Aku mengenalnya sangat dekat, bahkan lebih dekat dari diriku sendiri. Kalaulah boleh ,aku bisa merangkai ribuan bahkan jutaan kata untuk ceritakan jalan hidupnya.

Memang tidak mudah memahaminya, menyelami pikirannya, terlalu mustahil untuk aku yang biasa biasa saja.

Aku biasa memanggilnya eri, meski namanya panjang sekali, Eri rahmawati putri.

Dia bukan gadis kecil, bukan remaja yang baru tumbuh, tapi dia seorang perempuan tangguh. Sebagai anak pertama dengan 8 bersaudara,hidup di jaman susah, adalah tantangan besar untuk tetap tegar, berjuang untuk wujudkan impiannya, dan menjadi contoh 7 adik adiknya. Ayahnya bukan orang kaya, hanya guru honorer.

Bisa ditebak gaji guru honorer di era 60 an. Saya bertetangga sangat dekat, jadi tahu persis bagaimana dapurnya yg masih menggunakan kayu bakar itu menyala dan menjadi tanda mereka akan makan hari itu.

Biasanya eri akan masukan kakinya ke lobang dapur ,kalau dapurnya panas, berarti ibunya masak dan ada nasi di bakul. Tapi kalau dapurnya dingin berarti harus menunggu bapanya pulang.

Kami biasanya cari kayu bakar di hutan karet atau di kebun kebun orang kaya, untuk di jual dan dapet uang jajan.

Atau di kumpulkan untuk masak di dapur.

Sejak SD dia terbiasa sekolah tanpa uang jajan, biasanya dia bawa bekel nasi goreng yg di buat ibunya hanya dengan cabe,bawang dan terasi. Dibungkus daun kering, kami menyebutnya kraras. Itupun kalau ada sisa nasi makan malam, kalau tidak ada, yaaa pergi saja tanpa bekal. G ada kesedihan, g ada air mata, g ada penyesalan, tetap dengan senyum ceria,dan menikmati jalan hidupnya.

Satu hal yang buat aku tbah kagum , dia g akan makan sebelum ditawarkan ibunya, dia pemalu bahkan dengan ibunya sendiri. Dan dia g akan makan, sebelum adik adiknya makan. Tulus dan sangat ikhlas.

(bersambung)