Sriyatni

Kepahitan hidup pernah ia jalani, dengan menjadi orangtua tunggal yang harus merawat ABK. Keadilan Allah sungguh dahsyat tiada manusia yang sanggup menyan...

Selengkapnya
Navigasi Web
Kiat Menjadi Penulis yang Optimis
Karya IGPT 2022

Kiat Menjadi Penulis yang Optimis

Judul buku: Membaca Waktu Menapak Jalan

Penulis: Ikatan Guru Penulis Tuban (IGPT)

Penerbit: CV Mitra Karya

Cetakan: I, Maret 2022

Jumlah halaman: 222

Kiat menjadi penulis yang optimis adalah satu kalimat yang mudah dikatakan namun, sulit untuk dilaksanakan. Penulis adalah pekerjaan hati, jika suatu objek dirasa oleh panca indra maka, akan ada untaian kalimat-kalimat indah dan berisi petuah kebaikan akan hadir. Menulis hanya perlu dilakukan terus menerus atau konsisten agar tulisan kita menjadi bagus dan layak untuk dibaca orang lain. Seperti halnya yang diungkapkan para penulis buku ini. Semua punya optimisme untuk menyambut awal tahun dengan penuh semangat menyambut tahun baru 2022.

Tahun begitu cepat berlalu. Kemarin tahun 2021. Sekarang sudah 2022. Mungkin esoknya esok juga akan berganti 2023. Demikian seterusnya. Pun juga tahun ketika kita lahir. Tahu-tahu umur kita sudah sekian tahun.

Begitulah waktu mengerus kita dengan cepat. Kita bisa jadi tahu-tahu sudah berumur belasan tahun, puluhan tahun, dan tua. Kita baru menyadari begitu waktu untuk kita sangat berbatas. Bagi saya yang sudah berumur kepala lima, waktu masa kanak-kanak sudah usai. Remaja hanyalah masa lalu. Waktu sekolah lama pergi. Dan, sekarang ....

Maka, dengan begitu keadaan-keadaan masa lalu juga meninggalkan kita. Keadaan saya waktu masa kanak-kanak bahkan sudah banyak terlupakan. Masa indah waktu remaja hanya satu-dua yang teringat. Bahkan waktu sepuluh-lima tahun terakhir pun sudah banyak yang terlupakan. Kita telah mengalami sekaligus melupakan.

Dalam setiap waktu, setiap orang termasuk saya pasti memiliki harapan. Waktu kita kecil, berharap kelak besar jadi a, b, c, dan seterusnya. Setelah besar jadi a, harapannya bertambah ingin c, d, dan seterusnya. Ya, manusia tumbuh seiring harapannya. Maka di sekolah-sekolah para guru mendorong anak-anak didiknya untuk memiliki harapan atau cita-cita setinggi angkasa. Tujuannnya baik, agar anak kuat-teguh menjalani hidup untuk menggapai harapannnya.

Kemudian tua-tua, saya mempunyai pelajaran hidup: “Jangan banyak harapan, agar tak banyak kecewa”. Serta-merta saya tidak banyak berharap hari ini. Bahkan kalau ditanya teman atau sahabat terdekat, “Apa harapan Sampean Cak?” saya dengan tulus menjawab “Cukup”. Cukup setiap waktu saya bisa bernafas. Cukup setiap saat saya bisa berjalan. Cukup setiap waktu saya bisa tidur kalau waktunya tidur. Bisa bicara waktunya bicara. Bisa diam waktunya diam. Bisa bertindak waktunya bertindak. Bisa makan waktunya makan. Bisa baik waktunya baik.

Apakah kesadaran hendak dicukupkan Tuhan ini sebagai intensitas waktu dan keadaan? Saya kembali ingat banyak perbincangan teman-teman. Mereka bercerita banyak hal. Baru saja membeli kendaraan. Berencana membeli tanah. Akan kawin lagi. Mau studi lanjut. Gulana karena haji ditunda. Cerita sambil mengirim foto berlibur akhir tahun dan tidur di hotel yang ada kolam renangnya. Makan-makan di resto pucuk gunung. Sehari kemudian, kawan saya tadi bercerita kelelahannya habis rekreasi.

Lalu saya ingat akhir tahun saya. Pergi ke Surabaya. Jalan-jalan sekeluarga. Jalan-jalan ke mal. Cari parkirnya putar-putar gedung bertingkat tuinggi. Ngikuti anak saya berjalan muter-muter mencari baju kemeja. Jalan ke sana-ke mari melihat banyak orang. Beli es krim. Keluar mal. Kaki kelu. Pindah tempat. Putar-putar cari parkir lagi. Makan di warung jln. KH. Mansyur dekat Kalimas. Masuk alun-alun kota yang baru dibangun. Salat di masjid. Foto-foto. Pulang ke rumah kakak. Masuk rumah mainan HP. Nyalakan AC. Rebahan. Nonton sepak bola. Ketiduran. Gagal subuh berjamaah. Hladalah.

Esok hari tiba. Membuka pintu. Udara pagi segar. Jalan-jalan ke hutan kota Kebun Bibit Bratang. Mampir ngopi. Tambah pesan mie soto. Mie rebus panas sudah di hadapan. Sendok garpu berdenting. Keceplusan lombok. Pedas. Mie tandas. Ngeses. Ingin merokok. Beli sebatang. Kusulut. Hisapan pertama teramat nikmat. Kedua agak nikmat. Ketiga berkurang. Bosan datang. Akhirnya rokok kubuang.

Apakah waktu, keadaan, dan harapan seperti itu ya. Ketika kita di sini ingin ke sana. Kalau sudah sampai ke sana ingin lebih ke sana. Kalau sudah ke sana-sana bosan mendera. Benar juga kata ayah dulu: “Urip aja nggodhak playune jaran” . “Hidup jangan mengejar larinya kuda”. Setidaknya petuah itu membuat hidup saya agak tenang. Tak ada rasa tergesa. Jika pun punya hasrat, cukuplah terus bertindak untuk mencapainya. Jika pun tak tercapai, ya biarlah.

Lain dulu. Hati selalu kemrusung. Ingin pindah kerja. Ingin bangun rumah. Ingin bergelar. Ingin dan ingin. Maka, hidup banyak menunggu datangnya yang kita harap. Ya, begitulah saya. Mungkin pula kita. Yang belum kita nanti. Yang sudah di tangan terasa membosankan.

Lalu apa yang harus direnungkan? Lalu apa yang harus diharap? Lalu apa yang harus dicari? Lalu apa yang harus dikejar? Lalu apa yang harus diresulosi? Saya tidak bisa memberi jawaban. Jawaban terkubur oleh tiadanya harapan, pencarian, pengejaran, dan peresolusian.

Tiba-tiba mak benduduk, rasa terima kasih membuncah. Terima kasih Allah memberiku rasa terima kasih. Terima kasih sudah sehat. Dengan sehat bisa ke mana-mana. Dengan sehat merasakan enaknya keadaan. Dengan sehat, merasakan indahnya jalan-jalan. Dengan sehat, tentu bisa makan apa-apa yang kita suka.

Terima kasih sudah sempat. Dengan sempat, bisa ikut jika ada teman yang mengajak. Dengan sempat, bisa datang jika ada undangan. Dengan sempat, bisa sambang saudara. Dengan sempat, bisa tertawa jika ada momen yang pas. Dengan sempat, bisa ikut-ikutan meramaikan perjamaahan. Dengan sempat, bisa hohohihek bermedia sosial. Dengan sempat, bisa ikut banyak hal selama jatah hidup masih ada.

Terima kasih sudah sempat cukup. Dengan cukup, bisa beli apa-apa. Dengan cukup, bisa hidup seperti orang pada umumnya. Umumnya orang tertawa, ikut tertawa. Umumnya orang tidur, ikut tidur. Umumnya orang kerja, ikut kerja. Umumnya orang rekreasi, ikut rekreasi. Umumnya orang memberi, ya ikut memberi. Ternyata nikmat itu “hidup pada umumnya”. Maka karena sekarang umumnya tahun 2022, ya ikut umum tahun 2022. Bukan 2021 apalagi 2023.

Yang lebih indah hidup, kata sahabat saya yang suka membaca Hadis Nabi, adalah hidup iman dan selamat. Kalau saya disuruh memilih tiga kata, pastilah saya memilih kata: Muhammad, iman, dan selamat. Muhammad adalah nabi dan idola saya. Sementara itu, iman dan selamat adalah ajarannya. Karena begitu, nama-nama anak saya juga saya sisipkan di antara tiga kata itu.

Alkisah, tahun boleh ganti tahun. Umur boleh terus bertambah. Waktu boleh berganti-ganti. Asal kita mencontoh pola hidup Rasulullah Muhammad, tak banyak derita yang datang. Alias bahagia selalu kita terima.

Jika iman alias percaya alias yakin berada di badan-jiwa kita, semua waktu terasa indah. Karena yakinnnya kita Allah selalu melindungi, menjaga, dan mencukupi kita, hidup hanyalah gerakan ritmis yang terus-menerus tanpa henti untuk menuju-Nya. Semua gerakan jantung, nadi, tangan, kaki, pandangn mata, pendengaran telinga penuh kepastian karena Allah adalah bos dari segala bos kita yang menghendaki kita bergerak. Kita hidup. Kita megisi waktu. kita berada dalam segala keadaan. Kita mengimajinasi harapan. Tanpa tahu esok akan di mana, seperti apa, dan teraih atau tidak harapan itu. Tugas kita hanya bertindak. Setelah itu terima kasih kok ya bisa bergerak. Lalu, Allahhumma emboh ya Allah. Segalanya urusan Panjenengan.

Karena “Allahhuma emboh”, hidup itu ya sudah. Bukan belum. Jika merasa sudah, maka nikmatlah hidup ini. Jika terus merasa belum, maka lelahlah hidup kita. Terima kasih kita hari ini sudah bertahun 2022. Tak lagi sibuk berpikir sebelum dan sesudahnya. Memang hidup ya sekarang ini. Sekarang ini sudah segalanya.

Kita sudah bin telah selesai menutup tahun. Kita telah selesai berharap. Kita sudah selesai bertindak. Kita sudah selesai masa kecil. Kita sudah selesai masa besar. Kelak kita sudah selesai masa tua dan tiada. Maka yakinlah kita waktunya teman-teman sejawat masuk surga ya ikut masuk surga karena keyakinan kita Allah Mahabaik kepada segala yang dicipta.

Akhirnya di akhir tulisan ini, saya pada sebuah keadaan: semua yang saya lihat baik. Semua yang saya rasakan baik. Semua orang baik. Semua teman baik. Semua yang kujumpai baik. Semua yang ada di sekeliling baik. Kuberimajinasi esok juga akan baik-baik saja. Anak-anak saya akan baik-baik saja. Saudara dan keponakan akan baik-baik saja. Tetangga saya baik-baik semua. Teman-teman sepekerjaan baik-baik semua. Dan jika pun kelak perhitugan baik-buruk saya di hadapan Tuhan tidak seimbang, akan baik-baik saja. Bukankah Tuhan pemaaf. Bukankah Tuhan mahakasih. Bukankah Tuhan baiknya kepada hamba melebihi baiknya ibu kepada anak-anaknya. Terima kasih Allah, telah Engkau berikan kehidupan hamba-Mu selalu-baik-baik saja dalam setiap waktu, keadaan, dan harapan. [

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post