Siti Nurjanah, S.Pd., M.Kes

Assalamualaikum warahmatullaahi wabarakaatuh. Aku adalah: - seorang istri - ibu dari tiga anak - guru SMA Negeri 1 Rembang - assesor Jabfung guru SMA Prop ...

Selengkapnya
Navigasi Web
BIOTEKNOLOGI LEGEN  DALAM MITOS DAN ETNOSAINS

BIOTEKNOLOGI LEGEN DALAM MITOS DAN ETNOSAINS

Sebuah media, Berita Rembang, (2012) memberitakan bahwa minum legen yang kurang higienis, 30 warga Dukuh Bayon Desa Woro RT.02/RW IV Kecamatan Kragan keracunan. Ini adalah sebuah kasus yang mengajak kita agar selalu cermat dalam mengkonsumsi makanan ataupun minuman.

Legen adalah nama minuman tradisional yang banyak ditemukan di sekitar wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Minuman tersebut diambil dari bagian bunga berbentuk sulur (manggar) tanaman siwalan, bogor atau lontar (Borassus flabelliformis L). Selain sebagai penghilang rasa haus, masyarakat percaya bahwa legen bisa membuat nyaman perut saat menjalankan ibadah puasa, menyembuhkan gangguan maag, dan ginjal. Namun manfaat tersebut belum terbukti secara medis.

Dari tradisi menyadap legen, masyarakat Rembang mengenal pula pengolahannya menjadi tuak dan cuka secara tradisional. Penulis akan mendeskripsikan beberapa mitos dan asumsi masyarakat sekaligus memberikan pengetahuan yang benar tentang penyediaan legen dan cara pengolahannya sesuai dengan ilmu bioteknologi. Mengaplikasikan mitos dan asumsi yang tidak benar seputar penyediaan makanan dapat merugikan karena membawa dampak buruk bagi yang mengkonsumsinya. Pengetahuan yang benar akan membawa kebaikan bagi kehidupan manusia.

Sebagai seorang pendidik, penulis berharap besar kepada peserta didik sebagai bagian dari agen informasi bagi sekitarnya. Untuk itu perlu diupayakan perkembangan pengetahuannya dengan baik untuk meluruskan pemahaman dengan konteks ilmiah di lingkungannya.

ANALISIS

1. Pengembangan Etnosains dalam Pembelajaran

Kata ethnoscience (etnosains) dalam tulisan Tandililing (2014) berasal dari kata ethnos (bahasa Yunani) yang berarti bangsa, dan scientia (bahasa Latin) artinya pengetahuan. Dalam hal ini penulis memberikan pemahaman bahwa etnosains merupakan pengetahuan yang dimiliki oleh suatu komunitas budaya di masyarakat. .

Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dn teknologi mempengaruhi perkembangan sains. Hal tersebut akan melahirkan sains formal. Di lain pihak di lingkungan tradisional terbangun pengetahuan asli. Pengetahuan asli tersebut berupa pesan, adat istiadat yang diyakni oleh masyarakatnya, dan disampaikan secara turun temurun, tentang bagaimana harus bersikap terhadap alam.

Mengkaji secara khusus tentang pengetahuan asli (indigenous knowledge) di suatu masyarakat sangat penting karena dapat menjadi jembatan untuk menuju ke sains yang formal. Kita akan menemukan berbagai proses pemecahan masalah untuk sebuah kehidupan yang lebih baik dan sejahtera di masyarakat. Hal tersebut terjadi melalui teknologi.

2. Sejarah Unsur Budaya

Bermodalkan struktur ekologi kecamatan Sulang, Kabupaten Rembang, warga setempat membangun kebudayaannya dari dulu hingga kini. Menjamurnya pohon Siwalan/lontar, atau bogor, dimanfaatkan warga setempat dari generasi ke generasi untuk sumber ekonomi. Kapan pastinya penduduk Rembang mengenal pengambilan dan pemanfaatan legen kita tidak tahu persis.

