Singa Bandung

IDENTITAS PENULIS Nama  ...

Selengkapnya
Navigasi Web

KERAGAMAN ULAR DI PAPUA

KERAGAMAN ULAR DI PAPUA

Oleh : Sekarmaji*)

Berbagai keunikan alam telah diciptakan oleh Allah dan tiada satupun dari ciptaan-Nya yang sia-sia. Sungguh Maha Sempurna Sang Pencipta yang Maha Agung. Ia telah menciptakan alam semesta dengan sempurna dan seimbang tanpa ada kekurangan sedikitpun. Tuhan Yang Maha Pencipta telah menganugerahkan keanekaragaman hayati yang membentuk ekosistem kompleks. Sebagian besar keanekaragaman hayati dikandung oleh bermacam tipe hutan.

Wulijarni dan Soetjipto menuturkan bahwa berdasarkan iklimnya, hutan di Indonesia dikelompokkan menjadi hutan hujan tropik dan hutan muson (monsoon forest). Secara keseluruhan luas hutan di Indonesia kurang lebih 122 juta hektar dan sekitar 31 juta hektar terdapat di daratan Irian Jaya ( sekarang terbagi menjadi 2 provinsi yaitu Papua Barat dan Papua ). Hutan hujan tropik sangat kaya dengan bermacam perbedaan struktur dan komposisi jenisnya. Perbedaan struktur dan komposisi jenis tersebut mendukung adanya keragaman tumbuhan (flora) dan satwa (fauna). Hutan hujan tropik juga mempunyai banyak spesis endemik.

Allah SWT telah menciptakan alam Papua yang sangat kaya dengan keanekaragaman hayati. Tingginya keanekaragaman hayati di Papua membuatnya dijuluki megabiodivercity (daratan yang memiliki keanekaragaman hayati sangat tinggi) sehingga menjadi ‘gudang plasma nutfah’ yang luar biasa. Bahkan keanekaragaman hayati tersebut menjangkau hingga di perairan laut sekitarnya.

Sebagai contoh kayanya keanekaragaman hayati di Papua ialah keanekaragaman satwa ular berbisa. Dahulu, Suprijatna (1981) mendeskripsikan 17 spesis ular berbisa asal Papua dari sekitar 34 spesis ular berbisa di Indonesia.

Jumlah spesis ular di dunia sekitar 5.000 spesis dan dari jumlah tersebut, hanya 37,5 % saja yang berbisa. Hal itu menunjukkan lebih banyak spesis tak berbisa dari pada spesis ular berbisa. Menurut Supriyatna (1981), jumlah spesis ular di Indonesia sekitar 400 spesis dan dari jumlah tersebut hanya 110 spesis saja yang berbisa.

Ular sebagai vertebrata tak berkaki ialah satwa unik yang tak hanya dikarenakan ketiadaan alat gerak saja, melainkan keunikan itu disebabkan pula oleh kemampuan menghasilkan racun (sering disebut ‘bisa’) dari kelenjar bisa pada sebagian famili. Barangkali karena daya toksisitas bisa ular itulah sehingga ular dijadikan sebagai lambang kefarmasian dunia. Dari sisi kemampuan berbiak, ular juga unik karena sebagian di antaranya berbiak secara ovipar (bertelur) dan sebagian lagi secara ovovivipar (mengandungkan telur dan melahirkan anaknya).

Data keanekaragaman ular kini semakin berkembang. Dari seluruh wilayah nusantara, wilayah yang memiliki jumlah spesis ular berbisa terbanyak ialah Papua. Mark O’Shea dalam buku The Guide To The Snake of Papua New Guinea mendeskripsikan sekitar lima puluhan spesis ular berbisa (termasuk keseluruhan spesis di laut sekitar Papua). Hal ini menunjukkan Papua memiliki begitu banyak ular berbisa dari yang menghasilkan bisa sedang (menengah) hingga yang berbisa kuat (mematikan).

Umumnya, manusia memiliki rasa takut terhadap ular (ophidiophobia), sehingga menimbulkan reaksi refleks membunuh jika bertemu dengannya. Kurangnya pemahaman terhadap ular, ophidiophobia, serta maraknya perburuan dan perdagangan ular piton/boa bisa membuat keragaman jenis ular terancam. Dalam konteks keanekaragaman hayati, ekosistem yang seimbang bergantung pada keberadaan jenis-jenis satwa pendukungnya. Hilangnya satu jenis satwa bisa mengganggu keseimbangan tersebut, yang pada akhirnya berdampak buruk bagi manusia.

