Siswo Saroso

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Narti

Narti

Penulis Siswo Saroso

#Tagur hari ke 393

Tiba-tiba terlihat bayangan datang menghampiri. Aku mencoba membuka mata lebih lebar. Berharap bayangan itu semakin jelas. Tapi gagal. Bayangan itu tetap hitam tak mampu ku kenali. Namun, sepintas mengingatkanku pada seseorang tigapuluh tahun yang lalu. Samar-samar dari rambutnya yang terurai. Mirip Narti, seorang gadis yang pernah mampir dalam hidupku.

***

"Mas, aku. pingin anak pertama kita laki-laki. Siapa ya nama yang paling cocok untuk jagoan Kita?", suara Narti lembut bersandar di bahuku. Sore itu terasa indah. Pelangi di matanya tampak begitu teduh. Memberikan harapan besar seorang ibu dari anakku. Aku tak menjawabnya. Pikiran ku jauh melayang entah kemana. Membayangkan hidup bahagia berdua bersama. Membesarkan dan mendidik anak-anak sampai menghantarkannya dewasa.

Secara ekonomi Aku bisa dibilang belum mapan. Tapi lumayan udah bekerja di suatu perusahaan swasta. Selain untuk kebutuhan sendiri, sebagian aku kirim untuk kebutuhan ibu di kampung. Aku juga harus membantu menyelesaikan sekolah ketiga adikku. Ayah sudah lama meninggal saat aku masih SMP. Praktis dengan pensiuan ayah, ibu membiayai sekolah sampai aku lulus sarjana. Sebuah perjuangan berat yang tak mungkin bisa membalasnya. Hanya ridho dan keikhlasannya yang selalu kuharapkan.

Narti, waktu itu masih semester lima. Aku bertemu dengannya saat mengerjakan tugas kuliah di rentalku. Dulu Akuku sempat punya rental komputer saat masih kuliah. Bersama teman sekost mencoba membuka usaha pengetikan dan rental komputer. Alhamdulillah, walau hasilnya tidak terlalu besar. Cukup untuk biaya hidup dan sedikit membayar uang kuliah. Sekaligus untuk belajar mandiri.

Kost Narti tidak jauh dari rental komputer yang Aku kelola. Maka setiap ada tugas selalu mengerjakannya di tempatku. Sambil belajar komputer waktu itu. Seringnya bertemu hingga suatu saat tiba-tiba hati merasakan ada yang lain. Aku mencoba meyakinkan diriku. Benarkah Aku ada hati pada Narti. Atau hanya sekedar kasihan melihat dia mengerjakan tugas sendiri tak ada yang membantunya. Setiap datang Aku selalu menanyakannya koq sendiri. Dan jawabnya selalu sama, ya mas. Dari itulah Aku mulai menduga dan berharap bahwa Narti belum punya pacar.

Butuh waktu agak lama untuk berani bertanya pada Narti tentang pacarnya. Kadang saat memberanikan diri ingin bertanya. Tiba-tiba muncul keraguan lagi. "Tida ada kuliah Dik", tanyaku sama Narti yang sejak pagi sudah sibuk mengetik tugas. "Oh, tidak. Hari ini kosong", jawab Narti agak terkejut. Aku mencoba duduk disampingnya. Sambil menawarkan diri untuk membantunya.

**

Hubunganku dengan Narti baik-baik saja. Kami ketemu sebulan sekali saat Aku mengunjungi di kosnya awal bulan. Sekalian mengajaknya jalan-jalan setelah mendapatkan gajian sebulan. Kami berjanji untuk hidup bersama. Membangun mahligai rumah tangga yang sakinah mawadah dan warohmah. Aku harus menunggunya dua semester lagi. Karena saat ini masih semester enam. Semoga kuliahnya lancar dan wisuda sesuai waktunya.

Dua semester telah berlalu. Saatnya Narti wisuda. Ada rasa bahagia dan terharu. Karena untuk bisa kuliah bukan masalah gampang. Narti bukan dari keluarga kaya raya. Tapi dari keluarga sederhana. Untuk bisa kuliah membutuhkan perjuangan yang kuat. Ibunya hanya pedagang sayur keliling dengan penghasilan yang pas-pasan. Sedang ayah Narti bekerja di luar kota sebagai kuli bangunan. Semangat bapak dan ibunya ingin mempunyai anak bisa kuliah. Membuat kedua orang tuanya bekerja lebih keras. Selain membiayai Narti. Kedua orang tuanya juga mensekokahkan kedua adik Narti yang masih SD dan SMP. Besar harapan mampu mengubah nasib lebih baik dari kedua orang tuanya.