Manusia telah mengenal dan menggunakan teknik fermentasi kurang lebih 5000 sebelum Masehi. Dari cerita lisan dan beberapa sumber tradisi, produksi dan minum tuak telah berjalan berabad-abad lamanya. Seorang penulis budaya, Waluya Utama, (2012) menyatakan bahwa abad 11 Masehi, bala tentara Tar-Tar dari Mongolia yang telah mengalahkan bala tentara Kerajaan Daha (Kediri), singgah di Tuban dan merayakan pesta kemenangan dengan minum tuak dan arak. Pada masanya, tuak menjadi minuman yang melintas batas kelas, dari seorang petinggi negeri seperti raja hingga para petani biasa. Pernyataan tersebut tidak lepas dari kenyatan di Rembang, Jawa Tengah. Sebab secara geografis, wilayah Rembang paling timur berbatasan langsung dengan Kabupaten Tuban.

3. Menggali Mitos tentang Legen dan Pengolahannya

Kata legen ini berasal dari kata dasar legi (bahasa Jawa) yang artinya manis. Minuman legen banyak terdapat didaerah utara pulau jawa , salah satunya ada di Kota Rembang tepatnya ada di Kecamatan Sulang.

Masyarakat mengkonsumsi legen selain karena menyukai rasanya yang khas (manis, agak asam, dan bersoda), juga karena meyakini khasiat minuman tersebut.

a. Penyediaan Legen

Tanaman siwalan merupakan kelompok tanaman berumah dua (dioceus, sehingga dapat dibedakan antara jantan dan betina. Petani siwalan Rembang mengambil cairan legen dengan cara menyadap tangkai bunga siwalan yang berbentuk “sulur”. Mereka paham bahwa tanaman siwalan yang bersulur tidak akan menghasilkan buah, sedang yang menghasilkan buah adalah jenis tanaman yang berbunga “manggar”. Namun petani menganggap bahwa tanaman bersulur berjenis kelamin betina, sedang yang bermanggar adalah jantan. Alasan mereka lebih memilih tanaman betina untuk disadap karena legen yang dihasilkan lebih manis. Inilah sebuah fenomena pengelompokan alamiah (artifisial). Mereka mengelompokkan makhluk hidup semata-mata hanya berdasarkan ciri yang dilihat dan dengan anggapan yang benar. Seorang narasumber, Suradi, (54 tahun) menyatakan:

“Kembang sing dideres niku sing wedok, sing bentukke kados penthil susu. Lhah nek sing lanang niku pating crenthol bunder-bunder kados konthol. Sing lanang eman-eman yen dideres, kersane dadi woh saget disade.”

Pernyataan tersebut berisi penjelasan bahwa bunga yang disadap itu adalah bunga betina. Bentuk bunga seperti puting susu, sehingga dianggap betina. Bunga yang bentuknya bulat-bulat seperti testis adalah jantan, tidak disadap biar jadi buah yang bisa dijual.

Secara morfologi, semua jenis tanaman yang mampu menghasilkan buah dan biji adalah bagian yang menghasilkan ovum. Dan ini adalah karakter tumbuhan betina. Dengan demikian, secara ilmiah yang disadap adalah bunga dari tanaman siwalan jantan. Inilah sebuah fenomena kajian ethno sains. Masyarakat memberikan sebuah konsep kebenaran dengan cara membandingkan dan menyetarakan dengan konsep lain yang diyakini. Sementara itu konsep yang diyakini masyarakat ternyata berbeda dengan dengan ilmu pengetahuan ilmiah.

Selanjutnya, Suradi (54 tahun) menambahkan:

“Yen anjeng menek nyiapke bumbung, ingkang sakderenge disukani pupus bogor watawis tigang ler. Pupus disindhet kasar, dipasang wonten bumbung sisih nginggil. Niku kersane mboten wonten kewan sing wantun mlebet. Pikantuk legen gumantung kahanan, kadang meh kebak kadang nggih ming rong gelas sewengi”

Jika akan menyadap, bumbung diberi anyaman kasar dari tiga helai daun siwalan. Anyaman daun yang masih muda tersebut dimasukkan ke bumbung bagian atas. Hal ini dilakukan agar tidak ada hewan yang masuk ke bumbung. Banyaknya legen yang tertampung kondisi, kadang hampir penuh se bumbung kadang juga cuma dua gelas semalam.

