SUDAH dari pekan kemarin undangan bertajuk Walimatus Safar baik dari sejawat guru yang kini (alhamdulillah) mendapat kesempatan berangkat haji maupun kerabat dan tetangga. Surat (undangan) yang diberikan oleh seseorang (kerabat, saudara, tetangga) bertajuk khusus ini erat kaitannya dengan rencana keberangkatan beliau untuk menunaikan rukun Islam yang kelima.

Datangnya undangan dan pastinya harapan menghadiri acara seperti ini setidaknya membawa berkah tersendiri bagi penulis untuk bisa ber'silaturrahmi'. Silaturrahmi yang berbeda dengan datangnya bulan fitri setelah ramadhan berkah meninggalkan kita (umat muslim) di seluruh dunia.

Bila silaturrahmi di hari (raya) fitri terkesan dimaknai dengan pelaksanaan ritual yang kental dengan suasana keagamaan. Suasana yang tergambar untuk umat bisa saling bermaafan karena dosa dan kesalahan yang terjadi antar manusia.

Nuansa berbeda dengan silaturrahmi walimatus safar yang para tamu (undangan) 'disibukkan' untuk mengucap kepada pemilik rumah: ”Selamat Jalan Tamu Allah” semoga meraih haji yang mabrur, disaat bersalaman setelah selesai walimah tersebut. Mengingat untuk bisa berangkat menunaikan ibadah ini, banyak calon jamaah yang 'terpaksa' menunggu waktu hingga beberapa tahun ke depan.

Hanya sekedar mengingatkan, di samping calon haji disibukkan dengan mengadakan kegiatan walimatus safar mereka dituntut untuk mengikuti pelaksanaan manasik haji serta persiapan yang lain. Tuntutan dan kewajiban lain sebagai salah satu persiapan dalam pelaksanaan ibadah haji agar bisa maksimal dalam menunaikannya adalah menata niat dan keikhlasan hati dalam persiapan dan pelaksanaan ibadah haji. Sehingga harapan bisa meraih cita dan angan yang sudah tergambar sekian tahun yang lalu terkabul.

Ingat, Kewajiban - bagi yang mampu - untuk menunaikan Ibadah haji merupakan rukun Islam yang kelima (terakhir) dan paling mahal ongkos yang harus dibayar (membutuhkan persiapan lahir dan bathin yang mantap) serta membutuhkan kesiapan yang matang. Dalam salah satu ayat-Nya (Alquran) disebutkan Isthithoáh (mampu)

Isthithoáh (mampu) yang dimaksud adalah dalam Alquran itu kemampuan dalam hal bekal, pengongkosan, badan sehat, dan keamanan di dalam perjalanan. Mampu dalam biayapun harus melihat juga apakah biaya yang digunakan dari hasil yang halal atau tidak. Atau ketika meninggalkan keluarga untuk menunaikan haji keluarga menjadi telantar karena harta bendanya digunakan menunaikan ibadah haji apa tidak.

Mampu dalam persiapan dan kesiapan bukan hanya berarti mampu dalam kesempatan tapi lebih mendalam lagi, yakni mampu melakukan komitmen-komitmen sebelum melakukan ibadah haji bahkan setelahnya untuk mencapai kemabruran suatu haji. Karena seorang muslim yang setelah menunaikan ibadah haji harus mampu merealisasikan komitmen sebagai hablum minallah wa hablum minannas (hubungan dengan Allah dan hubungan sesama manusia).

Do'a dan Harapan

Akhirnya teriring do'a mengharapkan bagi sejawat, rekan seprofesi dan para calon haji untuk menata niat dan hati dalam menunaikan 'ritual' ibadah haji. Karena melaksanakan rukun Islam yang kelima sebagai manivestasi pengabdian mahkluk kepada Allah SWT untuk bisa dan mampu meraih ridla-Nya. Serta harapan di masa yang akan datang mendapatkan surga sebagai balasan karena mendapat gelar haji mabrur, suatu ibadah yang diterima dan diridhoi Allah, Aamiin.

--------------------------------

Turen - Malang, 3 Agustus 2018

Si Pembelajar - Slamet Yuliono -