SOLEHAN ARIF

Nama : SOLEHAN ARIF, M.Pd alamat : JL Gatot Koco RT.001 RW.004 Dusun Nyabagan Kel. Kolpajung Kec. Pamekasan Kab. Pamekasan Unit Kerja : SDN Toket 2 Gur...

Selengkapnya
Navigasi Web

MEMBANGUN BUDAYA POSITIF DI SEKOLAH

MEMBANGUN BUDAYA POSITIF DI SEKOLAH

“KUNCI MENUJU LINGKUNGAN BELAJAR YANG SEHAT DAN UNKLUSIF”

Oleh: Solehan Arif

Sekolah Dasar Negeri Toket 2 Kec. Proppo Kab. Pamekasan

[email protected]

A. Disiplin Positif dan Nilai-Nilai Kebajikan Universal

1. Teori Kontrol

Psikiater dan pendidik, Dr. William Glasser, dalam Teori Kontrol yang kemudian berkembang menjadi Teori Pilihan, mengoreksi beberapa kesalahpahaman tentang konsep 'kontrol'.

a. Ilusi bahwa guru mengontrol murid.

Pada dasarnya, kita tidak bisa memaksa murid untuk melakukan sesuatu jika mereka memilih untuk tidak melakukannya. Meskipun terlihat seolah-olah guru mengendalikan perilaku murid, hal ini terjadi karena murid tersebut memilih untuk membiarkan dirinya dikendalikan. Dalam situasi tersebut, bentuk kontrol guru menjadi kebutuhan yang dipilih oleh murid. Teori Kontrol menyatakan bahwa semua perilaku memiliki tujuan, termasuk perilaku yang tidak disukai.

b. Ilusi bahwa semua penguatan positif efektif dan bermanfaat.

Penguatan positif atau bujukan adalah bentuk kontrol. Upaya apapun untuk mempengaruhi murid agar mengulangi perilaku tertentu adalah usaha untuk mengontrol mereka. Dalam jangka waktu tertentu, murid mungkin akan menyadari hal ini dan mencoba untuk menolak bujukan tersebut atau menjadi tergantung pada pendapat guru.

c. Ilusi bahwa kritik dan rasa bersalah dapat memperkuat karakter.

Menggunakan kritik dan rasa bersalah untuk mengendalikan murid cenderung mengarah pada identitas yang gagal. Mereka belajar merasa buruk tentang diri mereka sendiri dan mengembangkan dialog internal yang negatif. Kadang-kadang sulit bagi guru untuk menyadari bahwa mereka melakukan hal ini, karena seringkali mereka menggunakan 'suara lembut' untuk menyampaikan pesan negatif.

d. Ilusi bahwa orang dewasa memiliki hak untuk memaksa.

Banyak orang dewasa percaya bahwa mereka bertanggung jawab untuk membuat murid melakukan hal-hal tertentu. Apapun yang dilakukan dianggap dapat diterima selama ada kemajuan yang terukur. Namun, orang dewasa akan menyadari bahwa perilaku memaksa tidak efektif dalam jangka panjang dan hanya akan menciptakan hubungan yang bermusuhan.

Untuk beralih dari paradigma Stimulus-Respon ke pendekatan teori Kontrol, menurut Stephen R. Covey dalam Principle-Centered Leadership (1991), seseorang harus melakukan perubahan mendasar dalam cara pandang dan pemikiran mereka. Covey menjelaskan bahwa:

“..jika kita ingin membuat kemajuan perlahan, sedikit demi sedikit, kita bisa mengubah sikap atau perilaku kita. Namun, jika kita ingin memperbaiki cara-cara utama kita, maka kita perlu mengubah kerangka acuan kita. Ubahlah cara Anda melihat dunia, bagaimana Anda berpikir tentang manusia, ubahlah paradigma Anda, skema pemahaman, dan penjelasan Anda mengenai aspek-aspek tertentu dari realitas.”

Ini berarti bahwa untuk benar-benar beralih ke pendekatan teori Kontrol, seseorang harus mengubah cara mereka memahami dan menjelaskan dunia serta manusia di dalamnya. Alih-alih melihat perilaku manusia semata-mata sebagai respons terhadap rangsangan eksternal, kita harus melihatnya sebagai hasil dari pilihan dan kontrol internal yang dimiliki individu. Perubahan ini membutuhkan pemahaman yang lebih mendalam tentang motivasi dan tujuan di balik perilaku, serta pengakuan bahwa individu memiliki kekuatan untuk memilih dan mengendalikan tindakannya sendiri.

2. Makna Disiplin

Apa yang terlintas di benak kita ketika mendengar kata "disiplin"? Kebanyakan orang mungkin langsung mengaitkannya dengan aturan, keteraturan, dan kepatuhan terhadap peraturan. Kata "disiplin" juga sering disamakan dengan hukuman, padahal keduanya berbeda. Memahami disiplin positif tidak harus melibatkan hukuman, yang sebenarnya sebaiknya menjadi pilihan terakhir atau bahkan tidak digunakan sama sekali.

Dalam budaya kita, kata "disiplin" sering kali dipahami sebagai sesuatu yang dilakukan seseorang kepada orang lain untuk mendapatkan kepatuhan, dan ini biasanya dikaitkan dengan ketidaknyamanan. Namun, Ki Hajar Dewantara, tokoh pendidikan Indonesia, menyatakan bahwa di mana ada kebebasan, harus ada disiplin yang kuat. Disiplin ini bersifat "self-discipline" atau disiplin diri, di mana kita sendiri yang secara tegas menerapkan disiplin pada diri kita sendiri. Jika kita tidak mampu melakukan disiplin diri, maka orang lain harus mendisiplinkan kita. Peraturan semacam ini penting dalam lingkungan yang merdeka.

Menurut Ki Hajar Dewantara, untuk mencapai kemerdekaan atau dalam konteks pendidikan saat ini, untuk menciptakan murid yang merdeka, diperlukan disiplin yang kuat. Disiplin ini adalah disiplin diri yang berasal dari motivasi internal. Jika motivasi internal tidak ada, maka diperlukan motivasi eksternal atau disiplin dari pihak lain.

Ki Hajar mendefinisikan kata "merdeka" sebagai: "Mardika itu artinya, bukan hanya terlepas dari perintah, tetapi juga mampu memerintah diri sendiri." Pandangan Ki Hajar ini sejalan dengan pendapat Diane Gossen dalam bukunya Restructuring School Discipline (2001). Diane menjelaskan bahwa kata "disiplin" berasal dari bahasa Latin "disciplina," yang berarti "belajar." Kata "discipline" juga berasal dari akar kata yang sama dengan "disciple" atau

murid/pengikut. Untuk menjadi seorang murid atau pengikut, seseorang harus benar-benar memahami alasan di balik mengikuti suatu ajaran, sehingga motivasi yang terbentuk adalah motivasi intrinsik, bukan ekstrinsik.

Diane juga menyatakan bahwa makna asli dari kata "disiplin" berkaitan dengan disiplin diri murid-murid Socrates dan Plato. Disiplin diri memungkinkan seseorang untuk mengembangkan potensinya menuju tujuan yang dihargai dan bermakna. Dengan kata lain, disiplin diri adalah belajar bagaimana mengendalikan diri dan memilih tindakan berdasarkan nilai-nilai yang dihargai.

Orang yang memiliki disiplin diri mampu bertanggung jawab atas tindakannya karena mereka bertindak berdasarkan nilai-nilai kebajikan universal. Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa tanggung jawab selalu menyertai hak atau kewajiban seseorang yang memegang kekuasaan atau kepemimpinan. Artinya, seseorang harus bertanggung jawab atas dirinya sendiri serta keteraturan perilakunya dalam menjalankan hak dan kewajibannya.

Sebagai pendidik, tujuan kita adalah membentuk anak-anak yang memiliki disiplin diri, sehingga mereka dapat berperilaku sesuai dengan nilai-nilai kebajikan universal dan memiliki motivasi intrinsik, bukan ekstrinsik.

3. Nilai-Nilai Kebajikan Universal

Nilai-nilai kebajikan universal adalah sifat-sifat positif yang diakui dan dihargai secara luas oleh masyarakat di seluruh dunia, terlepas dari suku bangsa, agama, bahasa, atau latar belakang budaya. Nilai-nilai ini berfungsi sebagai "payung besar" yang membimbing sikap dan perilaku kita, menjadi fondasi utama dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Dr. William Glasser dalam Teori Kontrol (1984) menyatakan bahwa setiap perbuatan manusia memiliki tujuan, dan Diane Gossen (1998) menambahkan bahwa mengaitkan nilai-nilai kebajikan dengan keyakinan seseorang dapat membangun motivasi intrinsik, yang kemudian mendorong individu untuk mencapai tujuan mulia yang diinginkan.