Hilangnya jenis satwa tertentu serta rusaknya keseimbangan ekosistem merupakan bagian dari kerusakan alam. Manusia sebagai Kholifah fil ‘ardh dan sangat berkepentingan terhadap ekosistem, paling bertanggung jawab untuk melestarikannya. Allah telah mengingatkan pentingnya menjaga kelestarian alam melalui Q.S Ar Rum ayat 41 : “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan tangan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.

Diharapkan, pengetahuan (edukasi) tentang ular dan bagaimana seharusnya memperlakukannya, akan melindunginya dari pembunuhan karena ketakutan manusia dan mencegah hilangnya ular sebagai salah satu penopang daya dukung ekosistem. Oleh karena itu diperlukan ketersediaan buku untuk pengenalan ular, namun buku yang dimaksud masih sangat langka, terutama buku panduan lapangan untuk ular di Papua.

Kelompok Ular Berbisa

Semua ular berbisa kuat di daratan Papua masih tergolong dalam satu famili yaitu famili Elapidae. Di antara anggota famili tersebut, salah satunya ialah death adder snake (Acanthophis spp). Death adder merupakan salah satu ular berbisa kuat yang sering ‘memakan’ korban jiwa manusia. Ular ini menghasilkan bisa yang bersifat neurotoksin. Penanganan yang cepat sangat diperlukan sebab bisa death adder dapat merusak sistem saraf pusat yang juga berakibat lumpuhnya organ pernapasan sehingga mematikan korban.

Agar dapat menghindar dari death adder (Acanthophis spp), kita perlu mengenalinya. Acanthophis spp bertubuh gemuk pendek (0,3–0,5 m) dan bersifat ovovivipar. Bila hanya berdasar bentuk serta ukuran tubuh maka akan terlihat seperti ular Candoia yang sama sekali tidak berbisa (masyarakat awam banyak yang menyangka Candoia sebagai ular berbisa karena ‘dianggap mirip’ secara morfologis dengan Acanthophis), kepala berbentuk segitiga dengan tonjolan ke atas di bagian supra oculer (di ‘pelipis’/atas mata). Warna sisik umumnya strip coklat – hitam atau hitam – putih dalam corak garis zig zag melintang. Ekornya sangat pendek dengan ujung ekor memiliki semacam ‘duri’. Bila diamati dengan cermat dan teliti, sebenarnya death adder sangat berbeda dengan Candoia. Warna boleh jadi mirip dengan Candoia aspera, namun motif/coraknya sangat berbeda. Begitu pula dengan kepala yang pada Candoia tipe kepalanya adalah kepala boa/piton.

Perbandingan Morfologis (Death adder dengan Candoia)

Small eye snake ( Micropechis ikaheka ) yang lazim disebut sebagai ular putih oleh masyarakat juga sering menimbulkan korban jiwa. Berbeda dengan death adder, ular ini memiliki ukuran tubuh lebih panjang (bisa mencapai 2,1m) dan bersifat ovipar. Kepala dan matanya kecil, warna kepala hitam atau bercampur putih serta bagian leher hingga ekornya didominasi warna putih (adakalanya bagian ekor hampir hitam polos). Selain perbedaan ciri tersebut, terdapat kesamaan karakter pada keduanya yaitu sama-sama menghasilkan bisa yang bersifat neurotoksin, bertipe gigi proteroglypha (dengan ciri berupa letak taring pada rahang atas bagian depan), serta tergolong hewan nocturnal.

Foto : calphotos.berkeley.edu

Anakan ular putih yang baru keluar dari cangkang telur dan ular putih dewasa.

Selain death adder dan ular putih, masih ada deretan ular lainnya yang mematikan semisal Oxyuranus, Pseudechis, dan seluruh ular laut dari Famili Hidrophiidae yang mendiami perairan laut di sekitar Papua. Laporan berharga dari penelitian terhadap ular laut ialah mengenai kekuatan bisanya. Kekuatan bisa ular laut mencapai 3-10 kali lebih kuat dibandingkan dengan kekuatan bisa ular kobra. Hal menarik lain dari ular laut yaitu secara umum mereka tergolong vivipar (melahirkan anak), kecuali Laticauda spp yang bertelur (ovipar) dan biasa meletakkan telurnya di pantai.