Sekarang minuman legen yang banyak dijual kebanyakan tidak asli. Penjual biasa mengencerkan dengan penambahan air dan pemanis. Hal ini terjadi karena ketersediaan bahan yang semakin terbatas atau dengan alasan memenuhi selera konsumen. Banyak diantara penjual yang cenderung menyiapkan legen siap minum dengan cara diberi tambahan air, dan gula kemudian dimasak. Dengan pemasakan tersebut minuman lebih tahan lama untuk tidak berubah menjadi tuak.

b. Pemanfaatan Legen

1) Pengolahan Legen Menjadi Tuak

Selain langsung diminum dalam bentuk minuman segar, sebagian masyarakat dengan sengaja mengolah legen menjadi bentuk minuman lain yang disebut tuak. Jenis minuman yang ke dua tidak banyak masyarakat yang akrab. Hanya kalangan tertentu saja yang mengonsumsinya karena dapat membuat mabuk. Namun demikian masih ada yang menyempatkan diri membuat. Peminum tuak meminumnya dengan alasan untuk menghangatkan badan, atau memang sengaja karena ketagihan.

Ada beberapa teknik pembuatan tuak dari bahan baku legen di Rembang. Petani siwalan bisa memulai membuat tuak secara langsung saat melakukan penyadapan. Bumbung yang akan digunakan untuk menampung legen sengaja tidak dibersihkan. Mereka menganggap, bahwa bumbung yang kotor akan mempercepat proses pembuatan tuak. Sebelum digunakan, ke dalam bumbung diberi serpihan kayu: jamblang/duwet, mahoni, atau mengkudu/pace untuk memberi rasa pahit pada tuak. Setelah diambil dari pohon, segera disimpan dalam botol tertutup dalam waktu 3 hari. Sampai 2 minggu.

Teknik pembuatan tuak yang lain membutuhkan waktu yang lebih lama. Sadiyono, (56 tahun) menjelaskan:

“Legen dipindah gendol beling, teras pun tutup rapet. Watawis sedasa dinten dipepe. Ndamel jugangan cekap kangge mendhem ngaron niki (menunjuk bejana). Ngaron diparingke nggen jugangan, dikupengi klaras ngandhap nggih diparingi. Legen sak botole ditata wonten ngaron. Lajeng nginggil dipun tutup plastik kersane mboten kenging lemah. Lajeng dipun urug. Dipun panen watawis gangsalwelas dinten.”

Legen dalam botol tertutup dijemur kurang lebih 10 hari. Menyiapkan lubang di tanah sebesar bejana. Dalam lubang tersebut lebih dahulu diberi lapisan daun pisang kering, baru diletakkan bejana. Legen dalam botol diletakkan dalam bejana. Bagian atas bejana ditutup plastik, kemudian ditimbun tanah selama 15 hari untuk siap dipanen.

Suradi (54 tahun) dulu sering membuat tuak juga. Namun ada perbedaan teknis dengan keduanya.

“Kula riyen nak ndamel gampil kok. Legen ten gendol tutup rapet, kula pendhem ten cedhak peceren seminggu. Nak mendheme ten peceren niku tuak e mak glek!”

Dari pengakuannya ia menyatakan bahwa membuat tuak itu mudah. Legen dalam botol tertutup ditanam dalam tanah dekat comberan. Kalau ditimbun di dekat comberan itu tuaknya lebih mantap. Sebagian masyarakat percaya, bahwa ditempat kotor, lembab, dan berbau tidak sedap, banyak makhluk-makhluk gaib yang buruk perangai, tetapi dapat membantu proses pembuatan tuak tersebut. Inilah mitos yang beredar di masyarakat. Sebuah kepercayaan yang tidak bisa diberi nilai salah atau benar.