Beberapa institusi dan organisasi pendidikan telah mengembangkan dan menerapkan nilai-nilai kebajikan yang mereka yakini dan sepakati bersama. Salah satu contohnya adalah Profil Pelajar Pancasila, yang bertujuan untuk membentuk karakter anak-anak Indonesia berdasarkan nilai-nilai luhur yang universal. Nilai-nilai kebajikan ini tidak hanya khusus untuk satu kelompok, tetapi diakui secara universal, sehingga banyak institusi atau organisasi yang memiliki kesamaan dalam nilai-nilai kebajikan yang mereka anut.

Berikut adalah nilai-nilai kebajikan yang dipegang oleh enam institusi/organisasi pendidikan:

a. Profil Pelajar Pancasila: Pelajar Pancasila adalah pelajar yang mengamalkan nilai-nilai Pancasila, yang meliputi berkebinekaan global, gotong royong, mandiri, bernalar kritis, kreatif, dan berakhlak mulia.

b. IBO Primary Years Program (PYP): Program ini menekankan pendidikan holistik dan pengembangan karakter melalui nilai-nilai seperti penanya, berpengetahuan, pemikir, komunikator, berprinsip, terbuka, peduli, pengambil risiko, seimbang, dan reflektif.

c. Sembilan Pilar Karakter (Indonesian Heritage Foundation/IHF): IHF mempromosikan sembilan pilar karakter, antara lain cinta Tuhan dan alam semesta, tanggung jawab, amanah, hormat, kasih sayang, percaya diri, keadilan, kebaikan, dan toleransi.

d. Petunjuk Seumur Hidup dan Keterampilan Hidup (Lifelong Guidance and Life Skills): Nilai-nilai ini berfokus pada pengembangan keterampilan seperti komunikasi, sosial, manajemen diri, pemecahan masalah, berpikir kritis, dan berpikir kreatif.

e. The Seven Essential Virtues (Building Moral Intelligence): Michele Borba dalam Building Moral Intelligence mengidentifikasi tujuh kebajikan esensial: empati, hati nurani, pengendalian diri, menghargai orang lain, kebaikan, toleransi, dan keadilan.

f. The Virtues Project: Proyek ini mempromosikan kebajikan seperti kebijaksanaan, keberanian, cinta kasih, keadilan, kesederhanaan, pengendalian diri, kebaikan, pengampunan, rendah hati, dan kesabaran.

Kesamaan nilai-nilai kebajikan yang dipegang oleh berbagai institusi/organisasi ini menunjukkan bahwa nilai-nilai tersebut bersifat universal dan dapat diterima oleh berbagai kelompok masyarakat di seluruh dunia. Nilai-nilai kebajikan ini menjadi landasan yang kuat dalam pembentukan karakter individu, membangun masyarakat yang lebih baik, dan menciptakan dunia yang harmonis dan damai.

B. Teori Motivasi, Hukuman dan Penghargaan, Restitusi

1. Teori Motivasi

Dalam bukunya Restructuring School Discipline, Diane Gossen mengidentifikasi tiga jenis motivasi perilaku manusia:

a. Menghindari Ketidaknyamanan atau Hukuman

Ini merupakan tingkat motivasi terendah. Orang yang termotivasi untuk menghindari hukuman atau ketidaknyamanan cenderung bertanya, "Apa yang akan terjadi jika saya tidak melakukannya?" Mereka menghindari tindakan yang dapat menyebabkan masalah fisik, psikologis, atau ketidakpuasan kebutuhan. Motivasi ini bersifat eksternal.

b. Mendapatkan Imbalan atau Penghargaan dari Orang Lain

Motivasi ini satu tingkat di atas yang pertama. Orang berperilaku untuk memperoleh imbalan atau penghargaan dari orang lain. Mereka akan bertanya, "Apa yang akan saya dapatkan jika saya melakukannya?" Mereka mencari pujian dari orang yang mereka anggap penting atau untuk mendapatkan hadiah, pengakuan, atau imbalan lainnya. Motivasi ini juga bersifat eksternal.

c. Menjadi Orang yang Mereka Inginkan dan Menghargai Diri Sendiri dengan Nilai-nilai yang Mereka Yakini

Pada tingkat ini, orang termotivasi untuk menjadi versi diri mereka yang sesuai dengan nilai-nilai yang mereka yakini dan hargai. Mereka bertanya, "Akan menjadi orang seperti apa saya jika saya melakukannya?" Mereka berperilaku sesuai dengan nilai-nilai tersebut karena ingin menjadi pribadi yang mempraktikkannya. Motivasi ini bersifat internal dan mendorong seseorang untuk memiliki disiplin positif.

2. Hukuman, Konsekuensi, dan Restitusi

Dalam penerapan peraturan atau norma kelas/sekolah, ketika terjadi pelanggaran, tindakan tertentu harus diambil. Oleh karena itu, penting untuk mengevaluasi kembali cara kita menegakkan peraturan atau norma yang ada. Tindakan terhadap pelanggaran umumnya berbentuk hukuman atau konsekuensi. Dalam modul ini, akan diperkenalkan program disiplin positif yang disebut Restitusi.

Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi siswa untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka dapat kembali ke kelompok mereka dengan karakter yang lebih kuat (Gossen, 2004). Restitusi juga merupakan proses kolaboratif yang mengajarkan siswa untuk mencari solusi bagi masalah mereka, dan membantu mereka berpikir tentang orang seperti apa yang mereka inginkan dan bagaimana mereka harus memperlakukan orang lain (Chelsom Gossen, 1996).

Sebelum membahas lebih lanjut tentang penerapan Restitusi, perlu dipertimbangkan perbedaan antara hukuman dan konsekuensi. Apakah keduanya sama? Jika ya, di mana letak persamaannya? Jika tidak, bagaimana perbedaannya? Berikut ini adalah gambaran perbedaan antara Hukuman, Konsekuensi, dan Restitusi.

Hukuman bersifat tidak terencana atau tiba-tiba. Siswa tidak mengetahui apa yang akan terjadi dan tidak dilibatkan dalam proses tersebut. Hukuman diberikan secara sepihak oleh guru, tanpa melalui kesepakatan atau pengarahan, baik sebelum maupun sesudahnya. Hukuman yang diberikan dapat berupa fisik atau psikis, di mana siswa mengalami rasa sakit atau ketidaknyamanan akibat tindakan atau kata-kata yang diberikan oleh guru.

Di sisi lain, disiplin dalam bentuk konsekuensi sudah terencana atau telah disepakati sebelumnya; telah dibahas dan disetujui oleh siswa dan guru. Bentuk-bentuk konsekuensi umumnya ditetapkan oleh guru (atau sekolah), dan siswa sudah mengetahui konsekuensi yang akan diterima jika terjadi pelanggaran. Konsekuensi bertujuan untuk membuat siswa merasa tidak nyaman dalam jangka pendek. Konsekuensi biasanya diberikan berdasarkan data yang dapat diukur, misalnya, setelah tiga kali tidak menyelesaikan tugas pada batas waktu yang diberikan, atau siswa melakukan kegiatan di luar pembelajaran seperti mengobrol. Dalam kasus tersebut, siswa kehilangan waktu bermain dan harus menyelesaikan tugasnya. Peraturan dan

konsekuensi yang mengikuti sudah diketahui oleh siswa sebelumnya. Dalam konteks ini, guru terus memonitor perilaku siswa.

Restitusi, berbeda dengan hukuman dan konsekuensi, lebih menekankan pada perbaikan dan pemulihan. Proses ini melibatkan siswa secara aktif dalam mencari solusi dan memperbaiki kesalahan mereka. Restitusi mendorong siswa untuk merenungkan tindakan mereka, memahami dampaknya, dan bekerja menuju pemulihan hubungan serta peningkatan karakter diri. Dengan demikian, motivasi internal siswa untuk melakukan yang terbaik dapat tumbuh dan berkembang.

Secara keseluruhan, program disiplin positif yang mencakup Restitusi membantu menciptakan lingkungan belajar yang lebih sehat dan suportif, di mana siswa didorong untuk bertanggung jawab atas tindakan mereka dan tumbuh menjadi individu yang lebih baik.

