuhi keringat, wajar saja, karena yang dibawanya tas ukuran besar dan satu buah kotak pinter, dengan ngos-ngosan haitami mendekati kami, “Pak hai, disini saja, itu sudah disiapkan, disamping pak sil” Ujar ida. “Ya, sip, aku mengambil barang dulu” kata haitami kemudian berlalu menuju tempat dia menaruhkan barang-barangnya tadi. Sesaat kemudian datang persis seperti dia membawa barang-barangnya.

“Pak hai, kenapa tadi ada di ruangan penumpang” kata musliah. “Oh, itu tadi becak yang membawa kami ke tempat itu, saya suruh ke KP III kata tukang becaknya tidak diperbolehkan, ya terpaksa masuk ke ruangan situ” balas haitami. Sementara aku dan beberapa kawan-kawan yang lain tertawa kecil mendengar penjelasan haitami. Kemudian haitami mengajak kalyudi dan agus untuk jalan-jalan di kapal itu, sementara aku masih duduk-duduk santai sambil mengamat-amati situasi lingkungan sekitar itu, lain lagi dengan musliah, ia sepertinya mulai pusing dengan suasana sekitar ditambah lagi pikirannya yang masih mengingat anaknya yang ditinggal bersama neneknya di sembuluh, aku juga sesekali teringat dengan anak-anakku yang aku dan istriku titipkan di palangkaraya bersama orangtuaku, terasa berat berpisah dengan anak, walau hanya sebentar tetapi demi pekerjaan dan untuk masa depan anak-anak, kami harus melakukan pekerjaan ini.

Perlahan kapal Kirana III mulai meninggalkan dermaga sampit, menuju laut lepas, didalam kapal icha dan istriku memberikan solusi untuk pindah dari kumpulan orang-orang yang ada disekitar situ, mereka menemukan tempat yang menurut mereka cocok dan sedikit agak terang dari kelas ekonomi, walaupun bentuk dan keadaan tempat tidurnya tidak berbeda jauh dari kelas ekonomi, hanya saja tidak dibatasi oleh bilik-bilik. “Gimana pak sil, kami ada dapat tepat yang cukup terang, dari tempat ini, hanya saja kita menambah cost masing-masing 20.000 perorang, bagaimana” ujar icha. “Lha, terserah, kalau memang baik, kita ambil saja, toh kitakan bertiga belas, tanyakan lagi ke kawan-kawan, setuju apa nggak mereka” kataku lagi.

“Bagaimana, diatas ada tempat yang sedikit terang dari tempat ini, tapi kita masing-masing mengumpul 20.000, kalau setuju kita ambil” ujar icha kepada teman-teman lain. “Ya, kita ambil saja” ujar teman yang dari kuala. “Baik, kalau begitu, kita pindah” ujar icha. Kemudian kawan-kawan yang lain mulai berkemas mengumpulkan barang-barangnya masing-masing.

Kami pun berjalan melalui lorong, menuju palka kapal di bagian atas, dan kamipun tiba ditempat yang dituju, ternyata tempat para ABK kapal KIRANA III, dan tempatnya berada di dekat cerobong asap dari kapal itu, bising dan berasap, tapi memang terang dibandingkan tempat awal kami tadi, sedikit menunggu kamipun diperbolehkan masuk ketempat itu, KIRANA III terus perlahan maju menyusuri sungai mentaya sampit menuju lautan luas, kurang lebih sepuluh menit aku melihat kapal jaman penjajahan jepang yang tenggelam pada tahun 1950 yang tinggal puing-puing besi dari bagian kapal itu.

Karena sudah menjadi barang yang usang, banyak orang-orang memanfaatkan besinya untuk dijual. Aku terus memandang bagian sisi lain dari kapal KIRANA III, banyak juga bagian kapal itu yang sudah terlihat berkarat, mungkin karena terlalu sering melewati lautan luas dan terus tertimpa air garam dari laut menyebabkan peralatan dari KIRANA III sudah ada yang berkarat.

Satu jam kemudian aku melihat sebuah kapal penumpang juga DARMA KENCANA di daerah samuda yang terbakar beberapa waktu yang lalu, bagian atas kapal memang nampak hangus terbakar, untungnya tidak kesemua badan kapal ikut terbakar dan tidak banyak menelan korban jiwa, karena pada kejadian itu masih berada di sungai mentaya, dekat sebuah pemukiman sehingga sempat ditolong oleh warga sekitar, karena kapal DARMA KENCANA tidak beroperasi, akhirnya untuk rute sampit ke semarang sementara ini di ambil alih oleh KIRANA III kapal kendaraan dan penumpang.

Aku mulai mencari suasana lain dari bagian kapal itu, sambil berjalan-jalan aku melihat lihat sekeliling, ada juga sebagian orang yang tidak dapat tempat tidur di bagian dalam kapal, mereka tidur-tiduran di geladak di luar kamar, ada bapak-bapak, anak-anak bahkan ibu-ibu juga ada. Dibagian lain di ruang café break nampak para penumpang duduk-duduk santai di kursi busa nampak santai dan enjoy karena ada hiburan dari iringan musik electon dan beberapa penyanyi yang memang dipersiapkan untuk menghibur para penumpang. Aku terus berjalan memasuki ruang lain, akhirnya aku menemukan sesuatu yang menarik perhatianku, disebuah ruangan tempat agus dianto, disitu ada sebuah televisi yang sedang menayangkan sebuah film action ceritanya menggambarkan sebuah action kera sakti, aku dan agus dianto asyik menonton film itu.