2) Pembuatan Cuka dari Tuak

Orang Rembang tidak asing dengan cuka. Cairan tersebut biasa digunakan sebagai penyedap makanan tertentu. Dengan ketersediaan bahan di sekitarnya, maka secara tradisional mereka biasa membuat cuka sendiri. Bila mempunyai legen yang telah kadaluwarsa dalam keadaan tertutup, mereka tidak akan meminumnya. Namun cairan tersebut kemudian dibuka penutupnya, diletakkan di luar rumah yang terkena sinar matahari. Mereka yakin, dengan dipepe, tuaknya akan berubah menjadi cuka.

4. Effek Negatif

Dalam legen terkandung karbohidrat sederhana. Itulah yang membuat minuman ini terasa manis. Dalam kurun waktu empat jam dari pengambilannya, rasa asam akan muncul. Untuk selanjutnya bila dibiarkan dalam keadaan tertutup akan muncul rasa pahit bersoda, sebagai indikasi terbentuknya alkohol. Apabila proses pembuatan dan perlakuan terhadap cairan tersebut tidak terkondisi untuk kehidupan mikroorganisme yang berperan, maka memungkinkan mikroorganisme yang tumbuh adalah kelompok bakteri dan protozoa yang membahayakan. Sehingga akan membahayakan bila dikonsumsi.

5. Mitos - Etnosains dalam Bioteknologi Legen dan Hasil Olahannya.

Konteks ethno sains masyarakat ditemukan sejak penentuan tanaman siwalan yang dipilih untuk disadap. Fenomena pengelompokan secara alamiah (artifisial) terjadi. Mereka mengelompokkan makhluk hidup semata-mata hanya berdasarkan ciri yang dilihat dan dengan anggapan yang benar.

Ketika penyadap memang dengan sengaja ingin membuat tuak, mereka menambahkan kayu jamblang/duwet, pace, atau mahoni untuk memberikan rasa pahit layaknya alkohol pabrikan. Secara ilmiah, rasa pahit akan muncul dengan sendirinya apabila proses fermentasi an aerob dengan bahan karbohidrat sederhana terjadi secara optimal menghasilkan alkohol. Jadi tanpa penambahan kayu tersebut tuak yang dihasilkan ada unsur rasa pahit.

Secara ilmiah, fermentasi an aerob terjadi pada bahan utama karbohidrat sederhana (glukosa) dalam keadaan tanpa oksigen oleh Saccaromyces cerevisiae. Dari proses tersebut dihasilkan alkohol, karbon dioksida, dan energi. Proses akan berjalan optimal bila suhu lingkungan antara 29-31 derajat celcius.

Masyarakat paham, bahwa agar legen bisa berubah menjadi tuak/alkohol maka harus dimasukkan dalam botol tertutup rapat. Bila ada yang kemudian menjemur di bawah matahari, mengubur dalam lubang yang terlebih dahulu diberi daun pisang kering, adalah upaya mengkondisikan agar suhu pemeraman sesuai untuk kehidupan Saccaromyces cerevisiae. Namun mengubur perangkat legen ke dalam tanah comberan adalah sebuah mitos. Mereka percaya, bahwa ada campur tangan makhluk gaib berperilaku buruk yang biasa ada di tempat kotor seperti comberan dapat membantu keberhasilan membuat tuak yang berkualitas.

Secara tradisional, masyarakat Rembang telah menerapkan Bioteknologi konvensional dalam pembuatan tuak dan asam cuka. Hal ini sesuai dengan pendapat Priadi (2009: 304) bahwa proses pemanfaatan makhluk hidup sehingga dapat menghasilkan barang atau jasa untuk kepentingan manusia adalah merupakan penerapan ilmu bioteknologi. Inilah konsep ilmiah yang berkembang pada masyarakat. Namun bila ada sebagian berpendapat dengan cara menimbun di comberan akan menghasilkan tuak yang lebih mantap, ini hanyalah sebuah mitos.