3. Dihukum oleh Penghargaan

“Saat kita terus-menerus menjanjikan hadiah kepada anak-anak agar mereka bertanggung jawab, kepada seorang murid agar mempelajari sesuatu yang baru, atau kepada seorang karyawan agar bekerja dengan baik, kita berasumsi bahwa mereka tidak mampu melakukannya atau tidak akan memilih untuk melakukannya.” – Alfie Kohn

Alfie Kohn, dalam bukunya Punished by Rewards (1993) dan wawancaranya di ASCD Annual Conference pada Maret 1995, menyatakan bahwa baik penghargaan maupun hukuman adalah metode untuk mengontrol perilaku yang merusak potensi pembelajaran yang sejati. Menurut Kohn, idealnya, tindakan belajar itu sendiri adalah penghargaan yang sebenarnya.

Kohn juga menyampaikan beberapa pengamatan terkait dampak pemberian penghargaan yang sebenarnya sama merusaknya dengan hukuman:

a. Pengaruh Jangka Pendek dan Jangka Panjang

Penghargaan efektif untuk mendorong seseorang melakukan sesuatu yang diinginkan dalam jangka pendek. Namun, jika kita terus-menerus menggunakan penghargaan, orang tersebut akan bergantung pada penghargaan itu dan kehilangan motivasi intrinsik. Akibatnya, mereka tidak akan menyadari kebaikan dari tindakan yang mereka lakukan, selain dari penghargaan yang diharapkan.

b. Penghargaan Tidak Efektif

Penghargaan adalah benda atau peristiwa yang diinginkan, yang diberikan dengan syarat: Hanya jika Anda melakukan hal ini, Anda akan mendapatkan penghargaan tersebut. Jika penghargaan yang diharapkan tidak didapatkan, seseorang akan merasa kecewa dan putus asa, sehingga kemungkinan besar mereka tidak akan berusaha sekeras sebelumnya. Memberikan penghargaan untuk suatu tindakan berarti kita harus terus memberikan penghargaan agar perilaku yang diinginkan terus berlanjut. Misalnya, orang yang berusaha berhenti merokok atau berdiet hampir pasti akan gagal jika diberikan penghargaan.

c. Penghargaan Merusak Hubungan

Penghargaan atau pujian yang diberikan di depan orang banyak bisa menimbulkan rasa iri dan tidak suka di antara orang lain. Jika seorang guru sering memberikan penghargaan kepada muridnya, murid tersebut mungkin hanya termotivasi untuk menyenangkan gurunya, bukan karena kejujuran atau integritas. Penghargaan juga menciptakan persaingan dalam kelas, yang menimbulkan kecemasan. Mereka yang merasa tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan penghargaan akan berhenti mencoba.

d. Penghargaan Mengurangi Ketepatan

Riset I: Dalam sebuah percobaan, sekelompok anak laki-laki berusia sekitar 9 tahun diminta untuk melihat gambar wajah yang hampir serupa dan mengidentifikasi apakah gambar-gambar tersebut sama atau berbeda. Beberapa dari mereka diberi uang sebagai penghargaan jika jawabannya benar, sementara yang lain tidak.

Hasil: Anak laki-laki yang diberi uang cenderung membuat lebih banyak kesalahan.

Riset II: Anak-anak diminta mengingat kata-kata tertentu dan kemudian mengambil kartu yang berisi kata-kata tersebut setiap kali muncul. Beberapa anak diberikan permen untuk jawaban yang benar, sementara yang lain hanya diberi tahu jika jawabannya benar.

Hasil: Anak-anak yang diberi permen cenderung memberikan jawaban yang lebih banyak tidak tepat dibandingkan dengan yang hanya diberi tahu jawabannya benar.

e. Penghargaan Menurunkan Kualitas

Pengamatan dilakukan pada sekelompok mahasiswa yang bekerja di sebuah surat kabar universitas; mereka belajar menulis artikel untuk berita utama. Seiring waktu, mahasiswa tersebut semakin cepat bekerja. Namun, beberapa mahasiswa yang dibayar untuk setiap berita utama yang mereka hasilkan menunjukkan penurunan kualitas kerja. Mereka yang tidak menerima bayaran terus berusaha meningkatkan kualitas diri.

f. Penghargaan Mematikan Kreativitas

Ketika murid-murid diminta memikirkan hadiah atau penghargaan yang bisa mereka dapatkan jika berhasil menulis sebuah puisi, kreativitas mereka menurun dibandingkan dengan yang tidak diberi tahu tentang hadiah tersebut. Penelitian menunjukkan bahwa pekerjaan seni atau penulisan cerita menjadi kurang kreatif jika dijanjikan sebuah hadiah. Dalam tugas-tugas pemecahan masalah, murid-murid membutuhkan waktu lebih lama dan memberikan solusi yang kurang kreatif saat dijanjikan penghargaan.

g. Penghargaan Menghukum

Penghargaan ‘menghukum’ mereka yang tidak mendapatkannya. Misalnya, dalam sistem ‘ranking’. Mereka yang mendapatkan ranking kedua akan merasa ‘dihukum’. Memberikan penghargaan dan hukuman adalah hal yang sama karena keduanya berusaha mengendalikan perilaku seseorang. Karena orang pada dasarnya tidak suka dikendalikan,

dalam jangka panjang, penghargaan akan terlihat sebagai hukuman. Jika suatu penghargaan diharapkan namun tidak didapatkan, orang akan merasa dihukum.

h. Motivasi dari Dalam Diri (Intrinsik)

Ketika seorang anak pertama kali belajar menggabungkan huruf dan kata, serta menyadari bahwa ia dapat membaca, timbul cahaya kebahagiaan di matanya dan senyuman di wajahnya. Anak tersebut merasa gembira karena telah mempelajari dan menguasai keterampilan baru. Kesadaran akan kemampuannya untuk membaca adalah penghargaan yang sebenarnya. Jika kita memberikan penghargaan kepada seorang anak saat dia sedang merasa bangga dengan pencapaiannya sendiri, kita sebenarnya merusak kegembiraan yang dia rasakan secara alami.

4. Restitusi: Sebuah Pendekatan untuk Menciptakan Disiplin Positif

Bapak dan Ibu calon guru penggerak, bagaimana Anda akan menanggapi situasi berikut:

 Dalam sebuah pesta ulang tahun, seorang teman memecahkan gelas. Apakah Anda akan meminta dia mengganti gelas yang pecah tersebut?

 Anda sudah berjanji bertemu dengan teman, tetapi dia juga memiliki janji penting di tempat lain. Akibatnya, Anda harus naik taksi untuk menemui dia di tempat itu. Apakah Anda akan meminta dia mengganti biaya taksi Anda?

 Seorang pegawai melakukan kesalahan yang menyebabkan kerugian finansial pada perusahaan. Pegawai tersebut menawarkan untuk bekerja lembur tanpa bayaran. Apakah Anda akan menerima tawarannya?

Jika seseorang melakukan kesalahan terhadap Anda dan mereka menawarkan untuk memperbaikinya, besar kemungkinan Anda akan menolak tawaran tersebut dengan mengatakan, "Tidak usah, tidak apa-apa. Lupakan saja." Kebiasaan kita selama ini adalah memaafkan atau membuat mereka merasa tidak nyaman atau bersalah. Kita cenderung lebih fokus pada kesalahan daripada mencari cara bagi orang yang bersalah untuk memperbaiki diri. Mengutamakan rasa "impas" lebih penting daripada membuat situasi benar kembali.

Bapak dan Ibu calon guru penggerak,

Sebagai seorang guru, ketika murid Anda melakukan kesalahan, tindakan mana yang akan Anda lakukan?

 Menunjukkan kesalahannya dan memintanya merenungkannya.

 Mengatakan, "Kamu seharusnya tahu bagaimana seharusnya bertindak."

 Mengingatkan murid akan kesalahan yang sama di waktu sebelumnya.

 Bertanya, "Kenapa kamu melakukan sesuatu yang seharusnya tidak kamu lakukan?"

 Mengkritik dan mendiamkannya.

Jika Anda melakukan tindakan-tindakan di atas, kemungkinan besar Anda akan membuat murid merasa gagal. Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana sebaiknya kita merespons ketika murid melakukan kesalahan?

Restitusi adalah proses menciptakan kondisi di mana murid dapat memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali ke kelompok dengan karakter yang lebih kuat (Gossen, 2004). Ini juga merupakan proses kolaboratif yang mengajarkan murid mencari solusi untuk masalah mereka, dan membantu mereka berpikir tentang orang seperti apa yang mereka inginkan dan bagaimana mereka seharusnya memperlakukan orang lain (Chelsom Gossen, 1996).

