Slamet Yuliono

SLAMET YULIONO, Si Pembelajar yang ingin dan ingin terus belajar kepada siapa saja. Dan berharap dengan bimbingan dan petunjuk-Nya, bisa bermanfaat bag...

Selengkapnya
Navigasi Web
                                          Gurusiana New's (7)
doc. Pribadi - 06/08/2018 -

Gurusiana New's (7)

Kepala Sekolah dalam Lingkaran Kepeminpinan Kekinian

SETELAH pekan lalu mengantar dan menyaksikan proses pergeseran posisi Kepala Sekolah (KS). Tiba saatnya hari ini, Senin 6 Agustus 2018 sekolah penulis kedatangan KS baru beserta rombongan dari sekolah sebelumnya sebagai pengganti KS yang telah mutasi.

Dari pagi hingga menunggu kedatangan KS baru dalam 'pikiran kotor' penulis bergumam: "... seandainya sekolah ini tidak memiliki pemimpin (meskipun) itu mustahil. Kira-kira seperti apa ya ..." ?

=====

Sekolah dan pemimpin, sepintas tak ada hubungan sama sekali di antara keduanya. Namun jika ditelisik lebih jauh, dua hal ini bisa saling mempengaruhi satu sama lain. Sekolah tanpa pemimpin, apa jadinya. Apa mungkin sekolah tak punya pemimpin? Impossible, tidak ada KS berarti langkah menuju kemajuan dan perlembangan sekolah pasti terhambat.

Persoalannya, benarkah figur KS bisa menjalankan peran optimalnya sebagai pemimpin? Jawabnya pasti benar. Karena sosok KS sudah mendapat bekal dan ilmu kepemimpinan dari otoritas yang menaunginya. Bila gagal, menjalankan amanat ini, jelas ada persoalan kenapa bisa terjadi. Sekali lagi, sekolah butuh pemimpin, sebelum sekolah itu akan kehilangan arah.

KS merupakan sosok yang bisa bangunkan motivasi mengajar para guru, membenahi sistem yang ada, menjadi teladan bagi para murid, penyambung aspirasi antara orang tua dengan pihak sekolah. Tak ada orang yang menyangsikan peran KS 'termasuk' guru dan warga sekolah, ini sangat penting. Penting bukan karena sekadar menyandang status KS, tapi diharapkan mereka mampu menjalankan peran serta fungsinya.

Bicara soal eksistensi, ada dan tiadanya KS tetap jadi perbincangan menarik. Lihat "drama" ketika terjadinya mutasi. Ada KS yang ditangisi kepergiannya. Sontak semua stakeholders sekolah meminta Dinas Pendidikan mengurungkan keputusannya. Tidak sedikit pula KS yang disyukuri kepergiannya. Bahkan seluruh warga sekolah mengadakan acara syukuran. Mengapa hal ini terjadi?

KS adalah jabatan, setuju? Siapa pun orang yang menduduki jabatan itu, punyakah dia sifat kepemimpinan? Leader without leadership, itulah persoalan kita. Jika ada kepala sekolah yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan sekolah, pasti dia punya cara berpikir 'only for profit'. Padahal jelas, sekolah bukan perusahaan apalagi ladang bisnis. Dia pasti akan bilang sekolah tak punya anggaran untuk meningkatkan kompetensi guru, ikutkan siswa dalam lomba-lomba antar sekolah, gaji guru selalu telat dibayar. Tapi di saat bersamaan, gaya hidupnya bermewahmewah. Mobil pribadinya bertambah terus, membangun rumah baru di kawasan elit, satu kisah yang memilukan bukan?

Sekolah di tangan KS semacam ini pasti berantakan. Guru-guru demotivasi. Soliditas tim berantakan. Sikut sana sikut sini. Guru "terbelah" dan saling mencari simpatik, bahkan menjadi dua atau beberapa faksi. Guru yang siap berkongsi dan jadi pendukung KS, dia 'berharap' dapat promosi dan simpatik. Guru yang berani dan menyatakan ketidaksepakatan dengan kebijakan KS bisa dipastikan kena imbas dan bermasalah. Minimal dibuat tidak nyaman saat bekerja, dan segera menerima beragam intimidasi dan ancaman yang kurang menyenangkan.

KS adalah pemimpin dan dipastikan punya obsesi untuk menjaga wibawa dan harga diri. Dia punya hak anti dengan kritik maupun masukan. Dia akan buat jarak antara dirinya dengan semua warga sekolah. Cara berpikirnya pasti semuanya tentang "AKU". Apa urusannya dengan Anda? Inilah sosok kepala sekolah tak punya sifat kepemimpinan. Dia perankan dirinya sebagai pimpinan bukan pemimpin. Hidupnya pasti rusak dan merusakkan.

