Suaefi Latief

Saya guru jaman old di alam jaman now. Mencoba untuk menyelami atmosfer jaman now yang beda banget dengan jaman kejayaan Sandiwara Radio Saur Sepuh dan Sinlat K...

Selengkapnya
Navigasi Web

Kenapa Anak Gua Gagal, Bu Guru?

Ini cerita di negeri jiran sekolah partikelir pula. Jadi bukan di negeri kita tercinta ini. Bukan pula sekolah yang dibiayai negara seratus prosen.

Alkisah saat pembagian Lembar Capaian Kompetensi pada Penilaian Tengah Semester kemarin, ada orang tua peserta didik yang marah-marah di ruang guru. Semua gara-gara dalam LCK anak kesayangannya ada nilai 16 pada mata pelajaran Matematika pada skala 10-100. Guru mapel tersebut dihadiahi muka serem, mata melotot dan suara tinggi. Apes banget hari itu Bu Tiara.

"Lihat gua nih sebagai bapaknya!" ujarnya sambil menunjuk dadanya. "Kalau enggak bisa ngajar, jangan anak gua diberi nilai parah begini!"

"Mau bagaimana lagi, Pak," jawab Tiara, sambil menahan tangis. "Itu sudah maksimal yang bisa saya berikan."

"Guru gak becus! Guru model apa namanya kalau gak bisa ngejelasin anak gua sampai bisa!"

"Bener, Pak. Nemo hanya menulis jawaban di 3 nomor dari 5 soal dengan menjawab : 'jawaban tersedia, jawaban ada di buku, jawaban tersedia,"

"Tetap saja itu menunjukkan kamu enggak bisa ngajar!"

"Iya, mungkin saya yang salah. Maafkan."

"Emang salah! Masa anak saya yang tidak ada absennya disamakan nilainya dengan anak lain yang pada badung itu? Ingat jasa gua dong sebagai RT di mana kamu tinggal. Bikin KTP lah, bikin KK-lah. Ingat?"

"Maafkan, saya" ujar Bu Ema nimbrung. "Bukan saya mau ikut campur. Saya guru BP. Tapi memang raport PTS mah nilai murni hasil ulangan anak satu kali saja. Jadi belum ditambah dengan ulangan harian dan tugas-tugas untuk raport akhir semester mah."

"Ibu jangan ikut campur. Ini antara guru ini dengan gua. Dia warga gua, tapi sudah tega menilai si Fajar serendah itu. Selamat tinggal!"

"Eh... tunggu dulu, Pak RT, "Bu Ema mencoba mencegah kepergian orang tua murid yang sedang emosi itu. Tapi ia sudah meluncur dengan skuter Vespa px-nya dan asap tebal keluar dari knalpot bisingnya itu. Menambah panas udara di parkiran sekolah.

Maka sepeninggal orang tua murid tersebut pecahlah tangis guru muda Tiara. Sesak di dada yang ditahannya sejak tadi jebol sudah. Banjir bandang air mata dengan suara isakannya telah mengundang guru lain berdatangan.

"Kenapa, Neng?" Tanya Bu Dida, guru Biologi kelas 11.

"Kenapa tadi minta maaf? Tanya Pak Maman, guru Matematika kelas 12. "Ibu tidak salah. Ibu melakukan penilaian sebagaimana mestinya. Dia orang yang harusnya minta maaf atas kesalahan dan ketidakpahamannya tentang sistem penilaian," tambahnya panjang lebar.

"Dasar RT belegug," ujar Bu Nina geram. "Sok tahu sok kuasa lagi!"

"Ada apa ini? Kenapa Bu Tiara menangis?" Tiba-tiba Pak Dodo, wakil kepala sekolah datang.

Setelah dijelaskan Bu Ema, Pa Dodo berkata :

"Bu Tiara tenang saja. Yang penting simpan lembar jawaban si Fajar. Itu penting untuk ditunjukkan pada ortu si Fajar itu. Sore ini biar Bapak sowan ke rumahnya. Menjelaskan duduk perkaranya. Bu Ema ikut, ya?!"

***********

Di rumah Pa RT, di bilangan Bangun Jaya, Pa Erte dan isterinya menyambut Pak Dodo dan Bu Ema dengan rona muka sedikit ditekuk.

"Punten kami mengganggu istirahat Pa RT, " Pak Dodo membuka obrolan. "Apakah Fajarnya ada di rumah?"

"Tadi lagi disuruh nganterin kue ke rumah bibinya di kampung sebelah." Ibu RT yang menjawab seraya mempersilakan duduk pada kedua tamunya.

"O gitu, Bu?" Tanya Bu Ema pelan. " Baguslah itu, emang sebaiknya Fajar tidak mendengar apa yang akan kita bicarakan."

"Emang kenapa dia tak boleh mendengar?" Pak RT buka suara untuk pertama kalinya.

"Pak RT dan Ibu yang terhormat," suara Pak Dodo terdengar mantap. "Pertama ijinkan kami bersilaturahim ke rumah Bapak dan Ibu ini. Insyaallah dengan banyak menjalin silaturahim, kita akan dipanjangkan umur dan banyak rejeki. Aamiin. Kedua, mari dengan hati yang jernih, kita sama-sama meluruskan kesalahpahaman yang terjadi antara Pak Erte dengan Bu Tiara tadi siang di sekolah.Insyaallah saya netral, tapi baru dapat keterangan dari satu pihak. Dari sisi Pak Ertenya belum. Untuk itu kami di sini. Karena itulah ada baiknya kalau tidak ada Fajar ikut mendengar."

Bu RT pamit ke belakang untuk membuat minuman. Sementara Pa RT masih kaku, belum mampu membuka temukan di mukanya.

"Fajar itu anak ke berapa, Pak RT?" Bu Ema mencoba mencairkan suasana.

"Bungsu," jawab Pak RT. "Kedua kakaknya sudah menikah dan tinggal sama suaminya di luar kota."

"Jadi Fajar itu satu-satunya anak lelaki, Pak?"

"Betul. Itulah sebabnya Bapak enggak percaya kalau nilai Matematikanya sejeblog itu. Karena sejak di SD dia itu ranking terus di kelasnya."

"Betul, Pak Guru," tiba-tiba Bu RT sudah masuk ruang tamu membawa 2 sloki jus jeruk." Belum pernah Fajar tidak tiga besar setiap semesternya selama ini."

Setelah menyeruput isi slokinya, Bu Ema angkat bicara : "Bapak dan Ibu RT, kami percaya bahwa tidak ada anak bodoh di dunia ini. Ada juga anak yang cepat menerima pelajaran dan yang agak lambat. Yang cepat pun apabila ada pengaruh lain bisa hasilnya berbeda. Misalkan saat pelajaran ia tidak konsentrasi atau tidak sempat belajar lagi karena kesibukan di luar kelas. Ini saya bawa contoh, rapot PTS anak saya di SMP. Lihat pelajaran lain semua di atas 60, tapi mapel IPS-nya cuma dapat 23. Tapi saya tidak menghakiminya, lho! Saya tidak pernah menganggap anak saya bodoh atau gurunya yang tak bisa mengajar."

"Betul, Pak RT," tambah Pak Dodo pula. "Secerdas apa pun anak, kalau pada saat ujian kondisinya tidak siap baik faktor fisik maupun nonfisik, hasilnya akan di luar harapan kita. Bila kita sedang sakit gigi, misalnya, mana bisa kita berfikir jernih, kan?

"Anak saya tidak sedang sakit gigi, Pak Guru!" Pak RT mencoba membantah penjelasan itu. "Lagian yang saya tidak suka, si guru matematika itu sama sekali enggak memandang saya sebagai orang tuanya Fajar. Dia itu tetangga saya, masih warga saya. Tapi dia tega menyamakan nilainya dengan si Tora anak berandalan yang juga tetangga kami!" "Koq, Bapak tahu nilai Tora?"

"Tadi saya lihat langsung raportnya di tangan Pak Somaringkih, bapaknya si Tora itu. Nilainya 20-an semua, kecuali matematika dan Bahasa Inggris yang dapat di bawah 20. Lha, dia itu kan anak badung. Tukang palak, tukang nongkrong, tukang bolos dan semua tindakan yang buruk deh. Pantes kalau nilainya seperti itu. Beda jauh pokoknya dengan Fajar anak kami."

Setelah berkata-kata sepanjang itu, Pak RT memberi kode pada isterinya agar mengambil air minum. Isterinya segera beranjak ke dapur. Pak Dodo berkata : "Justeru karena itu kami berdua di sini, Pak RT. Mau kan mendengarkan penjelasan kami sebentar?"

"Ya, silakan."

"Penilaian di sekolah itu ada 3 aspek. Pertama, Penilaian Pengetahuan melalui ulangan harian, tugas atau PR, Penilaian Tengah Semester, Penilaian Akhir Semester dan atau Penilaian Akhir Semester. Kedua, aspek Keterampilan, Pak. Nilai dari praktik gitu, Pak RT. Contohnya mapel Pendidikan Jasmani dan Olah Raga/Kesehatan selain teori kan ada praktiknya. Begitupun dengan mapel lainnya. Ketiga baru Penilaian Sikap. Baik sikap spiritual maupun sikap sosial. Yang Pak RT contohkan tadi tentang Tora adalah sikap sosial namanya."

"Itu lho, yang tadi disebutkan ia suka malak, nongkrong semalaman dan sebagainya. Karena mengganggu orang lain maka dikelompokkan ke dalam sikap sosial. Kalau ketaatan ibadah sehari-hari seperti sholat, puasa, sedekah dsb itu masuk kategori sikap spiritual."

"Kalau nilai Fajar tadi masuk yang mana?" Pak RT balik bertanya.

"Masuk kategori Nilai Pengetahuan, Pak," jawab Pak Dodo.

"Jadi kita tidak boleh mencampuradukkan nilai pengetahuan, praktek dan sikap, Pak Guru?"

"Betul sekali, Pak RT."

"Maafkan saya Pak Guru. Saya tidak tahu kalau nilai itu dipisah-pisah."

"Itu fungsinya kami ke sini. Supaya tidak terjadi salah paham lagi, Pa RT. Khususnya tentang penilaian di sekolah." Bu Ema menimpali percakapan kami. Sementara Bu RT yang sudah duduk di samping suaminya, mengikuti saja apa kata suami.

"Saya mohon maaf Pak Guru. Karena ketidaktahuan saya, Bu Tiara jadi kena marah saya tadi. Tolong katakan saya menyesal sekali sudah menghardiknya."

"Insyaallah akan kami sampaikan ke Bu Tiara. Tapi akan jauh lebih baik seandainya Pak RT juga ngomong sendiri."

"Siap, Pak! Ba'da magrib saya ke rumahnya."

"Sip. Itu lebih baik. Baiklah, karena semuanya sudah clear, kami permisi."

***************

Tepian Ci Durian, Medio April 2018

Seperti diceritakan Bu Tiara pada saya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post