Restitusi membantu murid menjadi lebih bertujuan, disiplin positif, dan memulihkan diri setelah melakukan kesalahan. Fokusnya bukan pada bagaimana berperilaku untuk menyenangkan orang lain atau menghindari ketidaknyamanan, melainkan menjadi seseorang yang menghargai nilai-nilai kebajikan yang mereka percayai. Sebelumnya kita telah belajar tentang teori kontrol yang menyatakan bahwa pada dasarnya, kita memiliki motivasi intrinsik.

Melalui restitusi, ketika murid berbuat salah, guru menanggapi dengan cara yang memungkinkan murid untuk melakukan evaluasi internal tentang apa yang dapat mereka lakukan untuk memperbaiki kesalahan mereka dan mendapatkan kembali harga diri mereka. Restitusi menguntungkan korban sekaligus orang yang bersalah, sesuai dengan prinsip solusi menang-menang dari teori kontrol William Glasser.

Ada peluang luar biasa bagi murid untuk bertumbuh ketika mereka melakukan kesalahan. Pada dasarnya, begitulah cara kita belajar. Murid perlu bertanggung jawab atas perilaku yang mereka pilih, namun mereka juga dapat belajar dari pengalaman dan membuat pilihan yang lebih baik di masa depan. Jika guru menyelesaikan masalah perilaku mereka, murid akan kehilangan kesempatan untuk mempelajari keterampilan hidup yang berharga.

Berikut adalah ciri-ciri restitusi yang membedakannya dengan program disiplin lainnya:

a. Restitusi bukan untuk menebus kesalahan, tetapi untuk belajar dari kesalahan

Dalam restitusi, ketika murid melakukan kesalahan, guru tidak mengarahkan mereka untuk menebus kesalahan dengan membayar sejumlah uang, memperbaiki kerugian, atau sekadar meminta maaf. Fokusnya bukan pada tindakan untuk menebus kesalahan dan menghindari ketidaknyamanan yang bersifat eksternal, melainkan pada upaya perbaikan diri yang bersifat internal. Biasanya, setelah menebus kesalahan, orang yang bersalah akan merasa lega dan seolah-olah kesalahan tidak pernah terjadi.

b. Restitusi Bukanlah Hukuman

Terkadang, bisa muncul keinginan untuk membalas dendam jika orang yang bersalah merasa tidak rela harus menebus kesalahannya. Jika tindakan penebusan kesalahan dipahami sebagai hukuman, mereka mungkin hanya ingin membuat situasi menjadi impas.

Pembalasan semacam ini dapat berdampak jangka panjang karena konfliknya tetap ada. Menebus kesalahan memang tidak salah, namun biasanya tidak membuat seseorang menjadi pribadi yang lebih kuat.

Restitusi sebenarnya juga melibatkan usaha untuk menebus kesalahan, tetapi sebaiknya merupakan inisiatif dari murid yang melakukan kesalahan. Proses pemulihan terjadi ketika murid yang bersalah berinisiatif untuk melakukan sesuatu yang menunjukkan penyesalannya. Fokusnya tidak hanya pada mengurangi kerugian korban, tetapi juga pada bagaimana menjadi orang yang lebih baik dan melakukan kebaikan berdasarkan nilai-nilai kebajikan yang mereka yakini. Ketika murid belajar dari kesalahan untuk menjadi lebih baik di masa depan, mereka mendapatkan pelajaran yang dapat digunakan sepanjang hidup.

c. Restitusi Memperbaiki Hubungan

Restitusi adalah tentang memperbaiki dan memperkuat hubungan. Restitusi membantu murid menentukan jenis orang yang ingin mereka menjadi dan bagaimana mereka ingin diperlakukan. Ini adalah proses refleksi dan pemulihan yang menciptakan kondisi aman bagi murid untuk jujur pada diri mereka sendiri dan mengevaluasi dampak tindakan mereka terhadap orang lain. Setelah proses pemulihan dan evaluasi diri selesai, mereka dapat mulai memikirkan apa yang bisa dilakukan untuk menebus kesalahan mereka pada korban.

d. Restitusi adalah Tawaran, Bukan Paksaan

Restitusi yang dipaksakan bukanlah restitusi yang sebenarnya, melainkan konsekuensi. Jika guru memaksa proses restitusi, murid akan bertanya, "Apa yang akan terjadi jika saya tidak melakukannya?" Jika mereka tidak menyukai konsekuensi yang disarankan guru, mereka mungkin akan setuju dan melakukannya hanya untuk menghindari ketidaknyamanan atau kehilangan kebebasan atau diasingkan dari kelompok. Mereka akan berpikir bahwa menyakiti orang lain berarti mereka juga harus disakiti, sehingga situasinya menjadi impas. Memaksa restitusi bertentangan dengan perkembangan moral yang menekankan kebebasan untuk membuat pilihan. Oleh karena itu, penting bagi guru untuk menciptakan kondisi yang mendorong murid menyelesaikan masalah dan berbuat lebih baik lagi, dengan mengatakan, "Tidak apa-apa berbuat salah, itu manusiawi. Semua orang pernah berbuat salah." Pembicaraan ini bersifat tawaran, bukan paksaan, dan bukan mengatakan, "Kamu harus melakukan ini, kalau tidak maka…"

e. Restitusi Mengarahkan pada Refleksi Diri

Dalam proses restitusi, kita melihat ketidaksesuaian antara tindakan murid yang berbuat salah dan keyakinan mereka tentang jenis orang yang mereka inginkan. Untuk membimbing proses pemulihan diri, guru bisa bertanya pada mereka:

 Kamu ingin menjadi orang seperti apa?

 Kamu akan terlihat, terdengar, dan terasa seperti apa jika sudah menjadi orang yang seperti itu?

 Apa yang kamu percaya tentang bagaimana orang harus memperlakukan orang lain?

 Bagaimana kamu ingin diperlakukan ketika kamu berbuat salah?

 Apa nilai yang diajarkan di keluargamu tentang hal ini? Apakah kamu memegang nilai ini?

 Jika tidak, apa yang kamu percayai?

Kita tidak ingin menciptakan rasa bersalah pada diri anak dengan bertanya seperti itu. Jika guru melihat rasa bersalah di wajah murid, guru harus cepat-cepat mengatakan, "Tidak apa-apa kok berbuat salah."

Ketika murid sudah dibimbing untuk mengeksplorasi jenis orang yang mereka inginkan, guru bisa mulai bertanya tentang kejadian tersebut: seberapa sering hal ini terjadi, apa yang ia lakukan, dan di mana ia berada. Murid tidak akan berbohong pada guru.

f. Restitusi Mencari Kebutuhan Dasar yang Mendasari Tindakan

Untuk berpindah dari evaluasi diri ke restitusi diri, penting bagi murid untuk memahami dampak dari tindakannya pada orang lain. Jika murid paham bahwa setiap orang memiliki kebutuhan dasar yang perlu dipenuhi, ini akan sangat membantu mereka menyadari kebutuhan apa yang sedang mereka coba penuhi serta kebutuhan orang lain.

Untuk membantu murid mengenali kebutuhan dasarnya, guru bisa meminta mereka mengenali perasaan mereka. Perasaan sedih dan kesepian menunjukkan kebutuhan cinta dan kasih sayang yang tidak terpenuhi. Perasaan dipaksa atau terlalu banyak beban menunjukkan kurangnya kebutuhan akan kebebasan. Perasaan takut atau lelah menunjukkan ketidakamanan. Perasaan bosan menunjukkan kurangnya kesenangan.

g. Restitusi Diri adalah Cara yang Paling Baik

Dalam restitusi diri, murid belajar mengubah kebiasaan dari mengevaluasi orang lain menjadi mengevaluasi diri sendiri. Dr. William Glasser menyatakan, orang yang bahagia akan mengevaluasi diri sendiri, sementara orang yang tidak bahagia akan mengevaluasi orang lain. Tiga Tahap Evaluasi Diri:

1) Saya tidak suka cara saya berbicara padamu.

2) Kesalahan yang saya lakukan adalah:

 Saya sebenarnya punya informasi yang kamu butuhkan.

 Saya lelah dan saya bicara terlalu cepat.

 Saya tidak jelas menyampaikan apa yang saya inginkan.

 Pemahaman saya berbeda dengan pemahamanmu.

3) Besok lagi saya akan:

 Menyampaikan informasi yang saya punya dan kamu butuhkan.

 Bicara lebih lambat.

 Bicara lebih jelas tentang keinginan saya.

 Menyampaikan pemahaman saya padamu.

Ketika murid bisa melakukan restitusi diri, mereka akan bisa mengontrol diri mereka dengan lebih baik dan dengan tujuan yang lebih baik pula.

