Jingga berhenti memandang langit yang semakin tampak indah. Tersenyum pada semua usahanya yang akan menuai hasil. Kini, dia semakin yakin dengan usaha yang tak mengkhianati hasil. Eh, hasil yang tak mengkhianati usaha. Sembari berlari kecil dia mengejar langkah kaki ayahnya yang telah menjadi single parent membesarkannya. Hatinya semakin berbunga kala ayahnya bersedia melupakan ibu kandungnya yang entah ke mana kabarnya kini. Ayahnya dibujuk menjadi pendamping guru mengajinya, Bu Rohmah. Dengan diskusi alot dan rayuan Jingga, sampailah pagi bahagia ini, bahwa ayahnya bersedia melamar Bu Rohmah, janda seumuran ibunya yang sangat bersahaja dengan dua anak yang juga telah dewasa.

Di halaman rumah Bu Rohmah terparkir dua becak penuh hiasan. Tampak beberapa tetangga memenuhi rumah sederhana tersebut. Seakan tahu bahwa hari ini ayahnya akan datang melamar, Jingga girang bukan kepalang. Gayung bersambut, pikirnya. Tanpa permisi, Jingga yang memang sudah biasa datang ke rumah Bu Rohmah untuk mengaji, langsung masuk ke ruang tamu. Jingga terpana melihat pamannya duduk di sana, menggamit lengan Jaka, anak bungsu Bu Rohmah.

“Jingga, kemarilah, sayang. Ibu sudah memenuhi keinginanmu untuk menjadi keluargamu. Terimakasih. Pamanmu pagi-pagi telah datang membawa tetua sekalian. Insya Allah sebulan lagi kami akan akad nikah.” Kalimat bu Rohmah yang lembut seakan menjadi petir di siang bolong. Ah, Ayah, tetaplah menjadi ayah dan juga ibuku, batin Jingga nelangsa.

Surabaya, 29 Juli 2020

Tantangan menulis hari ke-38