Kelompok ular berbisa sedang (menengah) lebih sedikit jumlahnya dibanding golongan ular berbisa kuat. Contoh anggota kelompok ular berbisa sedang ialah Boiga irregularis (bertipe gigi ophistoglypha dengan posisi taring pada rahang atas bagian belakang) dan Heurnia ventromaculata (spesis endemik di sekitar Sungai Mamberamo). Berbeda dengan Heurnia, Boiga terdistribusi secara luas hingga di Maluku dan Sulawesi. Ular ini bahkan sering memasuki rumah penduduk untuk memangsa cecak pada malam hari.

Foto oleh Sekarmaji

Boiga irregularis terdistribusi di Sulawesi, Maluku, dan Papua.

Kelompok ular tak berbisa

Di antara spesis ular darat di Papua, sebagian besar adalah ular tak berbisa. Ular-ular tak berbisa memiliki tipe gigi aglypha (tanpa taring). Contoh pertama untuk spesis tak berbisa ialah spesis yang unik yaitu ‘ular kadal’ (Lialis jicari dan Lialis Burtonis), disebut demikian karena kepalanya mirip kepala kadal bahkan menyerupai bentuk pensil lancip yang telah diserut (sehingga disebut juga pencil snakes). Ada juga yang menyebutnya sebagai kadal tak berkaki. Selain itu, kedua spesis ini juga memiliki bukaan telinga serta dapat melakukan autotomi (Penulis pernah menangkap Lialis jicari di sekitar Pegunungan Cyclop dan ular tersebut langsung mematahkan sendiri bagian ekornya).

Lialis jicari dan Lialis burtonis cocok sebagai peliharaan di rumah

Anggota Famili Typhlopidae juga merupakan ular unik karena kecilnya ukuran tubuh, ini sangat jauh berbeda bila dibandingkan dengan anggota Boidae (beranggotakan boa dan python) yang memiliki panjang hingga beberapa meter dan dilengkapi semacam ‘taji’ pada bagian pelvic. Menurut Mark O’Shea (1996), diameter tubuh anggota famili Typhlopidae umumnya sekitar 3 – 8 mm dengan panjang tubuh hanya mencapai 142 mm (maksimalnya 325 mm) sehingga Ramphotyphlopssp dan Typhlops spp merupakan kelompok ular terkecil di dunia.

Foto by Mark’Oshea

Foto oleh Sekarmaji

Anggota Typhlopidae merupakan ular terkecil di dunia

Boidae merupakan kelompok ular yang jinak sehingga sering diperdagangkan sebagai hewan eksotik, atau bisa juga untuk dimanfaatkan kulit, lemak, dan dagingnya. Boa di Papua hanya ada 1 genus yaitu Candoia sedangkan python ada 3 genus yakni Morelia, Leiopython, dan Apodora. Di antara kelompok python, Morelia viridis (Condrophyton viridis) mempunyai keunikan mencolok yaitu dalam hal warna. Saat muda ia berwarna kuning, namun ketika dewasa warnanya berganti menjadi hijau. Ular tersebut juga sangat laku diperdagangkan.

Foto oleh Sekarmaji

Deretan ular yang terancam populasinya oleh perburuan dan perdagangan : Condrophyton viridis, Leiophyton albertisi, Candoia aspera, C. carinata, dan Morelia spilota.

Foto oleh Sekarmaji

Dendrelaphis dan Stegonotus merupakan contoh lain ular tak berbisa di Papua

Khusus untuk Famili Acrochordidae, anggotanya bertampang menyeramkan namun tidak berbahaya. Pupil matanya bulat dan badannya gemuk sehingga ia biasa disebut sebagai ular kadut. Kelompok ini menyukai habitat sungai dan sering ditemukan berada di tempat berlumpur. Sungai Lorentz merupakan salah satu sungai yang banyak dihuni oleh Acrochordus arafurae.

Keragaman spesis ular secara keseluruhan harus dilestarikan. Hal ini merupakan wujud tanggung jawab manusia selain manusia sebagai Kholifah fil ‘ardh dan sangat berkepentingan terhadap kelestarian ekosistem, juga bahwa ular diciptakan oleh Allah sebagai salah satu penyeimbang alam. Karena itu usaha monitoring secara berkala ataupun tindak lanjut penelitian terhadap eksistensi seluruh spesis ular oleh tenaga konservasi dan para ilmuwan akan terus diperlukan.

*) : Pengajar Biologi di SMAIT Peradaban Al Izzah Kota Sorong

dan SMA PGRI Kabupaten Sorong

Referensi

Suprijatna, Jatna (1981).Ular Berbisa Indonesia. Penerbit Bhratara Karya Aksara. Jakarta.

O’Shea, Mark (1996).The Guide to The Snake of Papua New Guinea. Independent Pubhlishing. Port Moresby.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post