Waktu terus berlalu dari pagi, ke siang, kemudian sore haripun tiba KIRANA III sudah meninggalkan bibir pantai, menuju laut lepas, gelombang perlahan-lahan mulai terasa namun masih tidak berpengaruh disudut-sudut laut nampak beberapa kapal penambang biji besi sedang melakukan aktivitasnya, air laut warnanya masih terlihat seperti air tawar biasa, menandakan KIRANA III masih belum berada di lautan lepas sepenuhnya, ada hal yang agak menggelikan waktu siang hari, tepatnya ketika sebagian penumpang melakukan sholat jumat, pada saat itu nanang haitami disuruh untuk menjadi khatibnya, ketika mereka sedang melakukan rukuq ada yang kepalanya terantuk dengan lantai, ada yang bergeser tempat berdiri dan duduknya, jadi bila kena gelombang maka ada saja gerakan yang lain dari biasanya sehingga membuat haitami memperpendek ceramahnya.

Malampun tiba, masing-masing penumpang mengambil jatah makannya yang telah disediakan pihak kapal, aku sudah tidak mampu lagi rasanya berdiri, setiap mau berdiri maka setiap itupula mau jatuh, pengaruh gelombang yang terus beradu dengan kapal membuat kepala pening, dalam seribu satu perasaan yang ada dalam diri aku kala itu, aku hanya mampu tidur dan terasa lebih baik menahan lapar kala itu, sesekali kulihat istriku yang juga menahan mabok lautnya entah berapa kali dia makan obat anti mabok, kalyudi juga terlihat gelisah, beberapa kali ia mundar mandir keluar dari dek, lain lagi dengan haitami, beliau awalnya terlihat tegar seakan mampu menghadapi hantaman gelombang laut. “Kenapa pak hai” ujar kalyudi, “Aduh! Sudah tidak tahan lagi nich, sakit kepala, mau muntah rasanya?” “Minum antimo pak hai, nich aku masih ada” ujar kalyudi lagi.

“Ah, nggak usah, alami saja, bila muntah, muntah aja” ujar haitami sambil menelungkupkan badannya. Aku masih membaringkan badan, sambil memejamkan mata, bila ku buka mata, maka kepala langsung puyeng, jadi kubiarkan mata terpejam, sambil mendengarkan suara-suara, sementara dentuman gelombang terus menghantam badan kapal. “Aduh! Nggak bisa tidur? Ujar haitami, “Ini pak hai, ada mie tinggal dikasih air panas aja” ujar kalyudi. “Aduh? Nggak bisa masuk, perut nggak nerima ini” “Ayo kita keluar saja, aku juga rasannya mau muntah” kata kalyudi. Akhirnya mereka pun keluar, jam sudah menunjukan pukul sembilan malam, tidak berapa lama terdengar suara orang mau muntah. “Huekkk! Hueekkk! Kemudian kudengar suara kalyudi masuk kembali kedalam bilik. “Ah… lega, bila sudah muntah, maboknya berkurang” ujar kalyudi sembari membaringkan badannya kembali.

Sementara itu haitami masih berada diluar, sepertinya mau muntah juga, sesaat kemudian haitami masuk kedalam bilik, “Aduh, sudah tidak tahan, pak iyud, apa masih ada obat antimonya, saya minta satu” “Ini ada, minum saja” balas kalyudi. “Lho, katanya tadi tidak mau minum antimo, mau alami saja, tapi minta obat juga” kataku “Sudah tidak tahan, tiga kali sudah aku muntah, yang pertama waktu makan nasi kuning, keluar kuning, makan mie, keluar mie” ujar haitami agak berat.

Setelah mengeluarkan obat antimo dari bungkusnya, haitami kemudian menegak obat itu, kemudian perlahan merebahkan diri mencoba tidur, diluar masih terdengar suara mesin kapal, dan juga suara gelombang laut yang bertabrakan dengan dindin kapal.

Kudengar suara istriku dan icha perlahan keluar dari bilik itu, kucoba membuka mata, dan kulihat punggung mereka dari balik pintu, aku kemudian terus menutup mata, berusaha menahan rasa pening yang sudah bersarang di kepalaku sejak sore harinya. Belum sempat aku tertidur, kudengar langkah kaki mereka berdua, ketika kubuka mataku, yang kulihat hanya icha saja yang masuk kedalam, dan dari luar sana terdengar suara orang memuntahkan makanan dari perutnya, ternyata yang muntah itu istriku.

“Waduh, celaka? Sudah kutraktir makan bakso, kenapa dimuntahkan” kata icha sambil bergurau. “Aku, tidak tahan cha, waktu aku lewat tadi, kulihat ada bekas muntahan orang, jadi aku ikut muntah juga, mana pengaruh mabok laut lagi” ujar istriku sambil kembali merebahkan diri.

Keduanya kembali mencoba mendiamkan diri dengan tidur, aku mencoba bangkit cukup lama aku menahan buang air kecil, karena bila aku bangun walaupun hanya duduk, maka terasa badan mau jatuh, seperti orang yang mabok minum-minuman keras. Perlahan ku berdiri sambil memegangi pagar-pagar besi yang ada di geladak kapal itu, aku berjalan sempoyongan menuju kamar kecil pria yang ada di ruangan bawah, ditengah laut kulihat ada beberapa cahaya lampu yang cukup terang, timbul tenggelam seperti ditelan gelombang dan dimuntahkan lagi, ngeri aku melihatnya.

Aku terus berjalan menuju kamar kecil itu, sungguh membutuhkan tenaga yang tidak biasanya, setelah buang air kecil, akupun kembali ketempat bilik dimana kami tidur, cukup lama akhirnya aku bisa tertidur.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post