Sri Hastuti Nurman

Menjadi baik itu baik. Maka tiada yang sulit jika engkau berjalan bersama Allah di dadamu. Mari menjadi baik. Hamasah...

Selengkapnya
Navigasi Web
Sasuku

Sasuku

SASUKU

Puluhan aksara melayang dalam benaknya. Lelaki yang kini mengukir kenangan. Kata pulang yang berulang kali tersusun dari aksara yang membumi di pikirannya, tak mampu lagi menggetarkan hatinya. Kata pulang yang dulu selalu membuatnya berdebar, kini tak lagi temukan getar. Ya, pulang bukanlah hal yang istimewa untuknya kini. Sebab bunga yang menjadi alasannya untuk pulang tak lagi bisa ia temui. Sebab bunga yang dulu kerap mewarnai pekarangannya telah beralih pada taman nan megah.

Sekali lagi, kata pulang menuntut lelaki itu untuk mengayunkan langkah. Meski terasa berat, seperti menyeret mobil tronton dengan kakinya. Dalam bis yang menghantarkan dia pada ujung jalan aspal perkampungannya, lelaki tersebut tak henti melamun. Pikirannya jauh, jauh pada kenangan yang tak lagi basah. Hatinya kian miris, pikirannya seakan melihat jejak langkah mereka berdua di jalan setapak di pinggir sungai berliku dengan sesekali ditingkahi suara kecipak air sungai. Sungguh pulang yang beberapa tahun ini selalu mendebarkan hatinya.

Untuk apa aku pulang? Dia bukan lagi tempatku untuk pulang. dia bukan lagi alasanku untuk datang. Dia bukan lagi pemilik jalan setapak yang melingkar di liku sungai. Lelaki itu membatin dalam hatinya. Entah, pulang kali ini bukanlah kepulangan yang membuatnya tak sabar untuk meminta supir bus menghentikan laju kendara di ujung jalan aspal tepat di perkampungannya.

Bis yang ditumpanginya seakan melesat melebihi kecepatan halilintar. Kini dia sudah berada di ujung jalan beraspal perkampungannya. Begitu berat rasanya melangkah. Menyusuri jalan setapak yang biasanya dilalui bersama perempuan yang kini melabuhkan hatinya pada pelukan lelaki lain. Ya, Disa. Disa adalah perempuan yang mengisi hari-hari lelaki itu. Disa adalah perempuan yang membuat debaran tak menentu di hatinya kala mengucapkan kata pulang.

Lelaki itu menyeret langkahnya. Ia mencoba meneguhkan hati untuk melalui setiap inci kenangan yang tumbuh dan mekar laksana mawar di sepanjang jalanitu . Ia menikam hati dengan tega ketika sekelebat bayang perempuan menarik hatinya dalam kekalutan. Kini, ia sampai di depan anak tangga sebuah rumah kayu. Ia meniti anak tangga pertama dan kedua dengan hati-hati. Anak tangga berderit ketika permukaannya diinjak oleh telapak si lelaki. Sambil mengucapkan salam ia melangkah lebih jauh ke dalam rumah.

”Assalamualaikum Mandeh. Aku pulang.”

“Waalaikumsalam, kau kah itu nak?” Seorang perempuan yang sudah berumur menuju pintu masuk dengan sedikit tergesa.

“Iya Mandeh, aku baru saja sampai. Sungguh begitu besar rasa rinduku pada Ande sehingga teramat lama perjalanan ini kurasakan.” Lelaki itu mengambil tangan Mandehnya dan mencium punggung tangan yang sudah keriput sebab umur yang tak lagi muda.

“Ande sudah lama menunggumu, bahkan sudah pula ande siapkan makanan kesukaanmu. Marilah kita masuk dan makan dahulu. Ande yakin kau pasti sudah lapar.” Sambil membenarkan ikatan kain jaonya ande menarik tangan lelaki itu ke meja makan untuk menikmati makanan yang sudah disiapkannya.

Begitulah setiap kepulangannya, lelaki itu selalu disambut dengan begitu hangat oleh Mandehnya. Satu-satunya perempuan yang tidak akan mengkhianatinya. Satu-satunya perempuan yang sangat tulus cinta kasihnya pada lelaki itu. Perempuan mulia yang telah melahirkan dan membesarkannya sangat tidak mungkin membiarkan anak bujangnya menderita.

