Kemarin, seharian aku kerja bakti bersih-bersih dapur. Bongkar isi almari barang pecah belah dan menata kembali ternyata makan waktu juga. Ya, aku nikmati saja. Itung-itung mumpung liburan. Kalau nggak libur mana sempat, keburu telat.

Malamnya, setelah tadarus di musala maunya langsung bikin tulisan untuk persembahan kepada Mbak Ana. Eh, ternyata Mas Ocha request sate buat makan sahur. Ya udah, urusan menulis terpaksa ditunda dulu. Bersama Pak Su aku mencari sate di Ambulu.

Sampai di rumah pukul setengah sepuluh. Aku langsung duduk manis dan menulis. Begitu selesai, aduh Mak... ternyata Mbak Ananya lagi ngambek. Berkali-kali kuketuk, pintu tak jua terbuka. Setelah dengan susah payah bisa masuk, eh lha kok malah dicuekin. Bisa nulis judul tak bisa yang lain. Akhirnya keluar dan berusaha masuk lagi. Begitu berkali-kali.

Aku mencoba keluar masuk dari pintu yang berbeda dengan harapan bisa berhasil. Namun ternyata hasilnya tetap sama. Bahkan ketika judul, jenis tulisan, dan tulisan berhasil aku tempel, semua tak bisa aku kirim. Saat aku save hasilnya hanya memproses. Ditunggu sekian lama lha kok yang muncul tulisan "eror."

Bersama rekan seperjuangan, kami menunggu dengan setia. Namun hingga lonceng Cinderella berbunyi, kami tetap saja gagal memposting tulisan. Tak ada pilihan lain kecuali mengikhlaskan tanggal 23 Maret sebagai tanggal merah.

Kegagalan tadi malam bukanlah isyarat bahwa saya harus menyudahi ikut tantangan. Justru kegagalan itu menjadi pelajaran berharga, bahwa start di awal itu jauh lebih baik daripada budaya ngaret. Bismillah, saya akan terus melangkah. Niat hati mengikuti tantangan menulis setiap hari adalah untuk mengasah keterampilan. Jadi, apapun yang terjadi pantang untuk berhenti.

***

Kampung Asa, 24 Maret 2023