Febria Zela Syabilla, M.Pd

Guru SMAS MANARUL QUR'AN PACIRAN || Ketika Kaki Harus Terus Melangkah || ...

Selengkapnya
Navigasi Web

KETIKA CINTA (1)

"Mama" Panggil bocah mungil yang lucu itu pada ibunya. Aku hanya sempat menoleh sesaat lalu beranjak dari tempat dudukku yang disekelilingnya sudah dipenuhi dengan para calon penumpang kereta. Ah rupanya keramaian membuatku sedikit jenuh hingga terkadang aku butuh sesuatu yang menenangkan.

Ku mainkan ponselku, dan kuterima chat baru dari kekasih halalku.

"Sayangku sudah sampai mana?" Bunyi chatnya disertai dengan emoticon tanda cinta.

Senang sekali rasanya, meski kerisauan masih terpahat di wajahku.

Aku bergegas membalas chat tersebut...

"Sudah sampai Stasiun sayang, tenang saja". Balasku singkat.

Setelah chatku terkirim kemudian kusimpan di tas kecilku.

***

Saat detik berlalu dan menit telah berganti, kini tibalah saatnya yang kutunggu-tunggu datang juga. Kereta pun datang dan aku serta para penumpang lainnya segera menuju ke gerbong masing-masing. Kakiku mulai melangkah dan akhirnya mataku menemukan tempat dudukku. Kuletakkan barang bawaanku di tempat barang, selanjutnya aku duduk melepas lelah. Baru saja mau memejamkan mata, kudengar ponselku berdering.

Kulihat penasaran dan kuterima panggilannya.

Assalamu'alaikum Sha,

Wa'alaikumsalam, maaf ini siapa ya?

ini aku Almira, Sha.

Oh iya iya Mira.. nomermu ganti ya..?

iya,

Sha..

Kenapa Mir? Kamu kok kayaknya sedih?

Banyak hal yang tidak bisa diceritakan lewat telpon Sha, aku ingin menemuimu.

Ya sudah, ceritakan saja nanti kalau kita ketemu ya.

Iya Sha..kapan aku bisa menemuimu?

Emm.. selepas aku bertemu dengan suamiku ya Mir. Lusa aku kabari!.

Terima kasih Sha, Assalamu'alaikum.

Wa'alaikumsalam.

Perbincangan lewat ponsel itu berakhir dengan jawaban salam dari Almira.

Aku melihat seorang di sebelah sana memandangiku dengan aneh. Aku menunduk dan menutup wajahku dengan manset. Ya aku memang tidak bercadar tapi kalau ditempat yang banyak orang seperti ini biasanya mansetku selalu kupakai. Bukan sok alim, aku hanya takut. Entah perasaan takut yang bagaimana ini, aku takut saja.

***

Rayuan hujan terus saja melemparkan aroma-aroma kenangan yang terbingkai rapi di sini. Aku jadi ingat mas Rehan. Rasanya aku sudah ingin segera bertemu dengannya. Bertemu dengan matanya dan kami saling membasuh rindu yang sama.

"Sayangku sebentar lagi sampai, mas sudah menunggu di depan stasiun". Bunyi chatnya.

Rasanya aku dilempari dengan bunga-bunga cinta yang bermekaran. Bagaimana tidak setelah seminggu pernikahan kami mas Rehan ternyata pindah kerja di kota lain. Sedangkan waktu itu aku masih menempuh pendidikanku program pasca sarjana. Jadi aku harus menerima keadaan yang seperti ini.

Kutekan keypad ponselku..

"Terima kasih sayang, rasanya aku sudah ingin mengecup rindumu." Tulisku nge gombal.

Kemudian kusandarkan kepalaku sejenak, dan kulihat romansa senja telah menari di balik kaca kereta.

Aku seperti jatuh cinta lagi. Ah rasanya sungguh berdebar.

Sepuluh menit lagi sesuai perkiraanku kereta ini berhenti dan aku sedikit bersiap dengan mengambil barang bawaanku. Setelah ada pengumuman dan kereta benar-benar berhenti. Aku sungguh berdebar, rasanya aku jatuh cinta lagi dan lagi pada suamiku. Seseorang yang kukenal dari ustadzahku. Ya, dia suamiku adalah orang yang pertama kalinya kutemui setelah ijab kobul pernikahanku.

Seperti gayung bersambut, aku berjalan menuju ke pintu keluar dan di sana sudah ada kekasihku. Ah, kenapa hatiku semakin berdebar tak karuan.

"Allah". Gumamku dalam hati.

Kucium punggung tangannya kemudian mas Rehan mengecup keningku. Akhirnya kami sama-sama berjalan menuju parkiran dimana mobil mas Rehan di parkir di sana.

Rumah mas Rehan dengan stasiun bisa dibilang tidak dekat tapi juga tidak jauh. Jarak tempuh hanya sekitar lima belas menit. Namun karena padatnya kendaraan dijalankan alhasil jarak tempuh bisa sampai tiga puluh sampai empat puluh lima menitan. Sore itu tidak terlalu padat, jadi kami bisa sampai lebih cepat.

"Sudah sampai". Ucapnya.

Aku menemui aura rumah mas Rehan seperti halnya hatiku. Bermekaran dan aku sangat senang akannya. Kulangkahkan kakiku sambil memandang taman kecil samping rumah. Kemudian beberapa saat mas Rehan menggandeng tanganku dan kami berada di ruang yang sama.

"Sayang, mamah kemarin bilang katanya ingin segera menggendong cucu". Ucapnya padaku.

Aku hanya tertunduk melas.

"Kenapa sayang?"tanyanya penuh perhatian.

Kulihat tajam sorot matanya mas Rehan. Entah mengapa tiba-tiba air mataku menetes.

Perasaan apa ini? Entahlah, tapi kali ini aku benar-benar bahagia. Namun mengapa aku masih sesenggukan di hadapan suamiku?

Di sana mas Rehan bingung denganku. Ia mengusap kepalaku dan kemudian mencium keningku. Kupegang erat tangannya kemudian kubisikan kata-kata ditelinganya. Kubisikan padanya, kusampaikan kebahagiaan ini.

Langsung saja mas Rehan memelukku. Ya, ia memelukku setelah hampir dua bulan ia menyempurnakan separuh agamanya. Sama halnya denganku, kupeluk mas Rehan erat.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post