Suaefi Latief

Saya guru jaman old di alam jaman now. Mencoba untuk menyelami atmosfer jaman now yang beda banget dengan jaman kejayaan Sandiwara Radio Saur Sepuh dan Sinlat K...

Selengkapnya
Navigasi Web
Kawah Ratu

Kawah Ratu

Dari Kawah Paeh, perjalanan ke Kawah Ratu semakin berat. Vegetasi nyaris tidak ada. Mirip di daerah iklim semi arid pada musim dingin.Setelah tiga bulan musim gugur, dedaunan hutan Cantigi seperti rontok semua. Hanya tersisa dahan dan ranting belaka menusuk-nusuk langit. Kalau kita pake terminologi Rafi, pendaki cilik keponakan Pak Yasa dari Tangerang Selatan, laksana tangan-tangan mahluk dari under world yang siap mencengkram mangsanya. Hanya tersisa beberapa pohon Cantigi saja yang masih berdaun. Menandakan di hutan gunung itu masih ada kehidupan.

Kemiringan lereng k.l 70° makin terasa bikin cepat penat dan nafas para pendaki lolita seperti penulis ini cepat tersengal-sengal. Kalau oksigen yang mulai menipis karena faktor ketinggian rasanya belum dominan. Gunung Salak jelas bukan Carstensz Pyramid. Jadi karena faktor fisik pendaki sajalah penyebabnya.

Ditambah dengan bebatuan yang berserakan di kiri-kanan jalur seperti menghadirkan suasana magis yang membuat kepenatan cepat menyergap. Untungnya bebatuan kasar dengan berbagai ukuran menjadi medan terjalnya. Itu bisa dijadikan pegangan dan tumpuan saat merayap menaiki lereng yang nyaris tegak itu. Sekali kita menyelundupkan batu, maka yang di belakang kita tepatnya di bawah kita akan kena batunya. Rupanya istilah kena batunya berasal dari kejadian seperti ini. Batuan beku skorian yang banyak lobang-lobang seukuran kacang ijo sampai segede biji salak menandakan saat proses pembekuan berlangsung cepat dengan melalui letupan-letupan buih akibat magma bercampur dengan air. Khas proses pembekuan pada batuan beku luar scorian. Masyarakat awam menyebutnya sebagai Batu Apung atau Batu Kambang. Jenis batuan inilah dari berbagai ukuran yang mendominasi. Bahkan di dasar kawah yang tertimbun sebelah kiri trek, nampak bekas runtuhan batu ini yang mematikan kawah ini walau masih menunjukkan kehidupan karena disela-sela reruntuhan itu tampak jelas adanya fenomena Solfatara. Asap sulfur yang mengepul keperakan ditiup angin menghadirkan aroma belerang yang khas di lobang-lobang hidung.

Penulis merayapi tebing Kawah Paeh 1 ini dengan Pak Tatan, Bu Mimma dan Bu Asih yang tak henti- hentinya memotret dengan kamera bawaannya. Bahkan kamera Pak Tatan layaknya kamera wartawan foto para wartawan yang dilengkapi multi-lens segala.

Berat terasa melangkahkan kaki-kaki ini. Bukan karena ransel yang berisi pakaian ganti, botol air mineral dan pisang goreng saja. Tapi karena kaki-kaki ini yang sudah letih mengajak rehat. Maka duduklah penulis di batu besar sejenak mengikuti 'saran' kaki ini melalui 'sinyal: berat untuk diangkat. Melihat ke bawah, itu ada Pak Bram dan Bu Wiwi serta Farhan, 9 tahun, anak mereka yang merajuk minta digendong ayahnya.

"Pengen gendong..." Farhan berusaha merajuk ayahnya.

"Itu sedikit lagi," ujar Pa Bram.

"Mau minum, Kak" Bu Wiwi berusaha mengalihkan perhatian anaknya.

"Enggak mau. Mau juga digendong, ih!"

"Eh...inget gak, lagi kita di Abudabi tahun lalu?"

"Inget, dong!"

"Kita naik gunung apa saat di Abudabi itu?"

"Jabal Haveet,"

"Apa artinya?"

'"Gunung Kosong. Eh, gendoooong!"

"Emang kenapa disebut kosong, Kak?"

"Gendoooong!"

"Iya. Koq disebut '''kosong', emangnya kenapa?" Kali ini Pak Bram ikut memperkuat usaha isterinya.

"Karena gundul, tanpa pohon satu pun," jawab Farhan lantang.

Aku jadi senyum-senyum sendiri menyaksikan keluarga kecil Pak Bram itu mengobrol. Tepatnya mereka membunuh ingatan akan capek, letih, dan lelah anak kesayangan mereka. Intinya kedua orang tua Farhan berusaha keras mengalihkan perhatian anaknya dari keinginan untuk digendong. Hasilnya Farhan selalu berhasil dialihkan perhatiannya pada hal lain. Selama ini upaya mereka berhasil. Sampai Kawah Paeh 1. Penulis yakin, sejak dari base camp Gunungbunder pasti anaknya sudah minta digendong.

Karena mereka bertiga sudah bersiap melanjutkan perjalanan kembali, penulis pun berdiri. Melangkah dengan lebih ringan setelah rehat dan mendapat pembelajaran dari Farhan, si Pendaki Cilik dari Bandung. Pembelajaran pertama dari keluarga Bram ini adalah Kenalkan Alam Sekitar pada Anak Sejak Dini. Terutama di Komunitas Geotrek Matabumi, upaya tersebut sudah lama dipupuk. Selain Farhan, ada lagi keluarga Pak Yasa atau Pak Gun yang datang bersama keponakannya, Rafi, usia 12 tahun. Baca juga Di Kawah Paeh ada Misteri

Kedua, trik untuk menghindari jadi korban rayuan apalagi yang gombal, maka alihkan perhatian sang perayu pada hal lain yang menarik hatinya. Keluarga Pak Bram telah membuktikan trik ini bekerja. Penulis sendiri jadi saksinya. Sumpah, anak yang rewel minta digendong akhirnya bisa sampai Puncak Gunung Salak!

Puncak Gunung Salak ini dapat didaki dari 3 jalur. Salah satunya jalur Pasir Reungit. The Mosquito Hill ini dianggap jalur terberat menurut beberapa pendaki kahot, sebut saja Kang Bach atau Pak Titi yang jadi kasepuhan Matabumi. Sebelum sampai Kawah Ratu, pendaki harus lapor dulu ke petugas di base camp Gunungbunder sebagai Pos Pasir Reungit. Terus mendaki melalui trek jalan berbatu yang sengaja disusun rapi bertingkat-tingkat sejauh 400 meteran, kemudian masuk jalur trek jalan setapak. Trek yang paling panjang pada jalur The Mosquito's Hill ini ya trek ini. Ada trek menyusuri sungai kecil, ada trek menyebrangi sungai, ada trek terowongan flora, dan ada pula trek menembus hutan hujan dan tipe hutan Alpin serta trek kubangan lumpur ! Jalur inilah yang kami gunakan, tim Geotrek Matabumi dari Bandung. Baca juga Pasir Reungit : Jalur Paling Basah ke Kawah Ratu.

Jalur ke dua, disebut sebagai jalur Cimelati. Jalur ini pernah penulis gunakan bersama teman-teman KKN UPI Bandung (1993) yang ditempatkan di Kecamatan Cicurug Sukabumi. Tepatnya di Desa Nyangkoek Kecamatan Cicurug Kabupaten Sukabumi. Pada jalur ini ada cukup panjang jalan raya mulusnya ( saat itu), mengingat ada proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi dari Chevron, sebuah perusahaan multinasional dari negeri Napoleon Bonaparte itu. Jadi trek hutan hujan dan Alpin pada jalur ini tak sebanding dengan jalur pertama. Apalagi memperoleh sensasi trowongan flora dan berlumpur ria serta berbasah-basah. Bahkan Kawah Paeh pun tak akan Anda dapatkan sensasi saat selfie-nya, karena memang tidak melewati jalur itu. Dari jalur Cimelati, kita langsung ketemu dengan Kawah Ratu !

Jalur ketiga disebut jalur Sukhoi yang dulu dikenal sebagai jalur Cidahu, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor.. Jujur, penulis belum pernah menggunakan jalur ini, sehingga tak banyak yang bisa disampaikan di tulisan ini. Adapun cerita-cerita yang sedikit bikin bulu kuduk berdiri, itu sudah banyak bertebaran di masyarakat. Bahkan di YouTube pun Anda dengan mudah memperoleh informasi tentang Gunung Salak yang penuh misteri pada jalur ini. Apalagi setelah peristiwa jatuhnya pesawat Sukhoi Super Jet 100 buatan Rusia tanggal 9 Mei 2012 di dekat jalur ini. Makin banyak saja cerita misteri bertebaran baik di media cetak, medsos maupun lips to lips di tengah-tengah masyarakat.

Kembali ke jalur Pasir Reungit, perjalanan menanjak kami sudah melewati Kawah Paeh. Trek sudah agak datar. Di antara Cantigi terbakar, semangat kami ikut terbakar juga. Bedanya kalau Cantigi terbakar oleh gas CO dan S dari Kawah Paeh, sampai-sampai kulit kayunya mengelupas dengan alami. Pada kayu yang sudah terbuka itu mengeriput bagaikan diukir tangan-tangan trampil dengan nilai artistik yang tinggi.

Semangat kami makin menggebu karena dari Kawah Paeh 2 ini ke Kawah Ratu tidak jauh lagi. Jika kami sampai Kawah Ratu sebelum Nimbostratus yang menggantung di langit itu berubah jadi titik-titik air, maka misi kami hari ini selesai.

Hanya saja pemandangan di Kawah Paeh 2 ini unik dan asyik untuk para pemburu gambar. Jepret sana jepret sini, swafoto ataupun berfoto bareng dengan latar Kawah Paeh dan plang nama dengan tulisan Kawah Mati : Gas Beracun Karbonmonoksida Berbahaya Jangan Jongkok !

Perjalanan pun dilanjutkan. Menyusuri belukar Cantigi yang tersisa. Sama dengan sisa-sisa energi kami setelah rehat di Kawah Paeh 2. Menurut info, di depan sudah ada anggota tim yang sudah duluan sampai. Termasuk Aki Titi, yang biasa kami panggil Kang Bach beserta Teh Dewi, isterinya. Sejak meninggalkan gerbang Pasir Reungit tak pernah kelihatan punggungnya. Rupanya tim inti Matabumi sudah lebih dulu menuntaskan misinya. Benar saja, saat kelompok penulis sampai bibir Kawah Ratu sisi Utara, mereka sudah hampir menuntaskan presentasi Sejarah Letusan Gunung Salak. Presenternya, Kang Bach dan Pak Bram Bramantyo, lebih suka disebut Interpreter Riset Kawasan Cekungan Bandung.

"Saya tidak setuju dengan pendapat sebagian ahli yang menyebutkan bahwa aktivitas tahun 1896 adalah vulkanik," terang Kang Bach atau Rafi dan Farhan menyebutnya dengan panggilan 'Aki Titi'. Penulis segera mengambil kamera dan alat tulis dari ransel.

1896 itu yang dicatat sebagai tahun letusan terakhir Gunung Salak. Setelah itu Gunung Salak hanya menunjukkan aktivitas fenomena pasca-vulkanik. Ada beberapa sumber mata air panas seperti di Cimelati, Pamijahan dan Kawasan Wisata Gunung Salak Endah serta di Kawah Ratu yang terus menerus mengepulkan asap belerang dan kadang-kadang gas CO dari Kawah Paeh. Sumber air di Kawah Ratu ini pun selain panas banyak kandungan mineral Sulfur, sehingga airnya kebiru-biruan. Sumber air yang jadi cikal bakal aliran Ci Kuluwung yang bermuara ke Ci Sadane.

Ci Kuluwung yang sebagian alurnya dijadikan trek jalur Pasir Reungit ini sedikit diulas oleh Interpreter pertama, bahwa penamaan sungai kecil itu secara toponimi berasal dari bahasa Sunda. Kuluwung artinya sepi atau sunyi. Jadi Ci Kuluwung bisa diartikan sebagai aliran sungai yang sepi dari mahluk hidup air. Tak ada ikan yang hidup karena mengandung belerang.

Sumber mata air Ci Kuluwung tampak membiru di bawah tebing kami berkumpul mendengarkan kuliah singkat Interpreter. Sementara yang lain duduk di atas bebatuan, penulis ingat dengan bekal pisang goreng yang dibeli tadi di base camp dari pedagang keliling tua. Tak ambil sepotong, sisanya tak tawarkan pada teman-teman baru dari Bandung. Ada yang suka tapi ada juga yang tak jadi mengambil begitu engeh itu digoreng. "Takut kolesterol," alasannya singkat.

Sementara Pak Bachtiar terus menjelaskan fenomena kegunungapian yang dipadu dengan toponimi beberapa nama geografi. Deskripsi beliau menggunakan Peta Topografi Kawasan Gunung Salak produk Badan Informasi Geospasial Cibinong yang dipegang oleh 2 orang asisten dari Matabumi.

"Saya juga tidak setuju dengan beberapa pakar yang berpendapat bahwa tidak mungkin nenek moyang kita memberikan nama tempat harus agung dan sakral. Mereka maunya nama Gunung Salak ini dari ''salakanagara' atau sejenisnya," ujar Pak Titi Bactiar lugas.

"Jadi berasal dari kata apa Gunung Salak? Kalau dari kata 'salak' buktinya tak ditemukan kebun salak sama sekali?" tanya seorang peserta kalau tak salah Asih dari Bogor.

"Begini," jawab Pak Titi sambil meminta asistennya membalik peta. Di balik peta itu beliau menggambar sesuatu dengan spidol yang dipegangnya sebagai alat tunjuk dari tadi.

"Kalau kita dari kota Bogor, Gunung Salak puncaknya terlihat sepeti ini," kata Pak Titi Bactiar sambil menunjuk hasil coretannya. Tiga buah salak berdiri sejajar tapi yang sebelah kanan lebih tinggi sedikit.

"Itu kalau kita lihat dari Utara. Dari arah lain tentu berbeda kenampakannya. Seperti halnya Gunung Tangkuban Parahu terlihat seperti itu kalau dari arah Selatan, kalau dari Subang lebih mirip kopeah buluk!" tegas Pak Titi Bachtiar lagi.

Semua mengangguk tanda sepakat. Memang orang tua kita dahulu berpikir sederhana saja. Tidak jelimet seperti para pakar yang berpikir kalau bisa sulit kenapa dipermudah? Bukankah suatu desa diberi nama Desa Setu, Ranca, Selagunung, dan atau Tenjolaut karena alasan sederhana yakni dulu atau sampai kini ada setu alias danau, rawa, lembah dan bisa melihat laut dari ketinggiannya?

"Terus bagaimana dengan nama geografi Dramaga atau Dermaga di Bogor Barat? Padahal jauh dari laut posisinya?" tanya penulis mencoba kritis. Jujur sebenarnya pertanyaan itu sudah penulis tanyakan di akun pertemanan FB saat beliau memposting rencana jelajah Geotrek ke Bogor, tepatnya Gunung Salak. Kata beliau masih harus dicari alasannya yang logis walau tetap pada konteks nenek moyang kita memberikan nama dengan alasan sederhana dan logis.

"Di masa Pajajaran berjaya Ci Liwung dan Ci Sadane merupakan 2 sungai yang bisa dilayari sampai ke pedalaman," terang Interpreter dengan lugunya.

"Karena debit airnya besar dan dulu tidak sedangkal sekarang. Itu sebabnya di pedalaman ini pun ada dermaga. Di mana lokasi tepatnya dermaga itu? Itu yang harus dilakukan penelitian. Asumsi saya di muara Cihideung dengan Ci Sadane," imbuh sang interpreter lagi.

Jawaban itu sudah cukup memuaskan penulis atau peserta lain yang punya pertanyaan yang sama. Apalagi sekarang nama Dramaga kian ngetop semenjak ada Kampus IPB karena boyongan dari Jalan Pajajaran sejak tahun 1994-an. Dari kawasan pertanian tradisional menjadi kawasan kos-kosan mahasiswa dengan segala perubahannya. Terutama perubahan sosial ekonomi masyarakat lingkungan sekitar kampus beken ini. Sebagai contoh, mushola-mushola yang ada selalu dikunci setelah waktu solat lewat sedikit. Padahal dulu sebelum ada kampus ini, sebagai mana mushola di kampung, terbuka lebar sepanjang waktu untuk digunakan. Lha, ini orang mau menumpang sholat malah disambut tulisan gede : Maaf Dikunci karena Sering Kemalingan ! Nauzubillah !

Setelah sesi tanya jawab selesai tibalah sesi fotografi. Selfie time! Berswafoto dengan latar dinding Utara Timur Kawah Ratu itu sesuatu banget. Dari seberang sana, belasan orang merayap menuruni tebing kawag. Mereka pasti dari jalur Cimelati seperti yang pernah penulis lakukan 25 tahun lalu!

Itu memang kelebihan jalur Cimelati. Trek jalan kakinya sedikit lebih pendek dan bisa turun ke dasar kawah bermandi air panas dan bersauna Solfatara ! Kekurangannya, tak akan ketemu Kawah Paeh atau Kawah Mati dan tak ada nuansa Terowongan Flora dan trek super basah!

Selesai minta tolong Pak Yudi mengambil foto, penulis bergegas ke padang Cantigi yang seperti meranggas. Sebenarnya bukan begitu, tetapi keseringan bersauna Solfatara. Siang malam, pagi petang bermandi asap belerang. Semua tergantung tiupan angin. Kulit kayunya mengelupas, lignin mengkerut, lengkaplah "pembatikan" batang kayu tanpa kulit itu. Sebuah lukisan alamiah nan elok.

Sejenak kemudian kami sudah berkumpul kembali di lokasi presentasi.. Di antara bongkahan bome dan hamparan pasir vulkanik. Sesi pengabadian event langka bersama tim Geotrek Matabumi, Bandung. Semua berbaris, kecuali Pak Rudi Hartono, guru Geografi SMA PGRI 4 Kota Bogor yang juga fotografer Matabumi. Dialah fotografernya yang memberi komando tepatnya pengarah gaya dan mengeksekusi lewat sebuah jepretan kamera Canon entah tipe apa. Setelah itu bergegaslah kami turun kembali ke base camp Gunungbunder lewat gerbang Pasir Reungit.

Di gerbang itu, dua karib dari MGMP Geografi Kabupaten Bogor, Arif dan Nurdin, menyambut kami. Ucapan selamat dan pelukan hangat pun penulis peroleh dari keduanya. Mereka guru SMA Dwiwarna, Parung sekaligus anggota Jantera UPI Bandung.

Letih, haus dan lapar pun kami selesaikan secara adat di tenda prasmanan Gunungbunder! Saat menyantap pesmol ikan mas di bawah tenda, jadi ingat rengekan Farhan pada ayah bundanya yang terus menerus diulang sepanjang perjalanan turun :

"Lapar berat!"

@@@@@@#####@@@@@@

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post