Dalam hal membuat cuka dengan cara dijemur juga merupakan kajian ethno sains. Ketika legen kadaluwarsa dalam wadah tertutup, otomatis akan berubah menjadi alkohol. Warna khas agak kuning kecoklatan menandai telah terjadinya proses tersebut. Masyarakat tidak lagi memanfaatkan sebagai minuman, tetapi akan membuka tutup wadah dan menjemurnya di bawah sinar matahari. Mereka beranggapan bahwa sinar matahari dapat membantu pembuatan cuka. Secara ilmiah proses perubahan alkohol menjadi asam cuka terjadi apabila ada aktivitas bakteri Acetobacter. Bakteri tersebut termasuk kelompok bakteri aerob. Dengan demikian yang diperlukan dalam proses tersebut bukanlah cahaya matahari, tetapi kondisi lingkungan yang terkandung oksigen. Jadi, tanpa dijemur apabila kondisi wadah terbuka telah memenuhi persyaratan tumbuhnya Acetobacter.

6. Penerapan dalam Pembelajaran

Pembuatan alkohol dan asam cuka tidak lepas dari konsep tentang metabolisme. Jangkauan materi Metabolisme meliputi reaksi anabolisme dan katabolisme. Sehubungan dengan proses pembuatan alkohol dan asam cuka adalah proses penguraian oleh enzim organisme untuk menghasilkan energi, maka kedua proses tersebut termasuk proses katabolisme. Dalam kajian metabolisme dibahas dalam reaksi respirasi. Materi tersebut dipelajari oleh siswa jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) kelas XII semester ganjil.

Jangkauan materi metabolisme dan bioteknologi menuntun peserta didik untuk mempunyai kemampuan dalam hal menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya, menunjukkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli, santun, responsif, dan pro-aktif sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia. Dari sisi pengetahuan peserta didik akan memahami, menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural berdasarkan rasa ingintahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah.

Pendidik akan mengarahkan peserta didik untuk mencapai tujuan pembelajaran. Diharapkan peserta didik mampu: mengamati aktivitas yang memerlukan dan menghasilkan energi, membedakan respirasi dan fermentasi, mengumpulkan data tentang bahan, proses, tempat berlangsung dan hasil percobaan fermentasi alkohol, dan pembuatan asam cuka dengan rasa ingin tahu, tanggung jawab, displin selama proses pembelajaran dan bersikap jujur, percaya diri serta pantang menyerah .

Ketika unsur pendidikan karakter dimasukkan dalam pembelajaran, pemilihan topik materi yang tepat sangat diperlukan. Sudah selayaknya pendidik mengembangkan pengetahuan yang telah dipunyai peserta didik untuk menanamkan afektifnya. Mencintai budaya lokal yang berupa tradisi penyadapan legen dan pengolahannya sangat sesuai bila dipilih sebagai bahan pengembangan pengetahuan tentang bioteknologi konvensional.

PENUTUP

Terdapat beberapa mitos dan asumsi yang diyakini masyarakat Rembang dalam penyediaan legen dan pengolahannya menjadi produk lain secara tradisional dapat menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang mengkonsumsinya. Salah satu upaya menghindarkan aplikasi mitos dan etnosains tersebut adalah dengan mengintegrasikan kajiannya dalam pembelajaran di sekolah.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantap ilmunya bu

14 May
Balas

Tulisannya sarat informasi. Terima kasih banyak sudah berbagi pengetahuan Bu...

14 May
Balas

Tulisannya sarat informasi. Terima kasih banyak sudah berbagi pengetahuan Bu...

14 May
Balas

Terimakasih atas semangatnya ibu2 hebat! Salam sehat dan salam literasi, Ibu Nurhidayah Ilyas, Ibu Zurliati!

14 May
Balas



search

New Post