Ketika Membaca dan Bicara Menjadi Beban Cerita tentang Seorang Anak yang Ingin Diterima
Setiap anak membawa cerita. Tapi ada satu anak di kelas saya yang membawa diam—dan dari diamnya saya belajar banyak.
Di kelas dua tempat saya mengajar, ada seorang anak laki-laki yang hampir tak pernah bicara. Ia duduk di bangkunya dengan wajah yang sulit ditebak—tak marah, tak senang, hanya diam. Saat saya mengajar membaca, ia menunduk. Ketika anak-anak lain riuh membaca bersama, ia memeluk tasnya erat-erat, seolah ingin menghilang dari dunia.
Saya tahu ia mengalami kesulitan membaca. Ia bisa mengenali huruf, tetapi tampak kesulitan saat harus merangkai huruf menjadi kata, apalagi membaca kalimat. Setiap diminta bicara, matanya berkaca-kaca. Ia bahkan enggan bermain atau menyapa teman-temannya. Ia seperti hidup dalam dunia kecil yang penuh sunyi dan cemas.
Belakangan saya tahu, ia tinggal bersama bibinya, bukan dengan kedua orang tuanya. Di rumah, ia sering diberi beban pekerjaan rumah tangga, dan harus berbagi tempat tinggal dengan sepupu lelaki yang galak dan suka menjahilinya. Setiap pagi ia datang ke sekolah dalam keadaan lelah dan tidak percaya diri. Wajar jika membaca di depan kelas pun menjadi beban berat baginya.
Sebagai guru, hati saya tergerak. Saya sadar, anak ini bukan hanya butuh belajar membaca, tapi juga butuh merasa aman dan diterima.
Saya memulai dari hal sederhana: membuatnya merasa nyaman di dekat saya. Saya siapkan pojok baca dengan buku bergambar, saya ajak ia membaca satu kata saja, tanpa harus tampil di depan. Ketika berhasil, saya puji sekecil apa pun pencapaiannya. Saya juga ajak teman-temannya untuk tidak mengejek, melainkan mendukung. Mereka pun belajar untuk ikut merangkul, bukan menyingkirkan.
Hari-hari berlalu. Anak itu mulai berubah. Ia mulai menyapa saya pelan, mulai tertawa kecil saat saya bercanda. Dan suatu hari, ia berani membaca satu kalimat penuh, bukan karena dipaksa, tapi karena merasa siap.
Refleksi GuruDari anak itu, saya belajar bahwa membaca tidak bisa dipisahkan dari rasa percaya diri dan rasa aman. Anak-anak yang tumbuh dalam tekanan dan ketakutan tidak bisa berkembang maksimal, meskipun metode kita sudah baik. Karena sejatinya, belajar bukan hanya soal kemampuan, tapi juga soal keberanian dan harapan.
Sebagai guru, kita sering sibuk menilai kemampuan anak, tapi lupa menyelami kehidupan mereka. Padahal, di balik kesulitan membaca, bisa jadi tersembunyi luka yang belum sempat terucap.
Tulisan ini saya persembahkan untuk anak-anak yang diam, bukan karena tidak tahu, tapi karena belum merasa cukup aman untuk bersuara. Dan untuk para guru, mari kita terus hadir, bukan hanya sebagai pengajar, tapi sebagai pelindung, penyemangat, dan pendengar.
Semoga kisah ini menjadi pengingat bagi kita semua, bahwa mengajar adalah juga tentang memahami, bukan sekadar menyampaikan.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar