Siti Fatimah

Alumnus PPS UNNES bekerja di SMP 2 Kudus sejak tahun 1995 Mata Pelajaran IPA...

Selengkapnya
Navigasi Web
My Diary on Penang #1(Naik Ojek ke Ibukota)

My Diary on Penang #1(Naik Ojek ke Ibukota)

Kudus, 30 Oktober 2010

(Naik Ojek ke Hotel Jayakarta)

Rasanya ingin tertawa mengenang kisahku ini. Saat itu aku mendapatkan surat dari Kemendikbud. Isi suratnya tentang perintah mengikuti workshop yang akan dilakukan di Malaysia selama kurang lebih satu bulan. Untuk mengikuti pelatihan ini, semula aku sudah membuat kesepakatan dengan teman-temanku dari Jawa Tengah antara lain Bu Dian, Bu Nurul, Listyowati, dan Bu Pontjowati untuk berangkat ke Jakarta naik pesawat. Menurut informasi dari Bu Lis, harga tiket saat itu empat ratus lima puluh ribu. Tanpa pikir panjang aku menyetujui untuk ikut bersama mereka saat keberangkatan. Keesokkan harinya, Bu Lis memberi informasi bahwa harga tiket menjadi dua kali lipat karena akhir pekan. Dia menanyaiku “Bu guru, jadi ngikut berangkat bareng naik pesawat atau tidak?”

“Aku gak jadi ikut Bu Lis, harga tiketnya mahal. Uangku tidak cukup.”Jawabku

“Gak ikut beneran Bu guru? Nanti nyesel lho. Kalau masalah harga tiket yang mahal, nanti kan akan diganti dari Direktorat. Tenang saja. Apa saya pinjami dulu untuk membayar tiketnya?kata Bu Lis membujukku lewat telepon.

“Maaf Bu Lis, Aku gak jadi gabung. Selain tiketnya mahal, untuk berangkat menggunakan pesawat juga ribet.” Jawabku sambil membenahi baju-baju yang akan kubawa selama pelatihan.

“Ribet gimana Bu Guru?” tanya Bu Lis.

“Ribet ya ribet bu Lis. Coba bu Lis bayangkan, kalau aku berangkat naik pesawat, aku harus naik bis ke semarang dengan membawa beban yang berat. Lebih enak naik bis dari Kudus bu Lis. Sekali naik, dah langsung sampai ke Jakarta.”Jawabku.

“Oo…gitu. Ya sudah bu Guru, selamat menikmati tidur di bis Ya. Samapi ketemu di Hotel Jayakarta.” Kata bu Lis.

“Oke bu Lis, titidije ya.” Jawabku.

Aku akhirnya memutuskan untuk berangkat ke Jakarta dengan bis. Ini adalah kali pertama aku ke Jakarta menggunakan bis.

Aku berangkat dari rumah sekitar pukul lima sore menuju ke tempat mangkalnya bis malam. Sesampai di sana, kulihat bis sudah dipenuhi oleh penumpang, dan aku pun bergegas naik. Kucari tempat dudukku, kursi nomor 26. Aku bersebelahan dengan seorang pemuda ganteng, selama perjalanan dia asyik dengan game online di HPnya. Jadi praktis, selama perjalanan kami tidak berbincang sedikitpun. Kami tenggelam dengan kesibukan dan lamunan kami masing-masing.

Selama perjalanan, aku membayangkan hal yang mengerikan terjadi. Bagaimana tidak? Aku belum pernah ke Jakarta sendiri. Kata orang di Jakarta banyak jambret, copet, dan kejahatan lainnya. Kalau aku sampai sana, gak kenal siapapun, terus bagaimana? Aku juga belum pernah tahu dimana letak hotel Jayakarta itu. Yang aku tahu hotel Jayakarta terletak di Jalan Majapahit. Entah dimana Jalan Majapahit itu. Google Map pun tak punya, karena HP yang kumiliki HP jadul yang hanya bisa untuk telepon dan SMS.

Pikiran-pikiran jelek selalu membayangiku, sehingga menyebabkan mataku tidak dapaat terpejam selama perjalanan.

Ketika pak kenek bis melintas di sepanjang koridor bis aku mencoba menanyakan tentang kapan bis sampai Jakarta.

“Pak, kira-kira nanti sampai Jakarta jam berapa?

“Sekitar jam 4.30 Bu.”jawabnya.

Pikiranku semakin tidak tenang mendengar jawaban pak Kenek itu. “Jam setengah lima di Jakarta, berarti sampai di sana masih gelap. Terus bagaimana nanti di sana. Sanak kadang gak punya.” Begitulah berbagai bayangan jelek berkecamuk diotakku.

Bis pun terus melaju, dan pikiranku pun selalu dibayangi dengan ketakutan. Kemacetan demi kemacetan aku lalui selama perjalanan, dan hal ini membuat kedatanganku ke Jakarta tertunda hingga hampir jam enam pagi.

“Alhamdulilah, karena macet aku sampai di Jakarta sudah terang benderang.” Kataku dalam hati.

Aku pun turun dan mencari tempat untuk sholat subuh di area pool bis, yang terletak di Jalan Daan Mogot Jakarta. Aku berdoa semoga diberi kelancaran dan keselamatan dalam perjalananku. Setelah itu, aku berjalan ke sebuah warung kecil yang terletak di tepian empang. Cukup ramai orang yang sarapan di warung itu. Aku pun membeli sarapan untuk sekedar mengganjal perut dan menghangatkan tubuh dengan segelas teh hangat. Aku coba bertanya kepada ibu pemilik warung itu. “Bu, kalau mau ke hotel Jayakarta arahnya ke mana ya?” tanyaku.

“Wah …masih jauh Bu, kalau naik taksi bisa sampai 200 ribu, tapi untuk mendapatkan taksi di sini susah Bu.” Jawabnya.

“Terus gimana ya Bu kalau mau sampai sana. Saya benar-benar tidak tahu jalan di jakarta?” tanyaku sambil menikmati nasi dan telur dadarku.

“coba Ibu nanti minta tolong sama pak Sopir bis saja. Suruh carikan tukang ojek. Kalau yang cari pak Sopir Bis, Insyaallah baik Bu orangnya.” Katanya sambil memberikan bapak-bapak yang duduk di sebelahku.

“Ya, Bu. Makasih. Berapa harga sarapan saya bu?” tanyaku.

“Tujuh ribu lima ratus, Bu.” Jawabnya.

“Kok murah, di Ibukota sekali sarapan hanya tujuh ribu lima ratus.” Kataku dalam hati.

Setelah membayar, aku bergegas untuk mencari pak Sopir Bis yang berada di Pool.

“Pak, Bisa minta tolong?” tanyaku padanya.

“Ada apa Bu?” tanyanya padaku.

“Begini, saya kan mau ke Hotel Jayakarta, yang terletak di jalan Majapahit. Kata Ibu warung, untuk ke sana lebih enak naik ojek daripada naik taksi. Bisa tolong carikan tukang ojek, pak?” jelasku pada Pak sopir.

“Oo..iya Bu. Memang disini agak susah cari taksi. Lagian jarak ke Jalan Majapahit masih jauh, jadi lebih murah pake ojek. Sebentar ya Bu, saya carikan ojekan” jawab Pak sopir.

Selang lima belas menit, datang seorang pengendara motor berwana hitam, yang agak kusut, dengan mengenakan jaket warna hitam dan kacamata hitam menghampiriku.

“Mari Bu, mau ke Majapahit ya? Tanya pak Ojek padaku.

“Ya, Pak.” Jawabku.

“ Berapa tariff kalau naik ojek ke sana Pak? Tanyaku padanya.

“Tiga puluh ribu Bu? Jawabnya.

“Mahal amat Pak, gak boleh kurang? Dua puluh ribu ya pak.” tanyaku lagi.

“Ya. Boleh. Mari Bu, naik.” Jawabnya sambil mempersilakan aku naik di jok motor buntutnya.

Aku pun naik, dan membayangkan bagaimana naik ojek ke ibukota ya.

Bersambung….

Cikfat.03.10.2018

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Menemukan ide menulis dari memory foto ya bu, mantabs

03 Oct
Balas

Iya pak guru. Mengenang masa lalu. Semoga bisa dibukukan. Barakallah pak guru.

03 Oct

Kayaknya bakalan seru nih...ditunggu eisode berikutnya

03 Oct
Balas

Hehehe.... sabar Bu Dyahni

03 Oct

Asssyyiiik....cikgu. Begitu memang, menulis pengalaman yang dialami sendiri...mengalirrrr. Salam sehat dan sukses selalu. Barakallah...cikgu.

03 Oct
Balas

Ya Bun. Cerita yang sangat berkesan di hati, selalu membekas walau sudah delapan tahun yang silam.

03 Oct

Wow asyik juga bu ceritanya

03 Oct
Balas

Makasih Bu Siti Ropiah

03 Oct

Weh asyiknya bernostalgia, keren tulisane.

03 Oct
Balas

Nostalgia.... tulisannya menggila. Hehe

03 Oct

Bagaimana kelanjutan perjalanan Cikgu Fat...kita tunggu saja ya.....Muantaps...Lanjuuut....

03 Oct
Balas

Tunggu kelanjutan ngojeknya Bu Rini

03 Oct



search

New Post