Ketika Anda berhadapan dengan orang lain dan melakukan evaluasi diri, 9 dari 10 orang yang diajak bicara juga akan melakukan evaluasi diri. Mungkin ada 1 dari 10 orang yang justru menggunakan kesempatan itu untuk menghukum Anda. Jika ini terjadi, tanyakan, apakah Anda mau menggunakan kesempatan ini untuk menjelek-jelekkan saya atau membuat situasi ini menjadi lebih baik. Anda mau ke arah mana?

h. Restitusi Fokus pada Karakter, Bukan Tindakan

Dalam proses restitusi diri, murid akan menyadari mereka sedang menjadi orang yang seperti apa, yang ini menunjukkan fokus pada penguatan karakter. Ketika guru membimbing murid untuk penguatan karakter, guru akan mengatakan, "Ibu/Bapak tidak terlalu mempermasalahkan apa yang kamu lakukan hari ini, tetapi mari kita bicara tentang apa yang akan kamu lakukan besok. Kamu bisa saja minta maaf, tetapi orang akan lebih suka mendengar apa yang akan kamu lakukan dengan lebih baik lagi."

i. Restitusi Menguatkan

Bisakah momen ketika murid melakukan kesalahan menjadi sebuah momen yang baik? Jawabannya, tentu bisa, asalkan ia bisa belajar dari kesalahan itu. Apa maksud dari kalimat "kita bisa lebih kuat setelah kita belajar dari kesalahan"? Kuat di sini bukan berarti menekan perasaan kita dalam-dalam, tetapi menyadari apa yang bisa murid ubah, dan murid benar-benar mengubahnya. Guru bisa bertanya, "Apa yang dapat kamu ubah dari dirimu sendiri? Bagaimana kamu akan berubah?"

j. Restitusi Fokus pada Solusi

Dalam restitusi, guru menstabilkan identitas murid dengan mengatakan, "Kita tidak fokus pada kesalahan, Bapak/Ibu tidak tertarik untuk mencari siapa yang benar, siapa yang salah."

k. Restitusi Mengembalikan Murid yang Berbuat Salah pada Kelompoknya

Mari kita lihat praktik pendidikan kita yang seringkali memisahkan anak-anak dari kelompoknya. Misalnya, seorang anak TK yang bersikap tidak kooperatif saat kegiatan mendengar dongeng dari gurunya disuruh keluar dari kelompoknya, atau anak itu diminta duduk di belakang kelas atau di pojok kelas, disuruh keluar kelas ke koridor, atau ke kantor guru, seringkali dibiarkan tanpa pengawasan.

Jika ada anak remaja nakal, orang tua menyuruh pergi dari rumah. Padahal, jika mereka jauh dari orang tua, orang tua tidak bisa mengajari mereka, dan mereka tidak belajar nilai-nilai kebajikan. Jika mereka tidak belajar, bagaimana nasib generasi kita ke depan? Jika kita menjauhkan remaja kita, mereka akan putus hubungan dengan kita.

Ketika anak berbuat salah, kita tidak bisa memotivasi anak untuk menjadi baik; kita hanya bisa menciptakan kondisi agar mereka bisa melihat ke dalam diri mereka. Kita seharusnya mengajari mereka untuk menyelesaikan masalah mereka dan berusaha mengembalikan mereka ke kelompok mereka dengan karakter yang lebih kuat.

C. Keyakinan Kelas

1. Mengapa Keyakinan Kelas, Mengapa Tidak Peraturan Kelas Saja?

Pentingnya menerapkan keyakinan di kelas, daripada hanya mengandalkan serangkaian peraturan, berakar pada pemahaman mendalam tentang motivasi dan perilaku manusia. Untuk lebih jelas, mari kita renungkan beberapa contoh sederhana dari kehidupan sehari-hari:

Mengapa kita memiliki peraturan tentang penggunaan helm saat mengendarai kendaraan roda dua/motor? Kemungkinan jawaban Anda adalah untuk ‘keselamatan’. Demikian juga, mengapa kita memiliki peraturan tentang penggunaan masker dan mencuci tangan setiap saat? Jawabannya mungkin ‘untuk kesehatan dan/atau keselamatan’.

Nilai-nilai keselamatan dan kesehatan ini adalah contoh dari apa yang disebut sebagai ‘keyakinan’, yaitu nilai-nilai kebajikan universal yang disepakati secara tersirat dan tersurat, lepas dari latar belakang suku, negara, bahasa, maupun agama. Menekankan pada keyakinan seseorang akan lebih memotivasi mereka dari dalam. Seseorang akan lebih tergerak dan bersemangat untuk menjalankan keyakinannya, daripada hanya sekedar mengikuti serangkaian peraturan tertulis tanpa makna.

Begitu juga dengan murid-murid di kelas. Mereka perlu mendengarkan dan memahami arti sesungguhnya dari peraturan-peraturan yang diberikan: apa nilai-nilai kebajikan di balik peraturan tersebut, apa tujuan utamanya. Tanpa pemahaman ini, murid-murid cenderung hanya mengikuti peraturan karena takut pada konsekuensinya, bukan karena mereka benar-benar percaya pada nilai-nilai yang diusung.

Pada pembelajaran tentang Disiplin dan Nilai-nilai Kebajikan Universal, kita telah mempelajari tentang nilai-nilai kebajikan yang dapat menjadi landasan dalam membuat suatu

keyakinan sekolah atau menentukan visi dan misi dari sebuah institusi/sekolah. Seperti telah dikemukakan di modul 1.2, dalam penentuan visi sebuah institusi/sekolah, kita perlu terlebih dahulu menentukan nilai-nilai kebajikan apa yang terpenting bagi institusi tersebut agar dapat mencapai tujuan mulia yang dicita-citakan.

Penentuan nilai-nilai kebajikan pada sebuah institusi telah diberikan contoh-contohnya pada pembelajaran 2.1. Selanjutnya, kita akan meninjau kegiatan-kegiatan apa saja yang bisa dilakukan agar dapat menentukan keyakinan suatu sekolah atau pun keyakinan kelas. Melalui pendekatan ini, kita berharap dapat menciptakan lingkungan belajar yang lebih harmonis dan produktif, di mana setiap individu terinspirasi oleh nilai-nilai kebajikan yang mendasari aturan yang ada.

2. Prosedur Pembentukan Keyakinan Sekolah/Kelas

a. Curah Pendapat: Mengajak seluruh warga sekolah atau murid-murid di kelas untuk berpartisipasi dalam diskusi terbuka tentang peraturan yang perlu disepakati bersama.

b. Pencatatan Masukan: Menulis semua masukan dari murid/warga sekolah di papan tulis atau kertas besar (poster), sehingga semua anggota kelas/warga sekolah dapat melihat hasil diskusi tersebut.

c. Pengubahan Kalimat Negatif menjadi Positif: Mengubah kalimat-kalimat negatif menjadi positif. Contoh:

 Kalimat negatif: "Jangan berlari di kelas atau koridor."

 Kalimat positif: "Berjalanlah di kelas atau koridor."

d. Identifikasi Nilai Kebajikan: Meninjau kembali daftar masukan yang sudah dicatat. Anda mungkin akan mendapati bahwa banyak pernyataan yang masih berupa peraturan. Ajak warga sekolah/murid-murid untuk menemukan nilai kebajikan atau keyakinan yang mendasari peraturan tersebut.

 Contoh: "Berjalan di kelas," "Dengarkan Guru," dan "Datanglah Tepat Waktu" bisa diintegrasikan di bawah keyakinan atau nilai kebajikan "Hormat".

e. Penyusunan Daftar Keyakinan: Setelah mengidentifikasi nilai-nilai kebajikan, susun daftar keyakinan yang disepakati bersama. Gabungkan beberapa peraturan menjadi beberapa keyakinan utama untuk menyederhanakan dan memfokuskan nilai-nilai inti yang ingin dicapai.

f. Peninjauan Ulang: Tinjau kembali daftar keyakinan yang telah disusun bersama-sama. Pastikan daftar keyakinan tersebut tidak terlalu banyak, idealnya berkisar antara 3-7 prinsip/keyakinan. Hal ini untuk memastikan bahwa semua warga kelas dapat mengingat dan menerapkan keyakinan tersebut dengan lebih mudah.

g. Pengesahan dan Penandatanganan: Setelah daftar keyakinan selesai disusun, seluruh warga kelas, termasuk guru dan murid, dipersilakan meninjau ulang dan menyetujui dengan menandatangani dokumen keyakinan sekolah/kelas tersebut.

h. Penempatan di Kelas: Pasang daftar keyakinan sekolah/kelas di dinding kelas pada tempat yang mudah dilihat oleh semua warga kelas. Hal ini bertujuan untuk mengingatkan dan menegaskan komitmen bersama terhadap keyakinan yang telah disepakati.

