SEPATU YANG TAK PERNAH USAI
Bendera merah putih berkibar anggun di puncak tiangnya, disaksikan oleh ratusan sosok yang berdiri tegap dengan penuh khidmat. Dalam keheningan, terdengar gemuruh sang Dwiwarna yang seolah menari bersama hembusan angin pagi. Aku berdiri di atas hamparan rumput yang luas, mengenakan seragam kebanggaanku sebagai seorang abdi negara.
Matahari perlahan merambat naik. Cahaya hangatnya membelai sebagian wajahku, memaksaku sedikit menunduk karena silau yang tak tertahankan. Ketika pandanganku merendah, mataku tertuju pada sepatuku yang hitam berkilau, cerminan dari perjalanan hidup yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Seketika ingatan masa lalu yang penuh liku kembali menghampiri, membawa aku kembali pada momen serupa, namun dengan sepasang sepatu yang berbeda. Sepatu yang lusuh dan redup, yang dulu setia menemaniku dalam setiap langkah perjuangan yang penuh derita.
Dulu aku tumbuh dalam kesederhanaan, dimana satu- satunya sepatu yang aku miliki sejak masa SMP setia menemani langkahku. Sepatu itu telah menyaksikan perjalanan bertahun-tahun hidupku, menjadi saksi bisu dari harapan dan perjuangan. Ayah selalu memilihkan barang dengan ukuran lebih besar, katanya agar bisa menyertai pertumbuhanku hingga dewasa kelak. Namun, aku tak pernah mengeluh karena aku memahami betapa rapuhnya kondisi ekonomi keluarga kami saat itu.
Aku teringat saat ayah dan ibu berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan. Begitu banyak pengorbanan yang mereka lakukan meski harus menahan lelah dan lapar. Suatu malam saat ingin makan, hanya ada sepiring nasi dan sepotong telur dadar yang telah digoreng sejak tadi siang. Aku menatap nasi itu, lalu berbisik lirih.
“Bu, apakah nasinya cukup untuk kita berempat?”
Ibu yang sedang mengelap piring menghentikan gerakannya sejenak, menatapku dengan tatapan penuh kasih sayang.
“Adi, bagilah nasi itu untukmu dan adikmu. Ibu dan Ayah sudah kenyang.” Ucapnya dengan suara lembut.
Aku tahu, kenyang yang dimaksud Ibu bukanlah karena perut yang penuh, melainkan hati mereka yang selalu penuh oleh cinta dan pengorbanan. Tanpa ragu ia rela menahan lapar demi melihat anak-anaknya tersenyum meski dalam keterbatasan. Tanpa berkata apa-apa, aku mengangguk. Aku menyadari betapa besar cinta yang mereka curahkan untuk kami, anak-anaknya.
Kenangan masa sekolahku dihiasi oleh langkah-langkah kecil yang panjang karena keterbatasan biaya. Sebelum matahari menampakkan cahayanya, aku sudah bangun untuk bersiap – siap pergi ke sekolah karena jarak rumahku ke sekolah cukup jauh.
“Di, kamu kok terlambat terus sih? Bapakmu gak ngasih ongkos angkot?” tanya Raka, teman sekelasku, saat aku tiba di sekolah kelelahan.
“Enggak kok, aku lebih suka jalan kaki, kan lebih sehat.” Jawabku dengan senyum miris.
Tidak semua teman di sekolah mengerti keadaanku. Terkadang, aku harus menghadapi ejekan dari beberapa teman karena sepatu dan pakaianku yang lusuh. Bagaimana tidak, sepatu ini terlalu lelah menemani langkahku menapaki jarak yang cukup panjang setiap harinya, dan pakaianku selalu basah oleh derasnya keringat yang mengalir di kulitku.
“Di, kamu gak malu ya? Rasanya belum pernah aku melihatmu berpenampilan rapi ke sekolah.” Cibir Denis, salah seorang teman, dengan nada merendahkan.
“Lihatlah! Jempol kakimu menyembul keluar dari lubang sepatumu. Sudah waktunya sepatu tuamu itu di ‘lem biru’. DiLEmpar, beli yang baRU.” Ejeknya diikuti gelak tawa teman-teman lain.
Tak bisa dipungkiri, seringkali rasa iri menyelinap di hatiku saat melihat teman-temanku melangkah dengan sepatu-sepatu barunya yang terlihat mewah. Mengapa nasibku tak seindah mereka? Ada kalanya rasa malu merayapi diriku saat berdiri tegak dalam barisan upacara. Sepatuku, dengan sisi-sisi yang berlubang dan warna yang telah memudar, tampak begitu mencolok di antara deretan sepatu lain yang masih segar. Terkadang aku mencoba menyembunyikan ujung sepatuku di balik celana seragam yang sedikit kepanjangan, berharap tak ada yang memperhatikan. Aku bertekad suatu saat nanti aku akan mengenakan sepatu baru seindah milik teman-temanku.
Siapa bilang aku tak pernah menangis? Aku hanyalah seorang remaja yang masih rapuh. Tentu saja aku pernah menitikkan air mata dalam sepi, meratapi nasib keluargaku, dan merasa seolah Tuhan tak adil. Tapi sebagai anak laki-laki, aku berusaha keras untuk tidak menunjukkan kesedihan, terutama di hadapan teman-temanku. Pernah pula terlintas keinginan untuk membuang sepatu jelek ini. Aku sudah muak memakainya. Kakiku terasa perih karena solnya telah menipis. Namun apa daya, ini satu-satunya sepatu yang aku miliki. Aku masih membutuhkannya untuk menemaniku ke sekolah. Maka dari itu, aku memutuskan untuk berjuang lebih keras hingga mampu mewujudkan segala impianku.
