Jangan Suruh Aku Mengajarimu Kehidupan
Sebagai seorang guru tentu kita selalu mendapatkan kisah di setiap harinya. Banyak orang berpikir bahwa pekerjaan guru hanya sebatas mengajarkan angka dan teori pada siswa kita, itu juga anggapanku dulu ketika masih kecil. Salah ternyata, seorang guru selain harus terlibat dalam sistem administrasi, upgrading diri dengan mengikuti berbagai pelatihan, rapat hingga supervisi, bagiku guru juga harus mendengarkan cerita-cerita murid. Karena guru telah dianggap sebagai orang tua di sekolah. Sedangkan kalau dipikir-pikir waktu murid, khususnya untuk jenjang menengah ke atas, waktu efektif anak lebih banyak dihabiskan di sekolah daripada di rumah.
Sebagai seorang guru menengah atas di sebuah kota yang hari ini masih dikenal sebagai ibukota, kota megapolitan. Ya, Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Saya mengalami culture shock, dimana saya menghadapi berbagai murid dengan permasalahan yang belum pernah saya temui sebelumnya di kampung halaman asal saya. Salah satunya adalah kisah ini.
Kisah berawal ketika saya harus berhadapan dengan kemacetan, debu jalanan, dan deru knalpot serta klakson secara bersamaan setiap harinya. Belum lagi, terkadang banyak sekali pengemis dan pengamen yang semakin memperkeruh suasana hati. Terkadang sesampainya di sekolah saya ingin sekali mengeluh dan menggerutu. Namun saya segera ingat, bahwa ada banyak teman guru yang letak rumahnya antar kota bahkan antar provinsi, mereka harus sudah keluar rumah bahkan sebelum adzan subuh berkumandang. Mereka menunggu kereta antar kota, berdesak-desakan di dalam kereta, setelah sampai di stasiun tujuan, mereka masih harus naik ojek untuk sampai di sekolah. Segera ku hempaskan nafas dan ku tarik bibirku agar terburat senyum di wajah. Kata orang senyum selama 10 detik, dapat menghilangkan stres sejenak. Dan benar, terkadang cara ini membantuku rileks, sebelum memasuki kelas.
Sebelum sampai di kelas, seperti biasa seorang anak tergopoh-gopoh meraih tanganku untuk bersalaman. Terlambat. Ya, hampir setiap hari anak ini selalu terlambat, alasannya klasik. Maaf bu, saya kesiangan, semalam begadang. Terkadang aku menasehatinya, terkadang aku hanya tersenyum dan mempersilahkannya segera masuk kelas, tapi ada kalanya juga kesiswaan di sekolah menyuruhnya menyiram bunga sebagai hukuman agar jera. Namanya Rizki, sesuai nama yang diberikan orang tuanya, mereka berharap ia akan selalu mendatangkan rezeki.
Suatu ketika, saya berkesempatan berbicara dengan Rizki. Ia bercerita bahwa ia hidup hanya dengan ayahnya, sejak kecil ibu dan ayahnya berpisah dan ibunya meninggalkan dirinya ketika ia belum genap satu tahun. Cerita inipun ia dapatkan dari tetangga, karena tak ada apapun yang ia bisa ingat dari sosok ibunya. Jika engkau adalah guru di Jakarta yang sampai hari ini menerapkan sistem zonasi, hal seperti ini akan sangat sering dijumpai. Bahkan ada di setiap kelas, keadaan anak dengan pengasuhan orang tua tunggal, karena berpisah.
Dia anak yang ceria, bahkan terbilang sangat humoris. Tak heran, jika banyak yang berteman dengannya. Kelas tidak seru, kalau tak ada Rizki, begitu seru teman-temannya. Suatu ketika saya bertanya, kenapa kamu harus begadang hingga menyebabkan kamu terlambat, Rizki selalu menjawab saya insomnia dan kesulitan tidur bu. Saya hanya bisa geleng-geleng kepala. Hingga saya menawarkan sebuah hadiah jika Rizki mampu datang ke sekolah tepat waktu dan mengubah kebiasaannya begadang. Karena memang jarak rumahnya tidak terlalu jauh dari sekolah.
Pagi ini matahari begitu lembut menyinari lapangan sekolah yang tengah basah, karena diguyur rinai semalam. Benar saja, Rizki tidak terlambat. Kami berdua tersenyum dan bersalaman. Selain jempol, kuberi ia sepotong cokelat yang dijanjikan. Ternyata pagi yang indah tidak bersambut dengan sore yang menawan. Hari ini harus pulang lebih larut, karena harus mengerjakan berkas sekolah yang akan di supervisi pengawas. Inilah Jakarta, semakin sore semakin macet. Benar saja, terlalu macet di jalanan membuat saya terkadang ingin menyerah. Sedang berhenti menunggu kendaraan di depan saya jalan, seorang badut mendekati saya. Segera saya mencari uang recehan. Setelah meletakkan uang dalam kaleng, badut itu melakukan gerakan spontan membuat saya kaget. Badut itu meraih tangan dan mencium tangan saya, sebelum saya teriak meminta tolong, badut itu membuka topengnya. “Hati-hati di jalan ya bu.” Rizki tersenyum dengan senyuman yang tulus. “Makasih bu, berkat motivasi dari ibu saya tak perlu terlambat lagi ke sekolah.” Rizki menunjukkan tas sekolahnya yang dipenuhi buku-buku. Jadi, ia selama ini terlambat karena harus pulang dan berganti kostum badut. Sekarang ia membawa kostumnya ke sekolah, agar sepulang sekolah ia bisa langsung bekerja. Belum sempat aku membalas, sudah diserang dengan bunyi klakson yang menandakan lampu merah telah berganti kuning kemudian hijau.
Nak, bukan insomnia yang menyebabkan kamu terlambat.
Bukan mental pemalas yang menyebabkanmu tak bisa tepat waktu datang ke sekolah.
Tapi mental guru-gurumulah yang harus berubah cara pandangnya.
note : diambil dari kisah nyata (sedikit modivikasi) dan nama hanyalah samaran
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Mantap ulasannya