Tak Tahu Diuntung

*part 1*

Perasaanku mulai tidak enak. Dari tadi mataku tertuju pada pleton barisan kelas VIII-E. Upacara bendera sesaat lagi dimulai. Namum tanda-tanda kelebat bayangan Rio tak juga nampak. Terdengar suara gerbang sekolah berderit keras. Sinyal dari pak Mun penjaga sekolah menutup gerbang utama, tanda upacara dimulai.

Hhhmmm dijamin Rio tidak menepati janji untuk sekolah hari ini. “Apakah ia masih belum mampu melawan rasa malunya duduk di kelas bersama adik-adik kelasnya?” Apakah ia kecewa karena ketidakmampuannya duduk di kelas IX atau lelah menerima respon sinis dari beberapa penghuni sekolah ini?”

Emak Rio sudah menduga kalau anak laki-laki semata wayangnya bakal tidak naik kelas. Selama kelas VIII terhitung sudah berkali-kali dipanggil wali kelas ke sekolah. Menyaksikan Rio tanda tangan bukti setuju dengan tata tertib sekolah juga sudah. Konsultasi dengan guru BK pun tak luput dari usaha si emak.

Emak sangat gigih mengusahakan Rio mau datang sekolah. Bekerja dari rumah ke rumah tetangga sebagai buruh cuci dan setrika pakaian. Penghasilannya tidak seberapa. Namun kalau untuk kebutuhan sekolah Rio selalu diutamakan. Kepala menjadi kaki, kaki menjadi kepala. Seperti itulah gambaran usaha emak demi Rio.

Menjadi orang tua tunggal sudah dijalani si emak sejak Rio duduk di kelas VIII. Keluarga ini tergolong tidak mampu. Sang suami semasa hidup bekerja serabutan karena tak punya keterampilan. Penghasilannya hanya cukup untuk kebutuhan hari itu saja. Tak bersisa barang dua ribu perak untuk ditabung.

Harapan si emak sederhana saja. Jangan sampai kelak Rio hidup susah seperti yang dialaminya. Namun apa daya ketiadaan ilmu sehingga Rio menjadi salah bergaul. (bersambung)

Kota Arang, 04 Februari 2020