Siswi Mardiastuti

Lahir di sebuah desa di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah 48 silam. Kesehariannya momong anak-anak umur belasan. Saat ini sedang bekah-bekuh nulis, nulis dan...

Selengkapnya
Navigasi Web
BISA KARENA BIASA

BISA KARENA BIASA

BISA KARENA BIASA

#H28

By Dias Toeti

Mita duduk tertegun di meja makan. Di hadapannya tersaji sepiring lontong sayur. Dua potong tempe mendoan di atas cawan kecil. Dan segelas besar air putih.

Mita masih tak habis pikir, mengapa selalu berada jauh di belakang Hanun. Meski sudah berusaha dengan sekuat tenaga, tetap saja tak bisa mendahuluinya. Jangankan mendahului, berada di belakangnya sejengkal saja tak kesampaian.

Ini memang bukan perlombaan. Bukan untuk memperoleh kejuaraan. Hanya memanfaatkan waktu agar tak terbuang begitu saja. Tapi Mita tetap penasaran.

*

Semenjak sekolah di rumah saja, seminggu tiga kali Mita bersepeda bersama Hanun. Remaja yang bercita-cita menjadi hafizah itu sengaja memilih waktu bersepeda hanya tiga kali. Selebihnya untuk menghafalkan Al Qur'an. Bahkan sepulang bersepeda kadang juga disempatkan menghafal.

Berbeda dengan Mita, bersepeda bagi Hanun merupakan hal rutin yang harus dilakukan. Memang itu salah satu kegemarannya. Saking gemarnya, ia rela mengumpulkan uang untuk membeli barang-barang yang bisa mempercantik penampilannya dalam bersepeda. Seperti kaos, topi, helm, kacamata, dan sepatu.

"Mita…" Ibunya menyapa lembut sambil menghempaskan tubuh kurusnya ke tempat duduk yang berada di sebelah Mita.

Mita bergeming, pandangannya lurus ke depan. Pikirannya entah kemana.

"Kenapa itu belum dimakan?"

"Bentar, Bu….Be.. Belum laper." jawab Mita agak tergagap.

"Nggak haus juga?" tanya ibunya kemudian.

"Owh, iya…" sahut Mita sambil menepuk jidatnya sendiri.

Lantas Mita meraih gelas besar di depannya. Baru saja akan menempelkan bibir gelas ke bibirnya, ia melihat ada sesuatu di permukaan air. 'Kecipak-kecipuk'. Rupanya lalat berenang. Eh bukan berenang, tapi tengah berjuang menyelamatkan diri.

Spontan gelas itupun ditaruh kembali di meja. Lalu Mita mengambil sendok kecil dari tempat sendok yang berada tak jauh dari gelasnya. Untuk mengangkat lalat yang sedang terjebak itu.

"Nah, lain kali jangan renang di air minumku lagi ya!" Mata Mita mendelik ke arah binatang kecil yang tergolek lemah di sendok yang dipegangnya. Tak lama kemudian ia berdiri dan menenteng gelas yang berisi air yang kemasukan lalat tadi.

"Eits, itu gelasnya mau dibawa ke mana?" Telunjuk ibunya menunjuk gelas yang berada di tangan Mita.

"Ke tempat cucian piring." sahut Mita.

"Sini… Sini… Taruh sini dulu!" Ujung jari-jari ibunya memukul-mukul pelan tepian meja makan.

"Kan udah kotor, Bu. Ini mau Mita buang."

"Jangan dibuang!"

"Ih, jijiklah Bu…" Mita duduk kembali sembari sudut bibirnya menurun.

"Kamu belum pernah dengar atau baca sebuah hadist tentang lalat yang masuk ke dalam minuman?"

"Belum…" Mita menggelengkan kepalanya.

"Sejauh yang Ibu ingat, begini… Nabi bersabda, apabila seekor lalat masuk ke dalam minuman salah seorang kalian, maka celupkanlah ia, kemudian angkat dan buanglah lalatnya sebab pada salah satu sayapnya terdapat penyakit dan pada sayap lainnya ada obatnya."

Bibir Mita sedikit terbuka mendengarkan pembeberan ibunya. "Jadi airnya boleh diminum?"

"Iya, jika lalat jatuh ke dalam minuman kita. Jangan ragu untuk mencelupkan seluruh tubuhnya. Dan… Kebersihan minuman tersebut tetap terjaga."

"Oh, begitu ya. Baru tahu…" Mita menempelkan jari telunjuknya yang lentik dan runcing ke jidatnya.

"Mit, ngomong-ngomong dari tadi Ibu perhatiin kayaknya ada yang lagi kamu pikirin ya?"

"Kok Ibu tahu?"

"Tahu dong… Ayo ceritakan…"

Mita diam sejenak. Ia bingung, mau mulai dari mana ceritanya.

"Gini Buk... Ke.. Kenapa ya… Aku tuh kalo sepedaan sama Hanun, selalu ketinggalan jauh di belakangnya?" ujar Mita dengan nada melemah. Ujung kalimatnya tak terdengar begitu jelas.

"Gimana, Sayang? Selalu ketinggalan jauh di belakang Hanun ya?" Ibunya mengulang kalimat yang diucapkan Mita.

"Iya."

"Ya wajar dong, Hanun kan udah tiap hari sepedaan."

"Loh… Maksudnya?" Mita belum juga mengerti.

"Hanun itu kan udah sering sepedaan… Jadi pasti dia udah pinter gimana ngayuh sepeda yang bener. Udah trampil mindahin gigi. Dan udah jago ngatur remnya juga. Begitu loh sayangku..."

Mita manggut-manggut menyimak penjelasan ibunya.

"Yakinlah, kamu juga pasti bisa seperti Hanun. Asal sering berlatih aja." Ibunya menepuk-nepuk punggung Mita. Menyemangati.

***

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kereeen cerpennya, Bunda. Salam literasi

14 Nov
Balas

Terima kasih, Pak Dede.

14 Nov
Balas

Terima kasih, Pak Dede.

14 Nov
Balas

Terima kasih, Pak Dede.

14 Nov
Balas

Terima kasih, Pak Dede.

14 Nov
Balas

Terima kasih, Pak Dede.

14 Nov
Balas



search

New Post