Prosedur ini tidak hanya membantu murid memahami nilai-nilai kebajikan di balik peraturan, tetapi juga meningkatkan partisipasi dan tanggung jawab mereka dalam menciptakan lingkungan belajar yang positif dan saling menghormati.

3. Kegiatan Pendalaman Keyakinan Kelas

Langkah-langkah Pelaksanaan:

a. Pembagian Kelompok: Bagilah anggota kelas menjadi beberapa kelompok kecil. Setiap kelompok diberikan selembar kertas besar.

b. Pembuatan Tabel T: Salah satu anggota kelompok membuat huruf T kapital yang besar di tengah kertas, membentuk dua kolom: "Tampak Seperti" dan "Tidak Tampak Seperti".

c. Pembagian Keyakinan Kelas: Guru memberikan satu keyakinan kelas kepada setiap kelompok. Jika ada 10 kelompok, dua kelompok bisa mendapatkan keyakinan yang sama.

d. Diskusi Kelompok: Setiap kelompok berdiskusi untuk mengidentifikasi bagaimana penerapan keyakinan tersebut dalam perilaku sehari-hari. Mereka menuliskan contoh-contoh di kolom "Tampak Seperti" dan "Tidak Tampak Seperti".

e. Presentasi Hasil Diskusi: Kelompok mempresentasikan hasil diskusi mereka kepada seluruh kelas. Setelah presentasi, kertas dengan tabel T dipajang di sekeliling dinding kelas.

Contoh:

Keyakinan Kelas 7: "Saling Menghormati"

Tampak Seperti:

 Mendengarkan teman saat berbicara.

 Mengucapkan tolong dan terima kasih.

 Menghormati pendapat yang berbeda.

 Membantu teman yang kesulitan tanpa diminta.

Tidak Tampak Seperti:

 Mengganggu teman saat berbicara.

 Mengabaikan permintaan tolong.

 Mengejek atau menghina pendapat teman.

 Tidak peduli dengan kesulitan yang dialami teman.

Tabel T dari Keyakinan Kelas 7: "Saling Menghormati" Tampak Seperti Tidak Tampak Seperti

Mendengarkan teman saat berbicara

Mengganggu teman saat berbicara

Mengucapkan tolong dan terima kasih

Mengabaikan permintaan tolong

Menghormati pendapat yang berbeda

Mengejek atau menghina pendapat teman

Membantu teman yang kesulitan tanpa diminta

Tidak peduli dengan kesulitan yang dialami teman

Bagan Tampak Seperti/Tidak Tampak Seperti dari Keyakinan Kelas 7: "Saling Menghormati"

Tampak Seperti:

 Interaksi positif dan penuh penghargaan antar murid.

 Lingkungan kelas yang nyaman dan inklusif.

 Komunikasi yang terbuka dan saling mendukung.

Tidak Tampak Seperti:

 Interaksi negatif dan penuh ketegangan.

 Lingkungan kelas yang tidak nyaman dan eksklusif.

 Komunikasi yang tertutup dan tidak mendukung.

Dengan metode ini, murid-murid dapat memahami dan menginternalisasi nilai-nilai kebajikan yang terkandung dalam keyakinan kelas dengan lebih baik. Hal ini juga memperkuat komitmen bersama untuk menciptakan lingkungan belajar yang positif dan saling menghormati.

D. Kebutuhan Dasar Manusia dan Dunia Berkualitas

Seluruh tindakan manusia memiliki tujuan tertentu. Semua yang kita lakukan adalah usaha terbaik kita untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Ketika kita mendapatkan apa yang kita inginkan, sebetulnya saat itu kita sedang memenuhi satu atau lebih dari lima kebutuhan dasar manusia. Kebutuhan-kebutuhan tersebut adalah bertahan hidup (survival), kasih sayang dan rasa diterima (love and belonging), kebebasan (freedom), kesenangan (fun), dan penguasaan (power). Ketika seorang murid melakukan perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kebajikan atau melanggar peraturan, hal itu sebenarnya dikarenakan mereka gagal memenuhi kebutuhan dasar mereka. Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat satu persatu kelima kebutuhan dasar ini.

1. Kebutuhan Bertahan Hidup

Kebutuhan bertahan hidup adalah kebutuhan fisiologis yang penting untuk kelangsungan hidup seperti kesehatan, tempat tinggal, dan makanan. Kebutuhan biologis terkait reproduksi juga termasuk dalam kategori ini. Komponen psikologis dari kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan perasaan aman. Misalnya, dalam kasus Doni, jika ia menjawab Ibu Ambar bahwa ia lapar

karena orangtuanya tidak memberinya bekal makan siang, maka kebutuhan dasar yang sedang dipenuhi Doni adalah kebutuhan untuk bertahan hidup.

2. Kasih Sayang dan Rasa Diterima (Kebutuhan untuk Diterima)

Kebutuhan ini serta tiga kebutuhan berikutnya bersifat psikologis. Kebutuhan untuk disayangi dan diterima mencakup kebutuhan akan hubungan dan koneksi sosial, keinginan untuk memberi dan menerima kasih sayang, serta kebutuhan untuk merasa menjadi bagian dari suatu kelompok. Ini juga melibatkan keinginan untuk tetap terhubung dengan orang lain, seperti teman, keluarga, pasangan hidup, rekan kerja, hewan peliharaan, dan kelompok yang kita ikuti. Anak-anak yang memiliki kebutuhan tinggi akan kasih sayang dan rasa diterima biasanya ingin disukai dan diterima oleh lingkungan mereka. Mereka juga akrab dengan orang tua mereka, belajar karena menyukai guru mereka, dan menganggap teman sebaya sangat penting. Mereka juga suka bekerja dalam kelompok. Jika Doni mengatakan bahwa ia mengambil bekal temannya karena ia senang temannya memperhatikannya dan hal itu membuat orang tuanya lebih memperhatikannya, maka Doni sedang berusaha memenuhi kebutuhan dasar akan kasih sayang dan rasa diterima.

3. Penguasaan (Kebutuhan Pengakuan atas Kemampuan)

Kebutuhan ini berkaitan dengan keinginan untuk mencapai sesuatu, menjadi kompeten, terampil, diakui atas prestasi dan keterampilan kita, didengarkan, dan memiliki rasa harga diri. Ini mencakup keinginan untuk dianggap berharga, membuat perbedaan, mencapai pencapaian, menjadi kompeten, dan dihormati. Ini melibatkan harga diri dan keinginan untuk memberikan pengaruh. Anak-anak yang memiliki kebutuhan tinggi akan penguasaan sering kali ingin menjadi pemimpin, mengamati sebelum mencoba hal baru, dan merasa kecewa jika membuat kesalahan. Mereka juga biasanya rapi, sistematik, dan selalu ingin mencapai yang terbaik. Jika Doni mengatakan bahwa ia merasa hebat karena temannya takut padanya dan menuruti keinginannya, maka Doni sedang berusaha memenuhi kebutuhan dasar akan penguasaan.

4. Kebebasan (Kebutuhan Akan Pilihan)

Kebutuhan untuk bebas adalah kebutuhan akan kemandirian, otonomi, memiliki pilihan, dan mampu mengendalikan arah hidup seseorang. Anak-anak dengan kebutuhan tinggi akan kebebasan ingin memiliki pilihan, perlu banyak bergerak, suka mencoba hal baru, tidak terlalu terpengaruh oleh orang lain, dan menikmati hal-hal baru dan menarik. Jika Doni menjawab bahwa ia bosan dengan bekal yang selalu sama dari ibunya dan ingin mencoba makanan teman-temannya yang beragam, maka Doni sedang berusaha memenuhi kebutuhan akan kebebasan.

5. Kesenangan (Kebutuhan untuk Merasa Senang)

Kebutuhan akan kesenangan adalah kebutuhan untuk mencari kesenangan, bermain, dan tertawa. Hidup tanpa kenikmatan akan sangat menyedihkan. Glasser menghubungkan

kebutuhan akan kesenangan dengan belajar. Semua hewan dengan tingkat kecerdasan tinggi (seperti anjing, lumba-lumba, dan primata) bermain. Saat mereka bermain, mereka mempelajari keterampilan hidup yang penting. Manusia tidak berbeda. Anak-anak dengan kebutuhan dasar kesenangan yang tinggi biasanya ingin menikmati apa yang mereka lakukan. Mereka bisa berkonsentrasi tinggi saat mengerjakan hal yang mereka sukai, suka permainan, mengoleksi barang, bergurau, melucu, dan menggemaskan. Bahkan ketika mereka berperilaku buruk, mereka masih terlihat lucu. Jika Doni mengatakan bahwa ia melakukannya karena iseng saja dan menikmati ekspresi kesal teman-temannya, maka Doni sedang berusaha memenuhi kebutuhan akan kesenangan.

E. Restitusi-Lima Posisi Kontrol

Berikut ini akan dijelaskan program disiplin positif yang berfokus pada murid, yang dikembangkan oleh Diane Gossen dengan pendekatan Restitusi, yang dikenal sebagai 5 Posisi Kontrol.

Dalam bukunya Restitution-Restructuring School Discipline (1998), Diane Gossen menyoroti pentingnya guru mengevaluasi kembali penerapan disiplin di kelas mereka. Evaluasi ini bertujuan untuk memastikan apakah metode yang digunakan efektif, berpusat pada murid, memerdekakan, dan memandirikan mereka. Berdasarkan riset dan teori Kontrol Dr. William Glasser, Gossen menyimpulkan ada lima posisi kontrol yang dapat diterapkan oleh guru, orang tua, atau atasan dalam mengelola kontrol. Kelima posisi kontrol tersebut adalah Penghukum, Pembuat Rasa Bersalah, Teman, Pemantau, dan Manajer.

Mari kita tinjau lebih dalam kelima posisi kontrol ini dengan contoh kasus dari Yayasan Pendidikan Luhur (2007) mengenai seorang murid, Adi, yang terlambat hadir di sekolah. Berikut adalah dialog antara guru dan murid serta bagaimana guru menerapkan disiplin melalui kelima posisi kontrol dalam situasi yang sama.

1. Penghukum

Seorang penghukum menggunakan hukuman fisik atau verbal. Guru yang berperan sebagai penghukum sering kali mengatakan bahwa sistem yang lebih ketat diperlukan untuk menekan murid-murid. Contoh ungkapan dari guru yang menerapkan posisi ini adalah:

 “Patuhi aturan saya, atau awas!”

 “Kamu selalu saja salah!”

 “Selalu, pasti selalu yang terakhir selesai”

Penghukum (Nada suara tinggi, bahasa tubuh: mata melotot, dan jari menunjuk-nunjuk menghardik):

 "Terlambat lagi, pasti terlambat lagi, selalu datang terlambat, kapan bisa datang tepat waktu?"

Bagaimana perasaan murid bila guru berbicara seperti itu saat muridnya datang terlambat? Kemungkinan besar murid akan merasa marah dan dendam atau bersikap agresif. Bisa jadi setelah kembali duduk, murid tersebut akan mencoret-coret bukunya atau meja tulisnya. Lebih buruk lagi, sepulang sekolah, murid mungkin akan merusak kendaraan guru sebagai bentuk balas dendam.

2. Pembuat Rasa Bersalah

Guru pada posisi ini biasanya bersuara lebih lembut dan menggunakan keheningan yang membuat murid merasa tidak nyaman, bersalah, atau rendah diri. Contoh ungkapan dari guru yang menerapkan posisi ini adalah:

 “Ibu sangat kecewa sekali dengan kamu”

 “Berapa kali Bapak harus memberitahu kamu ya?”

 “Gimana coba, kalau orang tua kamu tahu kamu berbuat begini?”

Pembuat Rasa Bersalah (Nada suara memelas/halus/sedih, bahasa tubuh: merapat pada anak, lesu):

 "Adi, kamu ini bagaimana ya? Kamu sudah berjanji dengan ibu tidak akan terlambat lagi. Kamu kenapa ya senang sekali mengecewakan Ibu. Ibu benar-benar kecewa sekali."

Bagaimana perasaan murid bila ditegur seperti cara ini? Murid akan merasa bersalah, merasa tidak berharga, dan merasa telah mengecewakan orang-orang yang disayanginya. Sikap ini kadangkala lebih berbahaya daripada sikap penghukum karena emosi negatif tertanam rapat di dalam diri murid.

3. Teman

Guru pada posisi ini tidak menyakiti murid, tetapi berupaya mengontrol murid melalui persuasi. Posisi teman pada guru bisa berdampak positif atau negatif. Positif berupa hubungan baik dan humor untuk mempengaruhi murid, sementara negatifnya murid bisa merasa kecewa jika suatu saat guru tidak membantu. Contoh ungkapan dari guru yang menerapkan posisi ini adalah:

 “Ayo bantulah, demi bapak ya?”

 “Ayo ingat tidak bantuan Bapak selama ini?”

 “Ya sudah kali ini tidak apa-apa. Nanti Ibu bantu bereskan.”

Teman (Nada suara ramah, akrab, dan bercanda, bahasa tubuh: merapat pada murid, mata dan senyum jenaka):

 "Adi, ayolah, bagaimana sih kamu. Kemarin kamu sudah janji ke bapak bukan, kenapa terlambat lagi? (sambil tertawa ringan). Ya, sudah tidak apa-apa, duduk dulu sana. Nanti Pak Guru bantu. Kamu ini." (sambil senyum-senyum).

Bagaimana perasaan murid dengan sikap guru seperti ini? Murid akan merasa senang dan akrab dengan guru. Dampak negatifnya, murid menjadi tergantung pada guru tersebut.

4. Pemantau

Memantau berarti mengawasi. Guru yang berperan sebagai pemantau bertanggung jawab atas perilaku murid-murid yang diawasi dan menggunakan peraturan serta konsekuensi. Contoh ungkapan dari guru yang menerapkan posisi ini adalah:

 “Peraturannya apa?”

 “Apa yang telah kamu lakukan?”

 “Sanksi atau konsekuensinya apa?”

Pemantau (Nada suara datar, bahasa tubuh yang formal):

 Guru: “Adi, tahukah kamu jam berapa kita memulai?”

 Adi: “Tahu Pak!”

 Guru: “Kamu terlambat 15 menit, apakah kamu sudah mengerti konsekuensi yang harus dilakukan bila terlambat?”

 Adi: “Paham Pak, saya harus tinggal kelas pada jam istirahat nanti dan mengerjakan tugas ketertinggalan saya.”

 Guru: “Ya, benar, nanti pada saat jam istirahat kamu harus tinggal di kelas untuk menyelesaikan tugas yang tertinggal tadi. Saya tunggu.”

Bagaimana perasaan murid diperlakukan seperti ini? Murid memahami konsekuensi yang harus dijalankan karena melanggar peraturan. Guru tidak menunjukkan emosi berlebihan, sehingga murid tetap merasa tidak nyaman namun tidak tertekan secara emosional.

5. Manajer

Posisi terakhir, Manajer, adalah posisi di mana guru bekerja bersama murid, memungkinkan murid mempertanggungjawabkan perilakunya, dan mendukung murid untuk menemukan solusi atas permasalahannya sendiri. Seorang manajer memiliki keterampilan di posisi teman maupun pemantau dan menggunakan pendekatan Restitusi untuk membantu murid menjadi mandiri, merdeka, dan bertanggung jawab. Contoh ungkapan dari guru yang menerapkan posisi ini adalah:

 “Apa yang kita yakini?” (kembali ke keyakinan kelas)

 “Apakah kamu meyakininya?”

 “Jika kamu meyakininya, apakah kamu bersedia memperbaikinya?”

 “Jika kamu memperbaiki ini, hal ini menunjukkan apa tentang dirimu?”

 “Apa rencana kamu untuk memperbaiki hal ini?”

Manajer (Nada suara tulus, bahasa tubuh tidak kaku, mendekat ke murid):

 Guru: “Adi, apakah kamu mengetahui jam berapa sekolah dimulai?”

 Adi: “Tahu Pak, jam 7:00!”

 Guru: “Ya, jadi kamu terlambat, kira-kira bagaimana kamu akan memperbaiki masalah ini?”

 Adi: “Saya bisa menanyakan teman saya Pak, untuk mengejar tugas yang tertinggal.”

 Guru: “Baik, itu bisa dilakukan. Apakah besok akan ada masalah untuk kamu agar bisa hadir tepat waktu ke sekolah?”

 Adi: “Tidak Pak, saya bisa hadir tepat waktu.”

 Guru: “Baik. Saya hargai usahamu untuk memperbaiki diri.”

Bagaimana perasaan murid diperlakukan seperti ini? Pada posisi Manajer, suara guru harus tulus tanpa marah, meninggikan suara, atau sikap menghardik. Fokus ada pada murid, bukan untuk membahagiakan guru atau orang tua. Murid diajak untuk menganalisis masalah dan mencari solusi dengan bimbingan guru. Tujuan akhir dari 5 posisi kontrol ini adalah mencapai posisi Manajer, di mana murid menjadi mandiri, merdeka, dan bertanggung jawab atas perilaku dan sikapnya, sehingga tercipta lingkungan yang positif, nyaman, dan aman.

F. Restitusi-Segitiga Restitusi

Setelah memahami apa itu restitusi, tentu Anda ingin mengetahui cara menerapkannya. Diane Gossen dalam bukunya Restitution: Restructuring School Discipline (2001) merancang tahapan untuk memudahkan guru dan orang tua dalam mempersiapkan anak untuk melakukan restitusi, yang disebut Segitiga Restitusi.

Bagan berikut tentang 3 sisi dari Segitiga Restitusi. Proses tiga tahapan ini didasarkan pada prinsip-prinsip utama dari Teori Kontrol. Ketiga strategi tersebut direpresentasikan dalam tiga sisi segitiga restitusi. Perlu dicatat, langkah-langkah ini tidak harus dilakukan secara kaku satu per satu. Banyak guru telah menggunakannya dalam berbagai versi sesuai gaya masing-masing, bahkan tanpa mengetahui teori restitusi secara formal. Langkah Teori Kontrol

1

Menstabilkan Identitas

(stabilize the identity)

Kita semua akan melakukan hal terbaik yang bisa kita lakukan

2

Validasi Tindakan yang Salah

(Validate the Misbehaviour)

Semua perilaku memiliki alasan

3

Menanyakan Keyakinan

(Seek the Belief)

Kita semua memiliki motivasi internal

Segitiga Restitusi memandu guru dan orang tua dalam membimbing anak-anak untuk bertanggung jawab atas perilaku mereka dan memperbaiki kesalahan dengan cara yang konstruktif dan memberdayakan. Dengan pendekatan ini, diharapkan anak-anak dapat berkembang menjadi pribadi yang mandiri dan bertanggung jawab.

Gambar 6.1

Segitiga Restitusi

Sisi 1: Menstabilkan Identitas (Stabilize the Identity)

Bagian dasar dari segitiga restitusi bertujuan untuk mengubah persepsi anak dari yang merasa gagal karena melakukan kesalahan menjadi orang yang berhasil. Anak yang melanggar peraturan seringkali mencari perhatian dan mengalami kegagalan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Mengkritik anak hanya akan membuat mereka merasa lebih gagal. Sebaliknya, untuk membantu anak menjadi reflektif, kita perlu meyakinkan mereka dengan mengatakan kalimat-kalimat seperti:

 Berbuat salah itu wajar.

 Tidak ada manusia yang sempurna.

 Saya juga pernah melakukan kesalahan serupa.

 Kita bisa menyelesaikan ini bersama.

 Saya tidak tertarik mencari siapa yang salah, tetapi ingin mencari solusi dari masalah ini.

 Kamu berhak merasakan hal tersebut.

 Apakah kamu sedang menjadi teman yang baik untuk dirimu sendiri?

Dengan mengatakan kalimat-kalimat di atas, akan sulit bagi anak untuk tetap membangkang. Guru yang mengawasi anak-anak di halaman sekolah melaporkan bahwa dengan hanya 30 detik mengatakan kalimat tersebut, situasi yang sulit dapat berubah menjadi lebih kooperatif.

Ketika anak merasa sedih dan emosional, mereka tidak bisa mengakses bagian otak yang berfungsi untuk berpikir rasional. Saat itulah kita perlu menstabilkan identitas anak. Sebelum

Menstabilkan Identitas

Validasi Tindakan yang Salah

Menanyakan Keyakinan

“Kamu tentu punya alasan mengapa melakukan itu”

“Adakah cara yang lebih efektif untuk mendapatkan apa yang kamu butuhkan?”

“Keyakinan Kelas apa yang telah kita sepakati”

“Kamu ingin menjadi orang yang seperti apa?”

“Setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan”

“Kamu bukan satu-satunya yang pernah melakukan ini”

Segitiga

Restitusi

keadaan memburuk, sebaiknya kita membantu anak untuk tenang dan kembali ke suasana hati yang memungkinkan proses belajar dan penyelesaian masalah.

Melakukan restitusi akan sulit jika anak terus fokus pada kesalahannya. Ada tiga alasan untuk ini: pertama, rasa bersalah menguras energi yang sama dengan energi yang dibutuhkan untuk mencari solusi. Kedua, rasa bersalah membuat kita merasa gagal dan cenderung menyalahkan orang lain daripada mencari solusi. Ketiga, rasa bersalah membuat kita terperangkap di masa lalu di mana kita tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Kita hanya bisa mengontrol apa yang terjadi di masa kini dan masa depan.

Sisi 2: Validasi Tindakan yang Salah (Validate the Misbehavior)

Setiap tindakan kita dilakukan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Dengan memahami kebutuhan dasar yang mendasari sebuah tindakan, kita bisa menemukan cara yang lebih efektif untuk memenuhinya.

Menurut Teori Kontrol, semua tindakan manusia, baik atau buruk, memiliki tujuan tertentu. Guru yang memahami teori ini akan mengubah pandangannya dari teori stimulus-respons ke cara berpikir proaktif yang mengenali tujuan dari setiap tindakan. Misalnya, kita mungkin tidak menyukai anak yang terus merengek, tetapi jika rengekan itu mendapat perhatian, maka itu telah memenuhi kebutuhan anak tersebut. Kalimat-kalimat berikut mungkin terdengar asing bagi guru, tetapi jika dikatakan dengan nada yang tidak menghakimi, akan memvalidasi kebutuhan anak:

 "Padahal kamu bisa melakukan yang lebih buruk dari ini, ya?"

 "Kamu pasti punya alasan mengapa melakukan hal itu."

 "Kamu patut bangga pada dirimu sendiri karena telah melindungi sesuatu yang penting buatmu."

 "Kamu boleh mempertahankan sikap itu, tapi kamu harus menambahkan sikap yang baru."

Biasanya, guru menyuruh anak untuk menghentikan sikap yang tidak baik, tetapi Teori Kontrol menyatakan bahwa pendekatan itu tidak efektif. Validasi sikap yang tidak baik bukan berarti mendukung pelanggaran aturan, tetapi memahami alasan di balik tindakan murid.

Restitusi tidak menganjurkan guru untuk mengatakan bahwa melanggar aturan adalah hal yang baik. Sebaliknya, guru harus memahami alasannya dan menyadari bahwa setiap orang berusaha melakukan yang terbaik pada waktu tertentu. Pelanggaran aturan sering kali memenuhi kebutuhan anak akan penguasaan meskipun bertabrakan dengan kebutuhan akan kasih sayang dan rasa diterima. Jika kita menolak anak yang berbuat salah, mereka akan tetap menjadi bagian dari masalah. Tetapi, jika kita memahami alasannya, anak akan merasa dipahami.

Guru yang menerapkan strategi ini melaporkan bahwa anak-anak yang sebelumnya sulit dijangkau menjadi lebih terbuka. Strategi ini menguntungkan bagi murid dan guru karena guru akan memiliki perspektif yang lebih baik.

Sisi 3: Menanyakan Keyakinan (Seek the Belief)

Teori Kontrol menyatakan bahwa kita pada dasarnya termotivasi secara internal. Setelah identitas sukses tercapai (langkah 1) dan tingkah laku yang salah divalidasi (langkah 2), anak akan siap dihubungkan dengan nilai-nilai yang mereka percaya dan beralih menjadi orang yang mereka inginkan. Pertanyaan-pertanyaan berikut menghubungkan keyakinan anak dengan keyakinan kelas atau keluarga:

 Apa yang kita percayai sebagai kelas atau keluarga?

 Apa nilai-nilai umum yang telah kita sepakati?

 Bagaimana gambaran kita tentang kelas yang ideal?

 Kamu ingin menjadi orang seperti apa?

 Bagaimana kehidupan yang kamu inginkan di masa depan?

 Apakah kamu ingin menjadi orang yang sukses, bertanggung jawab, atau bisa dipercaya?

Kebanyakan anak akan mengatakan "iya" tetapi mereka mungkin tidak tahu bagaimana caranya menjadi orang seperti itu. Guru dapat membantu dengan bertanya seperti apa jika mereka menjadi orang seperti itu. Ketika anak sudah mendapat gambaran yang jelas tentang orang seperti apa yang mereka inginkan, guru dapat membantu anak-anak tetap fokus pada gambaran tersebut.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Tulisan yang inspiratif dan edukatif

28 May
Balas



search

New Post