Pak Sapardi yang Sederhana Lewat Puisi Aku Ingin
Pak Sapardi adalah sosok penyair legendaris yang namanya kerap diingat hingga saat ini. Bait-bait puisinya selalu riuh ditelinga kita menjadi sebuah alunan syair yang menyenangkan, bahkan ketika didendangkan. O iya, saat ini juga bertepatan dengan bulan ini. Konon katanya, bulan ini adalah bulannya Pak Sapardi dan dua karyanya yang diciptakan dengan sekali jadi. Ya, karya itu adalah “Hujan Bulan Juni” dan “Aku Ingin”, sebuah puisi dengan diksi atau kata-kata sederhana tetapi maknanya tak pernah sederhana.
Bukan Pak Sapardi namanya jika tidak mampu menyulap karya yang konon katanya sederhana menjadi sesuatu yang luar biasa. Lagi dan lagi saya tertambat pada puisinya yang berjudul “Aku Ingin”. Ya, puisi ini juga diciptakan berbarengan dengan puisi “Hujan Bulan Juni”, diciptakan kala mengiringi perjalanan Pak Sapardi kala menjadi Mahasiswa di Surakarta dan Yogyakarta. Kiranya hujan memberikan makna yang dalam bagi penyair yang juga menjadi Guru Besar Sastra pada masanya itu.
Pak Sapardi, Pak Sapardi. Biarpun ragamu telah berpulang ke pangkuan-Nya, namun karyamu selalu abadi di hati kami semua. Bahkan sesekali aku mendendangkan karyamu melalui alunan musik yang menyenangkan, menggembirakan. Pak, kaulah sosok sederhana yang menciptakan beragam karya dengan makna yang tidak sederhana.
Mari kita bedah puisi “Aku Ingin” Karya Sapardi Djoko Damono!
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana,
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana,
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Membaca puisi tersebut tentu sudah dapat membayangkan, bagaimana bentuk cinta yang sederhana dengan perumpamaan kayu kepada api yang menjadikannya abu?
Bagaimana bentuk cinta yang sederhana dengan perumpamaan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada?
Bukankah itu semua berada diluar kendali kita? Bukankah api ada karena adanya reaksi akibat adanya suhu yang panas. Mungkinkah hal ini akan mampu ditembus, bahkan ketika cinta manusia sedalam apapun, sekalipun?
Ataukah mencintai manusia dapat diisyaratkan dengan awan yang menjadikan hujan tiada? bukankah ini begitu sulit juga? uap air yang kemudian menjadi titik-titik air yang menyebabkan awan.
Puisi ini sama sekali tidak sederhana, tetapi Pak Sapardi mampu mengobrak abrik hati para pujangga yang tengah dimabuk asmara, merepresentasikan betapa sederhananya mencintai seseorang. Membaca puisi ini tentu mengingatkan tentang Pak Sapardi tentang kesederhanaannya yang mampu membius pembaca puisinya menjadi jatuh cinta pada setiap karyanya.
Pak Sapardi yang sederhana lewat puisi “Aku Ingin”.
Sugiati, Penulis Buku dan Kolumnis.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar