Suci haryanti

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Semburat Hati Bela (Ambigu) gurusiana 87

Suara gaduh itu kembali terdengar, tangisan, jeritan, kadang tertawa, kadang seperti makian. Ya Allah...! Sampai kapan, mama tersiksa seperti ini. 

Braaaaaakkkkk! Suara pecahan piring atau gelas kembali terdengar. Membuat ku merunduk, seolah pecahannya mengenaiku. Padahal aku jauh berada dua kamar dari kamar utama. Kudekap erat boneka kesayanganku. aku tidak tahu, setiap kali kudengar suara pecahan atau benda yang sengaja dijatuhkan, jantungku berdetak sangat kencang, peluh membasahi tubuhku yang orang bilang mungil, gigiku gemeretak. 

Aku baru mengenal seperti itu, ketika aku tiba di Jakarta. Ketika aku masih tinggal bersama Bule di Jogya, tidak pernah kudengar pekikan suara, intonasi suara yang kerap memekakkan telinga. Tangisan yang sangat panjang penuh luka dan sayatan. 

Aku diajak papa, karena bule akan melanjutkan kuliahnya di Jepang. Aku suka mendengar bule melantunkan Al-quran, mengikutinya sholat, membantunya menyemai bibit-bibit sayuran di halaman belakang rumah.  Sangat berbeda ketika aku disini, hari-hariku hanya bermain boneka, menonton televisi dengan aneka kartun yang tidak pernah habis. 

Kulirik es cream pemberian Amah Intan, Ia minta begitu aku memanggilnya. Amah Intan sangat lembut kepadaku, meski baru dua kali aku bertemu dengannya, aku sangat menyukainya. Ia sama seperti bule suka tilawah quran, sholat dan ketika berbicara penuh dengan senyuman manis. Namun, Amah Intan bukan mamaku. Aku menunduk lemas. Kubayangkan wajah mama ketika memandangku penuh dengan kasih sayang, seulas senyum menenangkan tersungging dibibirnya yang pucat,senyum yang selama ini aku impikan, senyum yang mengoyak kenanganku bersama bunda, senyum yang hadir setiap kali kumenatap wajah bunda, senyum itu sama seperti senyum milik Mama Tia, tapi mengapa? Mengapa hanya sesaat kudapati senyuman itu, Kemudian Ia memelukku sangat erat, membuatku kesulitan bernapas, tapi aku menikmatinya. Pelukan yang selama ini aku rindukan. Aku tidak mengerti, mengapa sorot mata mama berubah, layaknya harimau yang siap menerkam mangsanya. Jari-jemari lembutnya membelai rambutku hingga kewajahku, dan Ia mengangkat tangannya seolah ingin memukulku....  

 

"Tidak... Ini salah...mama tidak seperti itu. Bunda benar mama pasti sayang sama Bela, mama pasti suka sama Bela, dan mama ingin selalu bersama Bela!"

Rajukku, dengan bulir-buliran air yang terus mengalir pada pipiku. 

Aku selalu ingat pesan bunda, bunda yang selalu kudapati tersenyum meski sangat pucat, bunda yang selalu ingin memelukku meski dalam keterbatasannya. Bunda  dengan tubuh yang sangat kurus, lemah, hanya bisa duduk dan berbaring di atas tempat tidur. 

Ia selalu menceritakan tentang mama. Mama Tia yang sekarang ada bersamaku. 

"Ndo... Cah..ayu... Sini nak.. Kamu mau liat seperti apa, mamamu di Jakarta? Ini Bunda, punya fotonya, kamu liat sini ndo, mendekat sama Bunda" 

Aku tanpa ragu menghampiri bunda, dan duduk tepat didepan bunda, meski bunda tidak bisa memangkuku. Tapi bunda bisa mendekapku dengan hp pada gengamanya.

Sesekali Bunda mencium kepalaku, itu sebabnya aku selalu ingin keramas ketika Mandi. 

"Ini mama? Cantik ya! Kenapa aku harus punya mama? Aku kan sudah punya bunda!" 

Seulas senyum manis diberikan bunda padaku, dengan belaian tangannya yang lembut, menyusup tenangan setiap sentuhannya. Ohhh...inilah kehangatan seorang yang kerap kupanggil Bunda. Kehangatan yang sangat jarang kudapati. Karena bunda, bunda selalu masuk ruang isolasi. 

"Ndo...mamamu ini, sangat baik looh..! Kelak nanti kamu melihatnya dan bertemu dengan nya, kamu harus seperti ini, baik, lembut, santun, dan ingat... Jangan meminta tanpa ditawarkan ya!" senyum kembali menghias wajah bunda setiap kali aku melihat kearahnya. 

"Mamamu sangat sibuk ndo, Ia seorang pekerja keras, Ia pintar masak, Ia juga sangat  penyayang, kamu beruntung ndo, bukan cuma punya Bunda, tetapi ada mama juga!"

Bunda menarik panjang, seperti ada yang tersangkut di pernapasannya.

"jadi....! Kalo nanti mama terlihat marah, kasar, itu bukan tabiat mama yang sesungguhnya, kamu harus sabar, kamu terus dekati Ia. Karena bunda yakin, mama sangat baik!"

"Bun, Bela sudah seneng kok ada bunda, Bela ga perlu mama!"

"Ussssst, solehahnya Bunda, ga gitu dong..! Bela istimewa, Bela special dari Allah. Punya dua Ibu dan satu Papa!" 

"Tapi kenapa harus ada mama? Bela mau bunda aja!" ucapku merajuk Bunda hanya tersenyum. Dengan wajah yang bertambah pucat, bunda merebahkan tubuhnya. 

"Bun....bunda sehat ya...!"Aku memeluk bunda erat, sangat erat. Hingga kumerasakan air mata bunda mengalir.

"Bunda yang salah ndo... Bunda.. Bukan mama! Papamu laki-laki yang sangat baik, Kamu liat ndo, bagaimana papa merawat bunda, papa tidak pernah mengeluh, papa sangat sabar... Ndo...kelak kamu akan mengerti! Satu pesan bunda, apapun yang dilakukan mama, itu adalah tanda mama sayang sama Bela!" 

 

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantap Bunda

10 Jun
Balas

Sami-sami

10 Jun



search

New Post