Waktu begitu cepat berlalu. Rasanya, baru kemarin engkau duduk di pangkuanku. Menangis dan merengek meminta sesuatu. Lalu tersenyum ketika benda itu sudah di tanganmu.

Anakku, dua puluh dua tahun sudah usiamu. Namun, seperti baru kemarin aku menggendongmu. Menepuk lembut punggungmu, saat kantuk mulai menyergapmu. Dan engkaupun terlelap dalam tidurmu.

Waktu bagaikan anak panah, melesat cepat tanpa bisa kucegah. Sebagaimana dulu, engkau menangis ketika kutinggalkan di depan pintu pondok pesantren. Masih sebelas tahun umurmu saat itu. Masih manja dan belum bisa mandiri, namun aku harus mengikhlaskanmu menimba ilmu. Sebab aku ingin membekalimu dengan ilmu sebanyak-banyaknya.

Anakku, lupakan setiap kenangan buruk tentangku. Tentang setiap kalimat yang terlontar di mulutku. Tentang sikap yang tidak engkau inginkan, namun harus tetap menjadi pilihan.

Jika mungkin kita mengulang kembali, kan kulewati hari-hari yang lalu, sekali lagi. Tanpa ada helaian kesalahan dariku. Namun apalah dayau, waktu tlah merenggut egitulah waktu membawa takdir.

Anakku, melihatmu saat ini bagai memandang cakrawala. Begitu indah Sang Pencipta menganugerahkanmu padaku. Membersamai hari-harimu dalam suka, duka dan segala cerita di dalamnya.

Kini, kembali kupandang dirimu. Tak kutemukan tubuh mungilmu seperti saat itu. Engkau yang sekarang, bukanlah engkau yang dulu. Ah, waktu telah merenggutmu dariku.

------

Jembrana, 7 maret 2022