Usiaku sudah cukup matang untuk menikah. Ibu selalu menanyakan kapan segera menikah. Ibu selalu mengatakan ingin segera menggendong cucu. Sementara untuk menikah Aku masih belum punya keberanian. Semuanya disebakan karena rasa tanggungjawab agar kedua adikku bisa tetap bisa sekolah dan kuliah sepertiku. Aku tak ingin kedua adikku hanya lulusan SMA. Sementara dengan susah payah ibu membiayai kuliahku sampai lulus sarjana.

Di sisi lain usia Narti juga semakin tua. Sebagai seorang perempuan tentu usia menjadi pertimbangan penting. Keluarganya selalu mendesak untuk segera menikah. Orang tuanya takut Narti menjadi perawan tua. Apalagi hidup di desa. Gadis seumuran Narti sudah menikah semuanya. Karena mereka rata-rata hanya lulusan SMP dan SMA. Narti menjadi satu-satunya perempuan di desa yang bisa melanjutkan sampai perguruan tinggi.

Keraguan dan kebimbangan selalu menyelimuti pikiranku. Aku ingin adik-adik bisa kuliah. Disisi lain orang tuaku dan orang tua Narti mendesak segera menikah. Ekonomi menjadi alasan utama untuk tidak segera menikah.

Hari berganti hari. pikiranku semakin kalut. Aku dipaksa untuk segera mengambil keputusan.

Tiga bulan terakhir pekerjaan di perusahaan sangat padat. Rasanya tidak waktu untuk istirahat. Setiap hari harus lembur. Bahkan hari libur aku masih tetap masuk untuk mengejar target perusahaan. Hingga praktis tidak sempat ada komunikasi dengan Narti.

Sore menjelang magrib hujan gerimis mengantarkan malam. Dinginnya udara serasa menembus ke tulangku. Aku ambil sebatang rokok agar menemaniku dalam kesendirian. Tiba-tiba terlihat sepeda motor berhenti dihalaman depan rumah. Tampak dengan jelas seorang perempuan memakai jas hujan turun, setelah memarkir sepedanya. Di depanku persis. Perempuan itu membuka jas hujan. Betapa terkejutnya aku. Ternyata Narti, bersepeda motor sendiri di saat hujan dengan menempuah jarak kurang lebih 125 km.

Ingin aku peluk karena 3 bulan tak ada komunikasi. Tapi rasa takut dan bersalah yang membuatku tetap berdiri terpaku diam. Dalam beberapa waktu kami saling pandang dan terdiam. Dengan sorot mata kosong tanpa makna. Sejurus kemudian Aku tersadar. Segera melepaskan dan mengambil jas hujan yang dikenakan Narti. Kami duduk teras rumah. Saling berhadapan. Kuberanikan diri memegang kedua tangannya yang dingin. Terlihat jelas ada kesedihan diraut wajahnya.

"Maafkan aku bila selama ini tak memberikan kabar", kalimatku datar membuka pembicaraan. Tanganku masih memegang kedua tangannya. Tak ada suara yang keluar dari kedua bibirnya yang mungil.

"Oh nak Narti", suara ibu mengagetkanku. Aku segera melepaskan genggaman tanganku. Narti segera mencium tangan dan pipi ibu. Dan kembali duduk. "Nak Narti naik apa kesini", tanya ibu. "Naik sepeda motor Bu", jawab Narti pelan. "Dengan siapa", kembali ibu bertanya. "Sendiri". "Sendiri?", jawab ibu seperti tak percaya. Ibu kembali masuk ke dalam.

"Mas, bapak dan ibu memaksaku untuk segera mengambil keputusan. Kapan Kita menikah", kalimatnya pelan namun langsung menghujam ke dalam hatiku yang paling dalam. Jantungku bergetar, nafasku agak terasa berat. Bibirku terasa terkunci. "Kalau tidak ada keputusan, Aku akan di jodohkan dengan anak Pak Lurah", kembali suaranya mengetarkan jiwaku. Aku semakin kalut dan tak mampu berfikir jernih. Tak ada kata yang mampu kuucap saat itu. Dan Aku terdiam lemah.

***

"Papa Kita udah siap", Aku terkejut, suaranya membuyarkan lamunanku. Tangannya yang manja memelukku dari belakang. Sambil berkata lirih. "Mama sangat sayang Papa".

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post