Slamet Trihartanto

Widyaiswara LPMP Jateng. Tinggal di Salatiga. Minat menulis, berkebun, dan melukis. Silaturahmi online bisa dilakukan melalui email [email protected]...

Selengkapnya
Navigasi Web
3. Tim Sembilan Menaklukkan Jogja
Saya saat mengikuti Diklat Kewidyaiswaraan di Jogja tahun 2003.

3. Tim Sembilan Menaklukkan Jogja

Setelah lolos tes tulis dan wawancara, tidak serta merta kami dengan mudah menjadi widyaiswara. Masih ada serangkaian kegiatan yang harus kami penuhi. Kami juga harus melengkapi sejumlah surat keterangan dan dokumen untuk melengkapi persyaratan alih tugas dari guru menjadi widyaiswara.

Masih kuingat surat yang sulit kudapatkan adalah Surat Keterangan Lolos Butuh. Surat itu harus ditandatangani Bupati Grobogan. Saat itu, tahun 2003, sedang dimulai era desentralisasi. Kami yang semula merupakan pegawai pusat telah dilimpahkan menjadi pegawai daerah. Sementara widyaiswara merupakan pegawai pusat. Untuk bisa kembali menjadi pegawai pusat, beberapa pejabat harus saya temui. Semua itu saya lakukan demi mendapat Surat Keterangan Lolos Butuh.

Upaya mendapatkan surat itu, ternyata tidah mudah serta memerlukan waktu relatif lama. Ada tiga pintu yang mesti kami masuki yaitu, Kepala Sekolah, Kepala Dinas, dan Kepala BKD. Untungnya saya tidak sendiri, ada Bu Sri Hartati, guru SMA Gubug yang juga menjadi calon widyaiswara BPG Jateng. Kami mengurus bersama saat di Kantor Dinas dan BKD.

Pintu pertama yang saya ketuk untuk mendapatkan surat lolos butuh adalah pintu Kepala Sekolah. Tidak terlalu sulit memperoleh surat pengantar untuk mendapatkan surat lolos butuh. Kepala Sekolah saya saat itu adalah Bapak Kardiyono. Ia justru sangat mendukung saya berkarier sebagai widyaiswara.

Pintu kedua adalah Kepala Dinas Pendidikan Grobogan. Perlu beberapa kali saya dan bu Sri Hartati mengetuk dari satu bagian ke ruang lainnya sampai ke meja Kepala Dinas. Setelah beberapa kali ke Kantor Dinas, dan menunggu serta menghadap beberapa pejabat, akhirnya kami mendapat surat persetujuan dari Kepala Dinas Pendidikan.

Pintu ketiga yang harus kami lewati adalah Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Grobogan. Kami harus menunggu beberapa waktu, juga beberapa kali menanyakan perjalanan surat permohonan mendapat lolos butuh. Kebetulan ada teman kuliah, Saudara Parjan, yang menjadi pegawai di BKD yang selalu bisa saya tanya nasib surat saya. Pada akhirnya, saya bisa memperoleh Surat Keterangan Lolos Butuh yang amat saya butuhkan itu.

Setelah Surat Keterangan Lolos Butuh atau Surat Penghentian Jabatan sebagai Guru diperoleh, ternyata masih ada satu kegiatan yang harus saya ikuti. Kegiatan itu adalah Diklat Kewidyaiswaraan yang diselenggarakan oleh Lembaga Administrasi Negara. Ujung dari kegiatan itu adalah memperoleh Surat Rekomendasi yang menyatakan kami layak diangkat menjadi widyaiswara.

Diklat itu harus kami ikuti selama tiga minggu yang diselenggarakan di Jogja. Kami bersembilan juga harus menanggung biaya diklat itu. Saat itu status kami berada pada masa transisi, guru bukan dan widyaiswara belum. Karena memang keharusan, kami bersembilan calon widyaiswara berangkat ke Jogja untuk mengikuti Diklat Kewidyaiswaraan. Dua armada Kijang, mobil Pak Pahyono dan Pak Harun membawa kami ke Jogja. Tim sembilan sepakat kompak menaklukkan Jogja.

Tiga minggu, kami bersembilan mengikuti Pendidikan dan Pelatihan di BPG (sekarang LPMP) Jogja. Kami bergabung bersama para calon widyaiswara dari BPG Jogja, P3G Matematika, dan P3G Seni Budaya Jogja. Tiga minggu, tidur bertiga sekamar, kami tinggal di asrama. Pagi sampai sore belajar di kelas, malam mengerjakan tugas. Di penghujung waktu tiga minggu, kami harus melakukan ujian presentasi semacam melakukan simulasi mendiklat.

Selama mengikuti diklat, saya semakin tahu tugas dan fungsi widyaiswara dalam kegiatan diklat. Tentang apa saja yang harus kami siapkan sebelum diklat, bagaimana menerapkan andragogi saat pembelajaran, dan bagaimana melakukan evaluasi pascadiklat, kami menjadi paham. Kompetensi apa saja yang harus dimiliki widyaiswara, saya peroleh dalam diklat kewidyaiswaraan itu.

Tiga minggu mengikuti diklat, dalam kondisi tertekan oleh serangkaian tugas, tentu bukan waktu yang singkat. Ditambah keminiman fasilitas, keawaman kami terhadap tugas kewidyaiswaraan, keterbatasan keterampilan kami dalam bidang komputer, semua itu menjadi faktor penyulit kami mengikuti diklat. Ada satu nama widyaiswara pengajar kami yang melekat dalam kenangan sampai kini, dia adalah Bapak Marpaung. Kami mengenangnya karena teramat galak, tegas, dan cerdas selama diklat itu. Kami bahu-membahu menaklukkan hatinya. Saat itu kami merasa, dialah penentu apakah kami layak menjadi widyaiswara atau tidak. Karena itulah, mengantar ke Prambanan, menjamu makan malam, berbelanja di Malioboro, dan memberi cendera mata kepadanya kami lakukan untuk merebut hatinya. Di penghujung diklat, kami baru tahu bahwa kegalakan dan ketegasan serta warning yang sering ditunjukkan kepada kami adalah bagian dari teknik mengajar.

Puncak ketegangan dalam diklat adalah ketika kami harus melakukan ujian presentasi. Masing-masing dari kami harus melakukan simulasi diklat. Menghadapi dua orang penguji yang akan menanyai kami dengan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Sebelumnya kami harus sudah menyerahkan perangkat diklat seperti GBPP (Garis-garis Besar Program Pembelajaran), SAP (Satuan Acara Pembelajaran), bahan ajar, bahan tayang, dan lembar evaluasi. Bukan perkara yang amat rumit jika kami harus menyiapkan semua perangkat itu.

Hal paling merisaukan kami saat itu adalah ketika harus memperkenalkan diri dalam bahasa Inggris dan menyiapkan diri menjawab pertanyaan dalam bahasa Inggris. Beruntung ada Pak Yusak dari tim sembilan Jawa Tengah, ia semula guru bahasa Inggris dari Kudus. Kami belajar darinya untuk bisa berkomunikasi bahasa Inggris. Paling tidak bisa memperkenalkan diri, membuka pembelajaran, dan menjawab pertanyaan. Karena seringnya kami mengulang perkenalan berbahasa Inggris, sampai 15 tahun setelah peristiwa itu, masih saya ingat.

Akhirnya saat ujian presentasi pun tiba. Berpakaian kemeja lengan panjang, berdasi, bersepatu hitam kami berfoto diri setengah badan terlebih dulu. Foto itu akan ditempel pada sertifikat kelulusan diklat kewidyaiswaraan yang kami ikuti. Kegiatan berfoto itu menyiratkan bahwa kami bakal lulus dari diklat kewidyaiswaraan. Kecemasan akan mengulang bahkan gagal mendadak sirna dengan kegiatan berfoto itu.

Usai acara foto-foto, kami bersiap mengikuti uijian presentasi. Persiapan jelas sudah kami lakukan beberapa hari sebelumnya. Ada sepuluh aspek yang akan dinilai. Setiap aspek bernilai maksimal 10. Kami dinyatakan lulus bila minimal memperoleh nilai 85. Kurang dari itu, kami bisa mengulang. Bila ternyata setelah mengulang belum juga layak, maka mimpi menjadi widyaiswara bisa jadi sirna.

Sepuluh aspek penilaian dalam ujian presentasi itu adalah sebagai berikut ini.

1. Penguasaan Materi/ Esensi Spesialisasi

2. Relevansi Materi dengan Tujuan Instruksional

3. Sistematika Penyajian Spesialisasi

4. Penggunaan Metode dan Alat Bantu Pengajaran

5. Keterampilan Menjawab Pertanyaan.

6. Daya Simpatik, Gaya, dan Sikap dalam penyajian.

7. Penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar.

8. Kualitas Bahan Diklat (GBPP, SAP, Bahan Ajar, Transparansi).

9. Ketepatan waktu dalam penyajian.

10. Keterampilan Bahasa Inggris (Comunicative English).

Tiba juga giliran saya melakukan pemaparan di hadapan dua orang penilai. Saat itu, saya mengambil spesialisasi Pembelajaran Puisi. Meski sudah saya siapkan, ada rasa gugup yang tiba-tiba menyergap saat memasuki ruangan. Bagaimana saya harus mengajar tanpa siswa, apa yang nanti akan ditanyakan oleh dua orang penilai itu. Segera saya tepis pertanyaan dalam hati itu. Segera saya lontarkan senyum termanis, menundukkan kepala sebagai bentuk penghormatan saya kepada mereka.

Sejurus kemudian, saya mulai memperkenalkan diri dengan bahasa Inggris. Mohon izin menggunakan bahasa Indonesia dalam melakukan pemaparan materi. Satu persatu transparan saya tayangkan melalui OHP. Sekali saya peragakan kemampuan membaca sebait puisi. Belum selesai semua materi terpaparkan, penilai sudah menyatakan cukup.

Inilah saat yang menegangkan. Menanti pertanyaan apakah yang akan diajukan penilai. Ternyata tidak terlalu sulit. Apa perlunya materi Anda bagi peserta? Pertanyaan dalam bahasa Inggris, mengapa Anda memilih materi itu? Semua pertanyaan itu saya jawab dengan menggunakan bahasa Indonesia. Akhirnya, acara pemaparan dan tanya jawab selesai dalam waktu kurang lebih 45 menit. Setelah kami berjabat tangan, mendadak serasa lepas beban yang menggayuti pundak dalam beberapa hari terakhir.

Alhamdulillah, setelah beberapa hari kemudian kami bersembilan dari Jawa Tengah dinyatakan layak menjadi widyaiswara. Sertifikat Diklat Kewidyaiswaraan kami peroleh dengan nilai memuaskan.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Luar biasa. Renyah banget

22 Jul
Balas

Wow.... sigap dan cepat Pak Leck menanggapi. Terima kasih.

22 Jul

Luar biasa runtut sekali pemaparannya pal Tri pasti akan jadi buku hebat pula

23 Jul
Balas

Tersanjung jadinya saya dipuji Ahmad Syaihu .... penulis paling populer di gurusiana. Terima kasih, Bapak.

23 Jul

Tim Sembilan Menaklukkan Jogja merupakan bagian ketiga dari rencana buku saya Metamorfosis Guru Menjadi Widyaiswara yang rencana akan diterbitkan oleh Media Guru. Sengaja saya bagikan di forum gurusiana untuk mendapat tanggapan dari para pembaca yang budiman.Sekaligus sebagai sarana memelihara kegairahan saya menulis dan menyelesaikan buku tersebut. Semoga tenggat waktu sampai 8 Agustus 2018 dapat saya penuhi.

22 Jul
Balas



search

New Post