Berbeda dengan kisah KS yang ini. Bagi dia menjadi "kepala sekolah" itu hanyalah sekadar mengemban jabatan. Jabatan itu amanah, dan hal itu tidak bersifat abadi. Besok lusa mungkin jabatan itu akan hilang.

Selagi masih menjabat, dia seharusnya berpikir hal terbaik seperti apa yang bisa diberikan untuk keberhasilan sekolah yang dia pimpin. Pantang bagi dia untuk melakukan korupsi, kolusi, maupun nepotisme. Karena dia sadar perilaku seperti itu akan merusak kebersamaan tim serta menghancurkan sistem sekolah perlahan-lahan.

Suasana keterbukaan dan kebersamaan harus segera dibangun sejak menjabat dari awal kepemimpinan. Tidak akan ada ghibah serta fitnah karena semua warga sekolah diperbolehkan bersuara di forum sekolah. Tanpa disadari, sekolah sedang membangun budaya komunikasi produktif.

Kepala sekolah membuka diri dengan kritik. Ini cara mendidik yang konkret. Guru belajar untuk berani katakan "TIDAK" jika memang itu benar adanya.

Baik atau tidak cara penyampaiannya, KS teladan akan menundukkan egonya, terima kritiknya, dan segera berbenah diri. Jika KS salah, dia akui kesalahan kepada guru, orang tua, bahkan siswa sekali pun.

Yakinlah, harkat martabat KS macam ini tidak akan hancur kariernya. Justru dengan sikap seperti ini akan memantik simpati dari banyak orang. Guru pun pasti malu kalau tak mampu melakukan hal yang sama kepada murid. Semua warga sekolah lantas akan bilang, “ ... Kami ikhlas dipimpin KS seperti ini”. KS harapan dan dambaan seperti ini, hidupnya pasti 'insyaallah' akan selamat dan menyelamatkan.

Pemimpin pasti paham untuk apa jabatan itu digunakan. Dan Inilah sedekah terbaik yang bisa dilakukannya, dan akan membuat kebijakan yang bermanfaat bagi masa depan sekolah.

Sosok pribadinya santun dan sangat mempesona. Mempesona bukan karena tidak ada salah dalam beragam kebijakan yang dibuatnya. Karena siapapun orangnya, termasuk KS bukan manusia setengah dewa 'kata' Iwan Fals. Dia tetap manusia biasa yang diselimuti dosa dan salah. Kekeliruan berupa dosa dan salah itu bisa dimaafkan. Ini namanya proses belajar dan pendewasaan diri.

Jika dia mau terima kritik karena kesalahan yang telah diperbuat, lalu dia segera perbaiki diri, ini baru KS -TOP MARKOTOP-. Tapi, jika egonya tak mampu ditaklukkan, hasrat serta nafsu menjadi andalan dalam menentukan kebijakan dan sekaligus pemandu dalam mengambil keputusan. Hasilnya pasti keresahan, kegundahan dan kerusakan bagi keberlangsungan sistem sekolah.

Mengakhiri artikel sederhana ini, penulis hanya bisa berharap: ".... Wahai para pengambil kebijakan, pilihkanlah dan kirimlah sekolah kami sosok KS yang mampu memerankan dirinya jadi pemimpin bukan pimpinan. Dengan ciri sangat sederhana, telisik sisi pribadinya lalu cari tahu apakah dia sosok yang rendah hati. Karena "St. Augustine" pernah berujar, “Anda ingin naik? Mulailah dengan turun. Anda ingin membangun menara tinggi menjulang? Mulailah dengan menanam fondasinya, yaitu kerendahan hati”. Semoga ...

--------------------------------

Turen - Malang, 7 Agustus 2018

Si Pembelajar - Slamet Yuliono -

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Ks hebat didukung guru hebat ..sip

07 Aug
Balas

Setuju Pak ....

07 Aug

Mantaffff jiwa, pak guru. Kehadiran KS yang mampu " bersinergi" dengan baik untuk kemajuan sekolah sangat didambakan oleh warga sekolah. Salam sehat dan sukses selalu. Barakallah....pak guru.

07 Aug
Balas

Untuk kesekian kalinya penulis ucapkan terima kasih pada Bunda Raihana, yang semakin produktif. Tidak hanya produktif, tetapi juga tetap istiqomah, sehat selalu Bunda ...

07 Aug



search

New Post