Di tengah perjuangan itu, aku dihadapkan dengan kehilangan yang begitu mendalam. Suatu hari, ayah mengalami sakit yang cukup parah sehingga harus dirawat di rumah sakit. Tagihan medis kian membengkak setiap harinya, membuat ibu terpaksa menjual beberapa barang berharga untuk membayar biaya tersebut. Suatu malam, setelah beberapa hari di rumah sakit, wanita cantik bermata sendu yang telah melahirkanku itu terisak di pelukanku.
“Maafkan Ibu, Nak. Kita tidak punya cukup uang. Ayahmu tidak bisa lagi berada di sini.” Bisiknya dengan suara lirih dan penuh duka.
Pada akhirnya, ayah pergi meninggalkan kami dengan kesedihan yang tak akan pernah sirna sepenuhnya. Air mata mengalir di pipiku.
“Ibu, kita harus terus berjuang. Ayah pasti ingin kita melanjutkan hidup dengan semangat seperti yang ia miliki dulu.” Ucapku dengan suara yang masih bergetar, berusaha menerima kenyataan pahit ini
Kehilangan itu menghantamku begitu keras. Aku harus berjuang untuk tetap fokus pada studiku sambil membantu ibu bekerja untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Pagi-pagi buta, aku membantunya berjualan di pasar sebelum berangkat ke sekolah. Di malam hari, aku belajar di bawah lampu minyak yang temaram, berjuang meraih impian di tengah bayang-bayang malam. Tidurku seolah hanya selingan singkat, karena saat bulan merangkak turun, aku harus kembali bergulat dengan kesibukan, menyiapkan dagangan untuk dibawa ke pasar esok hari.
Meski dalam himpitan kemiskinan, aku memiliki impian besar menjadi seorang polisi. Terkadang keraguan muncul dalam pikiranku, bagaimana bisa aku bersaing dengan ribuan orang yang memiliki harta di luar sana, sedangkan aku bermodalkan tekad saja? Sementara di zaman sekarang ini, seolah segalanya dapat ditukar dengan uang, membuat kami yang tak berpunya terperangkap dalam ketidakpastian. Namun, ibu selalu menguatkanku. Ia tak pernah bosan mengingatkan agar aku tetap teguh pada tujuan, meski jalan yang harus kutempuh penuh rintangan.
Ujian masuk akademi kepolisian sangatlah berat. Aku harus menghadapi tes fisik yang melelahkan dan ujian mental yang sangat menegangkan. Semua itu membuatku merasakan tekanan yang sangat besar hingga dalam salah satu sesi latihan, aku nyaris menyerah. Tubuhku mulai melemah, fokusku mulai goyah.
“Aku tidak bisa terus seperti ini.” Bisikku menguatkan diri yang hampir putus asa.
Instruktur kami, Pak Hartono, yang melihat keputusasaanku, menghampiri dengan langkah tegas.
“Adi, kenapa kamu terlihat begitu putus asa?”
Aku menjelaskan rasa lelah dan beban emosional yang kupikul. Pak Hartono memandangku dengan penuh empati. Wajahnya sangar, namun sorot matanya menenangkan.
“Adi, setiap orang punya perjuangannya masing-masing,” ucapnya bijak.
“Dari ribuan peserta di sini, bukan hanya kamu yang tengah berjuang, mungkin ada yang menanggung beban lebih berat darimu.” Ia terdiam sejenak sambil berbalik badan.
”Adi, jangan biarkan kesedihanmu itu menggoyahkan tekadmu. Hanya mereka yang tetap bertahan di tengah kesulitan yang akan mencapai puncak keberhasilan.” Sambungnya sambil berjalan perlahan menjauhiku.
Nasihat itu menyalakan kembali bara semangatku yang hampir padam. Dengan tekad yang tak lagi goyah, aku terus berlatih dengan penuh kegigihan. Setiap kali aku merasa lelah, aku memikirkan perjuangan keluargaku dan semua kesulitan yang telah kulalui. Akhirnya, berkat kuasa Allah, aku berhasil diterima di akademi kepolisian, mewujudkan impian yang dulu hanya berani kurangkai dalam angan.
Hari yang kunanti pun akhirnya tiba. Aku melangkah dengan jantung berdebar, menjemput takdir yang telah digariskan. Di bawah langit yang seolah turut menyaksikan, aku dilantik sebagai seorang polisi. Aku merasa seperti beban yang selama ini menghimpit bahuku akhirnya terangkat. Kini seragam kebanggaan ini melekat di tubuhku yang tegap. Sepatu yang kukenakan pun telah berganti rupa, menjadi sepasang sepatu yang gagah tanpa ada lagi celah. Dalam momen itu, aku merasa sangat bangga dan bersyukur atas segala pencapaian yang kudapatkan.
Di bawah bendera merah putih ini, aku mengenang segala pengorbanan yang mengantarkanku ke tempat ini. Sepatu bolongku itu masih kusimpan rapi sebagai pengingat perjalanan hidupku. Kelak, akan kuceritakan kisah perjuanganku melalui sepatu itu kepada anak-anakku, agar mereka tahu betapa gigihnya aku menggapai impian, meski dalam keterbatasan.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar