Slamet Trihartanto

Widyaiswara LPMP Jateng. Tinggal di Salatiga. Minat menulis, berkebun, dan melukis. Silaturahmi online bisa dilakukan melalui email [email protected]...

Selengkapnya
Navigasi Web

5. Mengawali Tugas Widyaiswara

Setelah melalui proses panjang, akhirnya resmi juga saya menjadi widyaiswara. Mulai November 2003, saya sudah bermetamorfosis dari guru menjadi widyaiswara. Selamat tinggal Wirosari dan selamat datang Semarang. Jalanan sepi Salatiga, Kedung Jati, Gubug, Purwodadi, sampai Wirosari tidak lagi menjadi menu mingguanku. Kini harus saya akrabi setiap hari jalanan padat dan bising antara Salatiga, Bawen, sampai Semarang.

Mengawali tugas widyaiswara, ada perubahan suasana kerja yang terasa. Kerutinan kerja guru mengajar di kelas setiap hari tidak lagi terjadi. Pada awal menjadi widyaiswara, kegiatan mengajar merupakan hal yang langka terjadi. Tidak jarang saya seharian di kantor tanpa melakukan kegiatan yang berarti. Mungkin karena saya datang saat akhir tahun. Kegiatan diklat selalu berbasis DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran). Saat akhir tahun merupakan saat pelaporan kegiatan dan penggunaan anggaran. Selanjutnya awal tahun mulai mengajukan usulan program, biasanya di bulan Maret atau April DIPA mulai turun. Dengan demikian kegiatan diklat dan sejenisnya mulai berlangsung.

Sebagai widyaiswara baru, kami juga lebih banyak belajar kepada widyaiswara lama. Sebelum kami bersembilan datang, di BPG yang kemudian berubah menjadi LPMP, telah ada tujuh widyaiswara. Kami tak segan magang kepada widyaiswara lama. Saat mereka mengajar, kami melihat atau membantu. Melalui pemagangan itu kami menjadi tahu cara widyaiswara melakukan pembelajaran di kelas. Kegiatan lainnya di awal menjadi widyaiswara adalah rapat penyusunan program, menyusun instrumen, menyiapkan bahan ajar, dan mempersiapkan kegiatan non-diklat.

Pikir saya, eksistensi widyaiswara itu bila mengajar di depan kelas, bukan di ruang rapat atau di belakang meja. Akhirnya kondisi itu terjadi juga. Setelah saya dikirim mengikuti Pelatihan Terintegrasi Bahasa Indonesia bagi guru SMP, maka mulailah saya memperoleh jadwal mengajar. Teori yang saya peroleh saat mengikuti Diklat Kewidyaiswaraan bisa saya praktikkan. Hasil pemagangan bersama widyaiswara senior dapat saya terapkan. Materi yang saya peroleh dari pelatihan di Surabaya itu dapat saya teruskan kepada para guru. Betapa girang rasa hati saya saat mulai mengajar sebagai widyaiswara. Kegirangan itu saya wujudkan dalam mempersiapkan diri sebaik mungkin. Perasaan hati saat itu seperti layaknya pemain sepakbola yang beranjak dari bangku cadangan menuju lapangan mengawali debutnya.

Seiring waktu berjalan, kesempatan mengajar semakin sering kuperoleh. Bukan hanya mengajar di LPMP saja, tetapi juga mengajar di berbagai daerah di Jawa Tengah. Mulailah saya berkesempatan mengunjungi Magelang, Purbalingga, Sragen, Demak, Pemalang, dan kota lainnya. Dalam waktu yang tidak terlalu lama sudah lengkap 35 kabupaten dan kota di Jawa Tengah saya singgahi dalam kegiatan mengajar.

Ada satu kisah yang cukup kukenang saat awal menjadi widyaiswara. Saat itu saya harus mengajar di Magelang. Bersepeda motor bebek dari rumah, berniat mengajar selama tiga hari. Karena itu, saya membawa tas pakaian, tas laptop, dan tas LCD. Dengan posisi tas pakaian kujepit di depan, tas laptop kucangklong samping, sementara tas LCD kugendong di belakang. Pokoknya serasa ribet. Di tengah perjalanan, tiba-tiba hujan deras. Sudah kutunggu di teras toko tetapi hujan tiada kunjung mereda. Akhirnya dengan jas hujan seadanya saya melanjutkan perjalanan. Sesampai di tempat pelatihan, ternyata sudah ditunggu panitia dan peserta. Dalam kondisi badan basah dengan bawaan tiga tas yang juga basah, saya menerima uluran tangan dan sambutan selamat datang. Segera saya berkemas dan mengajar dengan sepatu basah. Betapa risih dan malu rasanya saat itu.

Dipicu oleh peristiwa basah saat mengajar. Repotnya membawa perlengkapan ketika mengajar ke luar kota. Saya memutuskan untuk menyekolahkan SK ke bank untuk memperoleh pinjaman guna membeli mobil bekas. Saat itu belum genap satu tahun saya menjadi widyaiswara. Bahkan saat membeli mobil pun, saya belum bisa menyetir mobil. Dengan mobil itu juga, saya belajar dipandu saudara dan tetangga. Tidak terlalu lama saya memberanikan membawanya ke kantor dan menemani saat mengajar ke luar kota.

Jam terbang saya sebagai widyaiswara semakin melesat sejak diminta menjadi narasumber sebuah penerbit buku. Bersama penerbit buku ternama itu, nama saya semakin terkenal di kalangan guru. Berbagai kota saya jelajahi, banyak hotel saya singgahi, aneka kuliner saya rasakan. Sudah pasti saya jarang di rumah, bahkan juga jarang di kantor. Akibat lainnya sudah pasti kantong saya semakin tebal. Angsuran pinjaman bank terbayar, sisanya buat perlengkapan mengajar. Saat itu saya mulai merasakan nikmatnya menjadi widyaiswara. Tidak peduli harus Lungo Peteng Mulih Peteng. Saya mulai tenggelam dalam keasyikan bekerja sebagai widyaiswara.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Syukurlah njenangan terpilih lho.Slamat buat Pak Slamet

25 Jul
Balas

Matur nuwun Pak Sutanto. Salam sukses juga buat bapak....

25 Jul

Alhamdulillah, perjuangan selama ini telah terbayar. Betul yang dikatakan, proses tidak menghianati hasil. Salam sehat dan sukses selalu. Barakallah...pak widyaiswara.

25 Jul
Balas

Salam sehat, sukses selalu buat bu guru.... Teruslah mengajar dan mengantarkan peserta didik menuju cita yang mereka damba. Jangan lupa... tetap bahagia jalani tugas.

25 Jul

semoga tulisan itu dapat menjawab pertanyaan bu Raihana Rasyid tentang enak mana menjadi guru atau widyaiswara. Saya sudah pernah menjadi guru di desa jauh dari keluarga dan sekarang menjadi widyaiswara, ya.... jadi enak menjadi widyaiswara.

25 Jul
Balas

Hehehe...njih pak. Tapi saya jadi guru aja ya pak. Semoga semakin sukses...pak. Barakallah.

25 Jul

saya mampir ke tulisan bapak ini karena ingin mengikuti seleksi widyaiswara. Tulisan Bapak menginspirasi saya. Doakan, saya dapat lulus sehingga dapat menjadi widyaiswara seperti bapak. Terimakasih tulisannya pak.

24 Aug
Balas



search

New Post