***

Setelah makan, lelaki itu dan Mandeh duduk di palanta yang melintang di teras rumah mereka sambil memandang liku air sungai, seperti liku hidupnya. Sembari mendengar gemericik air yang timbul sebab riak menampar batu besar di sana. Mandeh membaca air muka yang tak biasanya pada wajah bujang tunggalnya. Mandeh melihat ada rasa gundah yang teramat dalam pada kerut dahi anaknya. Ia melihat ada beban yang teramat berat menggelayut di hati bujangnya. Hingga akhirnya mandeh membuka suara dan memberanikan diri bertanya.

“Sejak kau besar tak pernah ande melihat begitu banyak kerut di dahimu nak. Tak pernah ande mendengar nafas berat begitu sering kau hembuskan selain ketika kepulangan ayahmu pada penciptanya. Sebegitu beratkah duka yang sedang kau pendam nak? Sebegitu dalamkah masalah yang memeluk dirimu? Takkah lagi mande tempat kau berkeluh?” mandeh membuka suara setelah hembusan nafas berat yang keempat kali dikeluarkan bujangnya itu.

“Tidak mandeh. Tak ada selain mandeh yang mampu meretas segala gundahku, tak lain selain mandeh yang bisa mengangkat segala beban duka dalam hatiku. Selain kepergian ayah tak lagi ingin rasanya duka itu ku terima. Namun, pintaku ternyata tak semudah itu untuk terkabul mandeh. Kini duka kehilangan kembali ku terima. Pedih ditinggalkan kembali menarikku untuk menampar diri dari kenyataan. Mandeh ingat Disa? Dia yang dulu pernah kukenalkan pada mandeh, dia perempuan yang dulu pernah kuharap dapat mencintaiku dengan kasih seperti mandeh, kini sudah melabuhkan hatinya pada pria lain. Bujangmu tak lagi mendapat tempat dihatinya.” Lelaki itu menatap nanar ke depan. Seolah ia menembus ruang dan waktu untuk kembali melihat bayangan sepasang muda mudi merajut kasih di hiliran batang air yang ditumbuhi bunga.

“Mandeh sudah menduga sebelumnya bahwa inilah penyebab air muka mu begitu keruh. Mandeh sudah mendapat kabar tentang hal itu kemarin dari Upiak Ambak. Ia dipanggil keluarga perempuan itu untuk memasak di hajatannya. Dia sekarang telah menjadi istri seorang lelaki yang jauh tinggi derajatnya dibandingkan kita nak. Ia disunting oleh toke pinang dan cengkeh terbaik yang sudah lama di rantau dan menetap di kampung sebelah. Keluarga lelaki itu tak jelas asal usulnya. Hanya karena ia kaya raya maka perhelatan itu terkembang di sana. Mandeh ingin mengatakan padamu, tak satu bunga yang dapat kau petik dan tak satu pula jalan yang dapat kau tempuh menuju ujung bahagia. Kini lepaskan dan ikhlaskan segalanya. Mandeh ingin kau mau membuka hati untuk orang lain atau kalau kau mau mandeh yang akan langsung mencarikan pasangan untukmu. Takkan mandeh biarkan bujang mandeh larut dalam duka.” Mandeh membujuk bujangnya.

Sebenarnya sudah lama hal ini direncanakan oleh mandeh, sudah lama keinginan ini ingin disampaikan pada bujangnya tapi mandeh belum punya kesempatan untuk itu. Kini semuanya seakan menampakkan titik terang. Perpisahan bujangnya dengan Disa seolah menjadi titik awal rencana mandeh dapat terwujud. Mandeh sudah lama menyimpan pikiran ini di otaknya. Tak pernah sekalipun mandeh mencoba membaginya dengan orang lain hingga waktu itu akhirnya tiba.

Adalah Tina, anak dari saudara laki-laki mandeh. Tina terpaut dua tahun lebih muda dari bujangnya. Tina bak penyejuk hati mandeh ketika bujangnya menebar jala kehidupan di rantau. Tina lah yang selalu menemani mandeh kala kelam mulai menjemput bulan di peraduan malam. Tina lah yang menjadi harapan mandeh untuk menemani bujangnya dalam mengarungi lautan hidup dan akhirnya menua bersama. Tina si anak mamak lah yang akan dijodohkan mandeh dengan bujangnya. Ya, pulang ka bako bagi si Tina.

