Siti Nur Wiqoyati

Wiqoyati adalah seorang perempuan dari Magelang Jateng. Meniru bapaknya, berprofesi sebagai guru. Saat ini mendapat tambahan tugas tambahan sebagai Kepala Sekol...

Selengkapnya
Navigasi Web

Minder

"Tika, kemarin kenapa gak datang? Kamu itu lolos lho. Tapi berhubung gak nongol ya langsung diganti. Sayang banget!"Santi menyambutku sambil nerocos.

"Owh ya? Kemarin kakakku nikah. Gak enaklah kalau aku pergi. Tapi sayang ya langsung diganti. Padahal aku sangat berharap bisa ikut jambore itu. Ya, apa boleh buat. Salahku sendiri. Belum hoki. Mungkin lain kali.

Tika merasa punya hobi terpendam: hiking dan camping. Sayang, gara- gara keteledorannya dia kehilangan kesempatan untuk melakukan dan mengembangkannya. Seperti hari- hari sebelumnya, Tika hanyalah seorang siswi SMP biasa dan pendiam. Gak ada lebihnya, gak ada yang menonjol. Di bidang akademik, banyak siswa yang lebih pintar di sana. Sulis, Ari, Hani, Tari, Lilis, Toto, Didi, Eny, Hari dan Sapto selalu menempati posisi sepuluh besar. Kelas satu sampai kelas tiga. Apakah Tika peringkat 11? Enggak juga. Ya, dari dua ratusan siswa seangkatan, mungkin Tika nomor tiga puluh. Berat!

Gimana dengan non akademik? Dengan posturnya yang kecil dan pendek, Tika merasa gak berbakat memainkan bola. Baik bola kecil, sedang maupun besar. Jadi Tika sudah minder di bidang olahraga. Ping pong, kasti, badminton, voli, basket apalagi takraw dan sepakbola tidak ada yang dia kuasai. Dari sepuluh kali serven, tidak lebih dari lima kali bola bisa melewati net. Tangannya biru- biru dan lebam setiap usai mengikuti latihan voli. Maksud hati mengarahkan bola ke kanan, eh jadinya ke kiri.

Di bidang seni, Tika mencoba mengikuti ekstra kurikuler Qiro'ah. Lagu Bayati, Bayati Suri dan sebagainya dia dapatkan.Tapi satupun gak ada yang nyanthel. Kalau disuruh membaca Qur'an, ya kembali mengalun irama datar seperti sehari-hari di rumah.

Tapi Tika merasa harus bersyukur juga. Orangtuanya hanya orang biasa. Bukan pejabat maupun konglomerat. Ibunya tidak bekerja. Bapaknya guru agama Sekolah Dasar. PNS tapi diperbantukan di Madrasah Ibtidaiyah. Tiap bulan mendapat beras jatah dari pemerintah. Gaji pas-pasan. Meski begitu, banyak siswa yang mau berteman dengannya. Wati dan Lilis sering mengajaknya latihan renang atau sekedar berendam di Mudal. Zuli, Miftahul, Dilla, Tari, Eny dan Nuryati sering main ke kebun belakang rumahnya. Memetik coklat. Bijinya yang berselaput putih itu dikulum, lalu dikumpulkan setelah habis rasa manis-manis asamnya. Ibunya menjemur lalu menyangrainya untuk dibuat minuman. Kadang juga memetik jambu biji, jambu bol, langsep atau kokosan. Langsep dan kokosan itu mirip duku bentuk maupun ukurannya. Duku manis. Langsep agak masam. Cara memakannya seperti duku, dipijit dengan tangan lalu daging bijinya dimakan satu persatu. Tentu saja biji yang gedhe dibuang karena pahit. Kalau Kokosan, dipijit di depan bibir. Semua isinya masuk ke mulut. Kadang juga mereka mencari buah Mundu. Buah seukuran manggis itu kuning. Rasanya manis asam. Ada pula Mundung. Buah yang ukuran, rasa dan cara memakannya mirip Kokosan itu ada yang berbiji merah dan ada yang putih.

Berangkat sekolah adalah saat yang menyenangkan bagi Tika. Jaraknya tiga kilometer dari rumah dan harus ditempuh dengan jalan kaki karena Bapaknya tidak membelikannya sepeda. Kendaraan umum juga masih sangat jarang. Uang sakunya juga tidak cukup untuk membayarnya.

Agus, Prio, Alfi, Didi dan Rohmah yang rumahnya lebih jauh (sekitar 5 bahkan 6 kilometer) menghampirinya. Mereka berjalan beriringan. Sekilo setengah kilometer berjalan, sudah ditunggu Lestari, Lilis, Wati, Nur dan Yayuk. Setengah kilometer lagi, ada rombongan lebih besar. Widi, Giri, Apin, Totok, Adi, Ulil, Eni, Tutik dan Tari. Macam pawai, mereka menyusuri rel yang sudah tidak difungsikan lagi satu kilometer ke sekolah dengan riang gembira. Melewati depan PN Blabak, pabrik kertas terkenal kala itu. Buku tulis yang digunakan oleh semua siswa tentu saja keluaran pabrik itu. Membanggakan. Sampulnya biru keunguan. Banyak orangtua siswa yang kerja di situ. Keren! Kalau ada yang tanya bapaknya kerja di mana, dengan bangga mereka menjawab: PN Blabak. Tika yang bapaknya tidak kerja di situ, kadang membatin kala bus sekolah milik PN Blabak melintas mendahuluinya: "Alangkah senangnya aku seperti mereka!"

Bus itu mengantarkan anak-anak sekolah ke Muntilan.

Selama tiga tahun, Tika belum tertarik dengan lawan jenis. Perasaan minder lebih menguasai dirinya. Tapi ada yang agak menggelikannya. Anto temannya, sering bilang ada salam dari ana, anu atau siapalah. Eh, dengar-dengar dia sendiri yang ada perhatian lebih pada Tika.

Agus, sedikit berbeda. Dari Sanggrahan, dia memisahkan diri dari rombongan awal. Dia yang pemalu ini lebih suka menyusuri jalan belakang pabrik. Katanya, itu jalur yang lebih pintas. Namun sesuai pepatah sekali dayung dua tiga pulau terlampaui, dia mendapatkan pengalaman lain yang sangat mengesankan. Tiap hari dia bisa melihat seorang gadis cantik, anak pemilik motor gede berkumis tebal. Meski hanya berani curi-curi pandang, Agus senang sekali.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post