Sri Adhani

Seorang pendidik Bidang Studi Bahasa Inggris. Memiliki lima orang anak. Ingin berbagi Bahagia dengan menulis....

Selengkapnya
Navigasi Web

Jawara Di Hati Ibu

Setiap anak memiliki potensi berbeda. Seperti halnya Afif, anak keduaku. Sebagai orang tua tentunya kita memiliki harapan tinggi terhadap mereka. Namun ini tidak bisa dipaksakan.

Berbeda dengan dua saudaranya yang sudah bersekolah, Afif hampir tidak pernah juara. Dulu sempat sekali dapat rangking 3 ketika masih di kelas 1 SD. Ekspresinya luar biasa kaget. "Benar itu tadi namaku?" ia bertanya ke seorang teman.ketika namanya dipanggiluntuk menerima hadiah.

Cara belajarnya yang santai dan sikapnya yang suka menantang tak jarang membuatku kewalahan. Sebagai seorang yang berprofesi guru jelas-jelas aku merasa gagal. Sempat ia dibandingkan dengan Si abang yang selalu juara. Tapi sungguh tidak menyulut motivasinya. Tetapi malah membuatnya makin santai.

Dilain hal aku sering dibuat bingung dengan sikapnya yang tidak percaya diri. Setiap ada even lomba, tidak sekalipun ia berminat untuk sekedar berpartisipasi. Lain halnya dengan si Abang, meski dengan kemampuan seadanya tetap percaya diri sekali mengikuti lomba-lomba.

Sebetulnya kemampuan Afif tidak terlalu jelek, bahkan terkadang malah melebihi si Abang. Abang yang sering ikut latihan tilawah masih belum terlalu bagus jika di banding Afif yang belajarnya otodidak dari video dan youtube.

Sering ia sedih bila ada yang membandingkannya dengansi Abang, baik di sekolah maupun di rumah. "Bu, katanya aku tidak seperti abang", keluhnya suatu hari. Aku berusaha meyakinkan Afif bahwa dia justeru jauh lebih bagus bila mengaji dan azan. Jika belajarmu maksimal, ibu yakin kok kamu bakal juara. Afif mengangguk mengiyakan.

Pernah aku memaksa mengantarnya ke sekolah untuk menyetor hafalan suratnya. Afif kusuruh berjalan sendiri ke kantor guru. Sementara aku menunggu di parkiran. Bukannya masuk ruangan, ia malah menjauh. Ketika ku beri kode untuk masuk, ia malah lari. Aku betul-betul kesal. Ku cari ke semua ditempat namun Afif tak kutemukan. Ternyata ia sembuyi di dalam parit di belakang sekolah.

Esoknya kubujuk lagi untuk ke sekolah. Afif mau saja, ia kuboncengi ke sekolah. Kali ini kuantar sampai kedepan pintu kantor guru dan salah satu guru keluar menghampiriku. Ternyata. Hari itu Bapak wali kelas sedang dinas. Guru kelas 6 bersedia menerima setoran anakku dan aku konfirmasi lagi ke walasnya. Afif menyetor surat dengan cepat, suaranya datar tak berirama.

Setelah selesai kutanyai Afif kenapa tidak membacanya dengan suaramu yang bagus. "Malas", jawabnya pendek. Aku menarik nafas, kemudian pamit pulang ke salah satu guru.

Suatu hari aku bertemu dengan wali kelas anakku. Kuyakinkan bahwa anakku punya kelebihan. Meski ku tahu ia hanya setengah percaya. "Tolong bantu ya bu supaya Afif semangat belajardan kebih PD jika harus tampil". "Iya bu, saya selalu memotivasinya" jawab guru itu.

Awalnya Afif merasa berat sekali, hingga suatu hari ia minta untuk tidak sekolah karena harus mengisi acara muhadharoh. Aku tentunya tidak mengizinkan. Kembali ku yakinkan bahwa ini kesempatanmu untuk unjuk kebolehan. Akhirnya Afifpun mengalah. Ia berangkat juga ke sekolah.

Sepulang dari sekolah Afif ku panggil. "Coba ceritakan pengalamanmu tadi pintaku". Afif bercerita penuh semangat bahwa ia telah berani tampil kali ini. Meski awalnya terasa gugup. Badan terasa panas dingin seperti mau pingsan. Ketika semua orang memperhatikan dengan seksama Afifpun merasa lebih nyaman.

"kamu hebat sayang", hiburku. Ibu yakin sekali kamu tak akan cemas lagi untuk tampil berikutnya. Senyumnya mengembang. Ia berlalu kembali membuat mainan-mainan dari kayu.

Afif anak yang kreatif dan tidak mau diam. Selalu ada saja yang dikerjakannya. Ie melukis, membuat mainan, es, dan coba-coba memasak kue. Maka tak jarang ketika sampai di rumah. Aku menemukan barang-berserakan di dapur dan ruang tamu. Ada saja yang di buatnya.

Akhir-akhir ini ia sering menunjukkan hasil ujian dan latihannya. Semuanya bagus. Tidak kulihat nilai tidak tuntas. Kalau kamu belajarnya rajin insya Allah juara. Aku terus menyemangati. Bagaimanapun mereka adalah buah hati yang butuh perhatianku.

Aku baru saja sampai di rumah ketika putriku berlari mengejarku. "Ibu...aku juara..." teriaknya. Alhamdulillah hebat... Ditingkatkan lagi ya nak" jawabku. "Mana abang?" tanyaku lagi. Seketika, Si abang muncul dari rumah sembari menyerahkan rapor dan buku yang berbungkus bertuliskan "Juara 1 akhlak terbaik". Kulihat rapor tanpa rangking itu dan membaca dengan keras sampul yang bertulis itu. Afif tersipu malu. Alhamdulillah anakku meski belum juara, ibu bangga kamu berpredikat akhlak terbaik. Selamat" sayang semoga semua semakin baik, ibu bangga padamu", hiburku.

Afif, anakku sayang ibu selalu menginginkan semua yang terbaik untukmu. Ibu bersyukur begitu banyak perubahan sikapmu. Meski kadang masih mengundang emosi. Tak terhitung berapa sering kita berargumen. Ketika marah memuncak pada akhirnya cair dalam dekapan hangat pelukmu. "Maafkan ibu..."

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post