Tina sama seperti gadis kampung kebanyakan. Ia perempuan yang cekatan dalam mengurus rumah, ia perempuan yang tahu dengan siapa dan bagaimana harus bertutur kata. Ia tak seperti sebagian anak gadis lainnya, yang setiap sore selalu bersolek dan berkumpul di labuah untuk mengobrol bersama hingga toa masjid mendengungkan suara azan nan merdu. Ia lebih memilih menjahit di sepertiga siang setelah ia kembali dari mengantarkan bekal amak dan ayahnya di sawah. Ia selalu duduk di beranda dengan peralatan sulamannya. Banyak yang sudah ia buat. Untuk perkakas di rumahnya saja tak perlu lagi ia membeli. Bahkan ia pun bisa memasarkan hasil jahitannya itu kepada pegawai-pegawai kantor di kampungnya. Sekali dalam seminggu ia akan menemani Mak Uwo nya yang tinggal sendirian setelah ditinggal suaminya dan kemudian bujangnya pun merantau. Bagaimana mandeh takkan teringin hendak bermenantu seperti Tina. Urusan rumah tangga tak diragukan lagi sigapnya, untuk kepiawaiannya dalam menjahit pun sudah tak disangsikan pula. Dengan keterampilannya menjahit pun bisa membantu supaya asap dapurnya tetap mengepul. Teramat sangat ingin hati mande menjadikan Tina sebagai menantunya.

“Apakah kau izinkan mandeh untuk mencarikan pendamping bagimu?” Mandeh membuka pembicaraan ke arah yang lebih serius.

“Entahlah Mandeh, apapun yang baik menurut mandeh pastilah baik pula untukku.” Lelaki itu menyerah juga pada akhirnya.

***

Perhelatan Disa digelar hari ini, tapi tak terniat sedikit pun di hati lelaki itu untuk menyeret langkah pada helat nan megah itu. Baginya biarlah ia mendekam di rumah tanpa perlu menggores hatinya lagi dengan datang ke pesta itu. Dimana setiap orang yang datang akan menghaturkan doa semoga berbahagia untuk mempelai, tapi akan memandang tajam padanya yang mematung di sudut kekalahan. Lelaki itu lebih memilih membenamkan dirinya di sejuknya air sepanjang hiliran sungai, mengenang masa kecilnya bersama kawan-kawan mendendangkan lagu Kampuang Nan Jauah Di Mato. Sudah sedikit lega rasa hatinya setelah lima belas menit di sana.

Di belahan waktu lainnya Mandeh tak main-main rupanya dengan rencana perjodohan itu. Buktinya sekarang mandeh berada di rumah Darman, mamak dari anak laki-lakinya. Tak lain tujuannya adalah membentangkan rencana terbesarnya untuk anak gadis dari adik laki-lakinya itu. Dan tanpa banyak rintangan kedua keluarga itu setuju dengan niat baik itu karena memang telah lama keduanya saling mengisi kepala dengan rencana serupa.

“Satu bulan lagi alek antara kau dengan Tina akan dilangsungkan. Mandeh ingin kau benar-benar menghilangkan perempuan kaya itu dari benakmu. Mandeh tak ingin kau melukai hati Tina, anak mamakmu. Sama saja kau melukai hati mamakmu sendiri jika tak bisa kau membahagiakan ia.” Suara mandeh terdengar penuh semangat menyampaikan hal itu sambil sesekali meniup api tungku.

***

Empat bulan sudah kandungan Tina. Mereka menjadi pasangan yang membuat seisi kampung iri. Keduanya seperti sepasang kekasih yang telah lama menjalin hubungan, bukan seperti orang yang dijodohkan. Saling menjaga satu sama lainnya. Namun, bertolak belakang dengan Disa. Di sisi bumi yang lain, Disa menangis sesenggukan meratapi perutnya yang semakin membesar. Tak hanya itu, ia meratapi bagaimana nantinya ia akan dihadapkan pada kenyataan bahwa si anak lahir tanpa mendengar deru azan dari suara ayahnya sendiri. Ya, begitulah. Lelaki kaya raya yang dulu merebut hatinya ternyata pergi meninggalkan Disa kala kehamilannya menjelang tiga.

Kini menanti sepekan dua pekan kandungannya akan menemui persalinan, sementara ayah si jabang bayi tak pernah kembali. Hilang ditelan bumi, seperti pendaki yang tersesat dalam alam berbeda sisi. Terlebih lagi ada kabar yang didapat oleh Amak Disa bahwa si lelaki memiliki suku yang sama dengannya. Ia telah lama merantau sehingga orang tuanya tak lagi peduli dengan suku dan identitasnya di kampung halaman. Keluarga suami Disa tak lagi menganggap bahwa aturan-aturan kampung tetap berlaku baginya meski sudah lama tak menapakkan kaki di kampung halaman. Amak Disa begitu cemas, membayangkan apa yang akan terjadi pada cucunya kelak. Cucu dari hasil pernikahan sasuku. Entah itu saja yang menjadi alasan suaminya meninggalkan Disa dalam keadaan perut membuncit hingga kini hampir melahirkan.

Di tengah hujan, Disa menatap kosong genangan air yang beriak ditimpa daun yang jatuh direnggut angin. Menjatuhkan diri dengan ikhlas. Namun, tidak dengan hati Disa. Ia tak bisa ikhlas dengan keadaannya sekarang. Ia tak bisa menerima bahwa kenyataan ini begitu pekat terasa di kerongkongannya. Begitu menjerat batang lehernya sehingga ia tercekat dan air mata sajalah lampiasan atas semua yang dirasakannya kini. Tak berhenti ia meratapi diri dan nasibnya. Tak berhenti pula ia menyalahkan langkah yang ia pilih ketika ia meninggalkan lelaki penikmat gemercik air di sungai berbatu. Maka sesenggukanlah Disa menangis di sudut kamarnya. Begitu setiap hari yang ia lalui.

Di bagian waktu yang lain lelaki yang memilih ikhlas sebagai jalan keluar tengah menikmati hujan sebagai suatu penerimaan. Ya, penerimaan yang ikhlas. Meski jatuh berkali-kali, matahari kan mengangkatnya naik untuk menjadi rintik hujan yang memberikan manfaat bagi orang lain. Begitulah perbedaan pandangan antara Disa dan si lelaki yang dulu pernah saling mengisi penuh sudut hati mereka. Keduanya memiliki cara pandang yang berbeda dalam menyikapi hidup. Maka, dapatlah kita menilai siapa yang akan menjadi pemenang dalam pertaruhan kehidupan ini nantinya.

Tibalah waktunya Disa menjemput kehadiran putri kecilnya. Tepat pukul 16.30 Disa merasakan menjadi seorang ibu yang berjuang penuh dalam menyelamatkan dua nyawa, yakni nyawanya dan peri kecilnya. Teramat berat dirasa, berjuang sendiri dengan pikiran penuh dengan amuk badai. Hingga setelah perjuangannya dirasa sampai di ujung jalan maka nikmat sudah ia rasakan, sebab Allah telah menolong nyawanya dan juga putri kecilnya yang teramat cantik. Disa pun terlelap dalam lelahnya perjuangan. Dalam tidurnya ia bermimpi berada di suatu tempat yang gelap, lembab, dan bau menyengat tercium di sana. Ia mendengar suara tangisan bayi yang semakin lama semakin menjadi-jadi. Ia pun terisak seolah ia merasakan suara bayi itu adalah bayinya. Tak berapa lama ia berjalan di ujung jalan ia lihat titik cahaya, sebelum sampai di sana Disa terjatuh dan terperosok pada lubang yang dalam. Disa tersentak dari tidurnya, keringat mengucur di dahinya. Ia raih box bayi yang ada di samping kasur. Ia angkat si gadis kecilnya mencoba merangkul dan mendekapkan ke dada sebagai bentuk penawar cemas akan mimpi buruknya. Aneh dirasa, Disa menatap lamat-lamat wajah bayinya. Tangisnya pecah diruang berukuran sedang memandang dua mata putrinya yang terkatup tak bisa dibuka. Ya, gadis cantiknya buta.

****

Tarusan-Maninjau

19 Juli 2019

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post